Lembaga Kemahasiswaan (baca: LK) adalah satu bagian integral yang memiliki peran penting dalam Perguruan Tinggi. PT (Perguruan Tinggi) tidak akan pernah lepas dari dominasi yang dibangun oleh peran ideologi yang berkembang dalam LK. Konfigurasi citra dan peran PT sebagai salah satu sokoguru peradaban dipengaruhi langsung oleh kinerja LK. Bahkan LK-lah yang dominan mencirikan identitas kampus. Sejauh mana dan seberapa besar konstribusi LK dalam perjuangan wacana perubahan, sampai di situ pula PT dikenal masyarakat. Betapa tidak, kreator insan-insan prestatif adalah lembaga. Orang menyebutnya organisasi. Atau paling tidak lembagalah yang punya andil cukup besar dalam mengakselerasi karakter-karakter pemimpin yang akan terjun ke kancah perjuangan dalam ranah publik.
Penulis tidak akan berbicara banyak tentang hal di atas. Sudah cukup rasanya membaca pada referensi sebelum atau sesudah halaman ini. Ruang yang penulis ingin buka adalah gugatan atas entitas LK hari ini.
LK adalah instrumen penggerak zaman, orang-orang yang berada di dalamnya adalah pelaku arsitek peradaban. Akan tetapi sampai hari ini, sudah seberapa besar peran LK terhadap pengentasan kemiskinan, pemberantasan kebodohan, penuntasan pengangguran dan setumpuk masalah sosial lainnya. Ataukah jangan sampai, LK hanyalah menjadi tool (alat) menuju misi-misi kekuasaan. Bahkan lebih parah ketika LK hanya menjadi penghasil alumni yang menambah daftar panjang pengangguran. Bukan menjadi solusi, malah menjadi beban.
Kesempatan itu yang penulis ingin coba wacanakan. Bahwa sekaranglah kita begitu penting untuk kritis menilai diri sebagai mahasiswa. Mari kita merenung sejenak. Gerakan LK ending pointnya di mana ?. Bukan suatu pertanyaan yang kita harus lari darinya. Ia harus kita jawab dengan lantang dan penuh keyakinan, sebagaimana yakinnya dengan gerakan LK hari ini. Ya, sampai di mana perjuangan itu akan selesai ?. Sampai pada tumbangnya ekonomi kapitalistik ?. Tumbangnya rezim diktator yang dzalim, pendidikan sekuleristik, politik oportunistik, pendidikan materialistik, sosial individualistik dan budaya hedonistik ?.
Kalau jawabannya adalah satu diantara apa yang kita sebutkan, pertanyaan selanjutnya, berapa usia perjuangan seorang aktivis di kampus ?. Selama itu, apa sih yang mampu ia kontribusikan terhadap reformasi sistem menuju sistem yang lebih baik ?. Silakan jawab sendiri.
Idealitas peran LK masih kita cari bentuknya. Betapa tidak, peran real LK belum bisa dikatakan memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap sebuah peradaban bangsa. Memang mahasiswa sebagai motor perubahan telah menumbangkan rezim diktator orde baru. Namun sejauh ini rezim reformasi masih banyak ditanggapi. Era Orba justru jauh lebih baik dibanding Reformasi. Jika demikian, apa lagi yang harus dilakukan mahasiswa ?. Revolusi dan penggulingan kekuasaan ?. Nampaknya keputusan ini membuat kita berpikir seribu kali.
Lebih dekat, gerakan LK telah mengalami pergeseran. Sadar atau tidak, hal itu telah menggerogoti tubuh LK. Entah apakah ini adalah efek zaman yang semakin bergerak ke arah komersialisasi, eksploitasi-materialistik atau apa. Kita dapat menyatakan bahwa jati diri LK mengalami pengaburan. Disorientasi visi dan pergeseran esensi gerakan. Seakan-akan LK hanya menjadi kendaraan bagi suatu ideologi tertentu. Akhirnya terkadang tak terkendali. Penyimpangan demi penyimpangan pun terjadi.
Sepantasnya, LK harus memiliki nilai-nilai dasar yang menjadi prinsip-prinsip dan diakui oleh semua warga yang ada. Ketika lembaga hanya menjadi kendaraan satu ideologi tertentu, maka yang terjadi hanyalah pelampiasan-pelampiasan visi yang sempit dari para pengusungnya. Kita semua sepakat, LK berperan sebagai artikulator. Pesan dan perubahan adalah keywordnya, namun persoalan yang perlu untuk kita sorot tajam adalah dampaknya hari ini. Terus terang secara pragmatis, masyarakat tidak menilai proses apalagi niat, tapi yang mereka nilai adalah hasil karya nyata dari mahasiswa.
Pertanyaan itulah yang pantas kita ajukan. Kalau LK, mahasiswanya begitu idealis dalam gerakan yang dibangun saat kampus, namun pasca kampus terkadang sangat memilukan. Pasrah, dan hilangnya ghirah (semangat) menjadi virus yang selalu menjangkiti.
Kalau mereka adalah orang yang menolak kapitalisme, justru setelah kampus, mereka-lah yang menjadi pengguna produk kapitalisme.
Kalau mereka adalah para penentang diktator, justru mereka-lah yang tak berkutik ketika masuk ke sistem.
Kalau dulu mereka adalah pejuang dalam pemberantasan KKN, justru sangat ironi, pasca menerima jabatan, merekalah pelakunya.
