Oleh : Sayyid Fadhlillah
(Koor. Kajian Strategis PD LIDMI Makassar)
Bagaimana sebuah bangsa bisa bermental siap jajah, mudah takjub, dan memiliki kepedulian temporal (Viralisme), sehingga ia dengan senang hati menawarkan kehormatan pribadi, keluarga, Bangsa dan Agamanya pada entitas asing ? Ibnu Khaldun (1332-1406 M) mengatakan, “Bangsa yang kalah selalu takjub melihat bangsa lain yang menang kemudian menirunya baik dalam slogan, pakaian, agama, sifat-sifat serta kebiasaan-kebiasaannya”, akibat ketakjuban itu timbullah apa yang dikatakan Malik ben Nabi (1905-1973 M) sebagai, “al-qaabiliyyah li al-isti’maar” (Mental siap jajah), sifat ini kata Malik ben Nabi adalah “Penyakit kebudayaan yang diderita oleh suatu bangsa yang membuatnya siap dihegemoni oleh bangsa lain”.
Lantas sebagai bangsa yang besar, kaya, berkebudayaan, dan bermayoritas Islam solusi apa yang bisa kita tawarkan? Muhammad Asad (Leopord Weis, 1901-1992 M) pernah mengatakan, “Sains dan Teknologi merupakan warisan kemanusiaan. Umat Islam ketika melakukan keterbukaan budaya, seperti harusnya mereka melakukannya, terhadap sarana-sarana modern di bidang sains dan Industri, mereka sebenarnya tidak lebih dari mengikuti insting kemajuan yang membuat orang memanfaatkan pengalaman bangsa-bangsa lain. Tetapi jika yang diadopsi itu adalah sesuatu yang tidak perlu dilakukan dengan mengambil kehidupan barat, sastra, tradisi, konsep-konsep sosial barat, mereka sesungguhnya tidak mengambil manfaat sedikit pun. Karena apa yang disuguhkan barat untuk mereka dibidang ini, tidak lebih utama dan luhur, ketimbang yang telah disugukan oleh kebudayaan mereka sendiri, yaitu diajarkan oleh agamanya sendiri”.
Dalam hal keterbukaan dengan budaya lain Syed Muhammad Naquib Al-Attas (lahir, 1931) menawarkan Islamisasi terhadap ilmu pengetahuan kontemporer, yaitu upaya untuk “membebaskan Manusia dari magis,mitologi, animisme, tradisi budaya, yang bertentangan dengan Islam, dan kemudiian dari control sekuler atas akal dan bahasanya. Islamisasi akan membebaskan akal manusia dari keraguan, dugaan, dan argumentasi kosong, menuju keyakinan akan kebenaran, realitas spiritual, jelas, dan materi. Islamisasi juga akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dari ideologi, makna, dan ungkapan sekuler”.
walhasil sejalan dengan gurunya terkait Islamisasi di atas Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud (lahir,1955 M) berkesimpulan,”Islam adalah Agama sekaligus peradaban. Islamisasi adalah menguniversalkan bentuk-bentuk budaya, adat, tradisi, dan lokalitas supaya sesuai dengan agama Islam yang Universal”. Maka dapat disadari, Islam sebagai Rahmatan lil ‘alamin (Universalistik) adalah fitrah kemanusiaan, dimana manusia mana yang silau dan bangga dengan entitas kebudayaan selain Islam, pada hakikatnya dia berlari dari fitrah kemanusiaannya dan lari dari jalan satu-satunya kebahagiaan akal (Rasionaltas), pengalaman Inderawi (empiris), rasa (sensibilitas), dan spiritualnya (kemutlakan Wahyu). []