Kalau dulu mereka adalah penentang kedzaliman, justru pascakampus merekalah yang berbuat dzalim.
Kalau dulu mereka adalah aktivis-aktivis ideologis, justru pascakampus mereka hanya menjadi manusia-manusia pragmatis-praktis.
Atas dasar itulah upaya kerja nyata yang diaktualkan sejak dini adalah tanggapan yang tepat. Sudah terlalu lama kita membincang revolusi dan perubahan, toh kenyataannya umat, bangsa dan negara belum juga keluar dari tempurung keterbelakangan.
Perjuangan adalah takaran mutlak perubahan. Tapi ingat, dalam menggaris vektor perubahan, titik awal yang mesti kita tentukan adalah ujungnya mengarah ke mana. Setelah jelas arahnya, maka baru nilainya yang menyusul. Perubahan bukan hanya sekedar semangat. Kita memang rindu akan hadirnya pembaharu-pembaharu yang mampu merubah kondisi. Akan tetapi bekal untuk perjuangan itu bukan hanya kemauan, visi dan cita-cita. Ia harus dibangun di atas kebijaksanaan seorang berilmu dan prinsip-prinsip itu harus menjadi patron realisasi aksi menuju perubahan.
Dampak ketika tidak di atas petunjuk dan bimbingan prinsip-prinsip ilmu adalah seperti apa yang kita lihat dari berbagai media. Sangat memilukan, mahasiswa meneriakkan revolusi dan memperjuangkan perubahan dan keadilan dan kebebasan. Namun, tepat pada saat yang sama yang terjadi adalah kedzaliman. Untuk itu, perlu dikaji ulang. Apakah hal tersebut adalah jalan atau solusi terbaik dalam melakukan perubahan.
Oleh karena itu, lewat ruang kecil ini, Penulis sebenarnya ingin mengajak pembaca melihat lebih dekat. Apa sih yang bisa menjadi solusi kemiskinan dan keterbelakangan rakyat sekarang ?. Solusinya ternyata adalah program real pemberdayaan masyarakat. Sebuah semboyan Enlighment and Empowering People (Mencerahkan dan Memberdayakan Masyarakat) penting untuk menjadi poinnya. Langkahnya sangat sederhana. Mari kita buat produk, kemudian dengannya kita bangun kemandirian ekonomi warga. Rekrut warga untuk bekerja dalam sistem kita, kemudian berikan pencerahan dengan pembinaan spiritual dan intelektual di sela-sela program.
Penulis hanya ingin menyatakan bahwa bangkitnya bangsa dan tegaknya sebuah peradaban tidak cukup hanya dengan artikulasi ide dan pemikiran. Tidak cukup hanya dengan darah dan peluh. Ia butuh kerja nyata. Tidak cukup dengan teriakan-teriakan idealis. Ia butuh produk real yang dapat memberdayakan rakyat.
Solusi berikutnya adalah perlunya patron nilai universal yang menjadi prinsip kompetisi yang diakui secara umum oleh semua elemen yang ada. Patron dalam mengawal perubahan yang saya maksudkan adalah budaya ilmiah di lingkungan kampus. Karena kita tidak bisa menutup mata, budaya ini seakan telah tenggelam ditengah temperamental karena kondisi yang labil dan semangat serta idealisme yang tak terkendali.
Oleh karena itu, LK sepatutnya harus merevisi patron gerakannya untuk diarahkan dan dibangun di atas prinsip-prinsip ilmiah, budaya ilmu dan diskusi, membaca dan menulis. Budaya berpikir dan berdzikir, tadabbur dan tafakkur. Hingga akan muncul spirit perubahan untuk memberi yang terbaik. Sebuah karya nyata yang dipersembahkan oleh seorang mahasiswa kepada rakyat, umat dan bangsa, sehingga peradaban akan bergerak.
Karena itu jangan pernah berharap akan terjadi perubahan, jika ruh gerakan pembaruan LK atau mahasiswa adalah budaya-budaya hasil warisan jahiliah. Perpecahan, perang, pertikaian, anarkisme, apalagi ketika lingkar budaya itu telah menjangkau sampai radius aktivitas-aktivitas sia-sia, seperti judi, miras dan pacaran. Jangan pernah berharap. Sekali lagi saya katakan, sedikit pun jangan pernah berharap !!!.
Jangan pernah memimpikan perubahan jika budaya itu masing-masing melingkupi aktivitas-aktivitas kita, dan budaya ilmiah belum menjadi nilai yang dijunjung tinggi dalam realisasi idealisme mahasiswa. Perubahan itu tidak hanya dibawa dengan batu dan darah, tapi perubahan itu dibawa dengan kecintaan terhadap tradisi ilmu, tinta dan peluh. Karena yang kita ingin bangun kembali adalah peradaban yang telah lama hilang. Sebuah peradaban warisan generasi terbaik manusia. Diletakkan pada wahyu ilahi yang paling pertama turun yang mampu mereformasi peradaban hingga memimpin 2/3 belahan dunia. Wahyu yang mengawal transformasi peradaban hingga menguasai sebagian besar daratan Eropa, Asia dan Afrika selama kurang lebih 700 tahun.
Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan (QS Al-‘Alaq:1)
Ya, wahyu inilah yang saya maksud (Wallohu ta’ala a’lam).
Penulis : Syamsuar Hamka (Ketua Dept. Kajian Strategis PP LIDMI Periode 1437-1439 H/ 2015-2017 M)
Hidup mahasiswa!