Sudah saatnya ‘pelayanan’ menjadi orientasi kegiatan kita. Dengan begitu, kita tidak perlu lagi khawatir kegiatan-kegiatan kita akan sepi. Kita tidak perlu ragu lembaga da’wah tidak dilirik oleh mahasiswa. Kita tidak perlu merasa rendah diri karena cap sebagian kelompok mahasiswa bahwa organisasi da’wah hanya bisa ceramah saja. Dengan ‘pelayanan’ kita telah menampakkan wajah da’wah yang masih belum banyak dilirik bahkan oleh pengurusnya sendiri. ‘Pelayanan’ sekaligus menjadi cambuk yang paling ampuh untuk meluruskan kekeliruan sebagian kelompok mahasiswa yang senantiasa berlindung di balik baju proletariat.
Pelayanan yang kami maksud ialah pelayanan terhadap kebutuhan-kebutuhan mahasiswa, baik kebutuhan pribadi maupun kebutuhan akademik. Kebutuhan pribadi antara lain beasiswa dan tempat tinggal. Sedangkan kebutuhan akademik antara lain bimbingan akademik, buku-buku kuliah, kelompok belajar, dan lain-lain. Jika lembaga kita mampu membantu pemenuhan dua kebutuhan pokok ini, tanpa perlu mencari, kader-lah yang akan mendatangi kita.
Ada seorang pendeta Katolik yang benar-benar melakukan pelayanan terbaik dalam misinya. Ia masuk sebagai seorang warga baru di suatu kampung. Pada awal kedatangannya, ia hanya seorang sarjana dari sebuah sekolah tinggi teologi.
Mungkin sebagian orang akan mengira bahwa dengan ilmu teologinya, ia akan segera melancarkan misi Kristenisasi. Mungkin kita mengira, ia akan segera mengajak Pak RT, Pak Imam, dan tokoh-tokoh kampung untuk pindah agama. Akan tetapi tidak, itu tidak ia lakukan. Sebagai seorang warga kampung, ia hidup layaknya warga kampung yang lain. Ia sama sekali tidak melakukan tindakan misi yang dapat membuatnya segera diusir dari kampung.
Suatu ketika, Kirjito menawarkan warga kampung belajar bermain gamelan Jawa. Warga tertarik. Masyarakat yang notabene Muslim pun belajar bermain gamelan kepada Pendeta Kirjito sampai mahir.
Kirjito cukup terampil dalam bidang pertanian. Dengan bantuannya, masyarakat tidak perlu khawatir kekurangan benih. Sang pendeta dengan sangat telaten melakukan pendampingan pada petani sampai mereka panen dengan hasil yang sangat memuaskan.
Saat terjadi kenaikan harga bahan bakar, Kirjito menciptakan alat yang mampu menghemat pemakaian bensin. Alat ciptaan Kirjito gratis. Warga pun berbondong-bondong menggunakan alat ini.
Sekelompok jemaat gereja tertarik pada keindahan kampung itu. Mereka pun berwisata ke sana. Sebagai hiburan, warga yang telah belajar gamelan pada Kirjito diminta mempersembahkan seni gamelan kepada para wisatawan ini. Seterusnya setiap kali jemaat gereja berkunjung ke kampung itu, warga selalu mempersembahkan kesenian gamelan.
Pelan tapi pasti, tak terasa, warga yang tadinya Islam, kini berubah menjadi Katolik. Mereka pindah agama bukan karena ceramah Kirjito, bukan karena kalah debat dengan pendeta ini, bukan pula karena mereka diutangi, atau dibantu biaya pendidikan anak-anaknya. Bukan! Mereka menjadi Katolik karena pelayanan ‘tulus’ sang pendeta. Mereka tidak berat hati menjadi Katolik dan tidak sulit melepaskan Islam. Perpindahan agama ini terjadi begitu saja seiring pergaulan mereka dengan Kirjito dan berbagai pelayanannya terutama dalam bidang pertanian. Laporan terakhir yang kami terima, penduduk kampung itu yang masih Muslim tinggal 30%!
Realitas menyedihkan ini terjadi di tengah-tengah kita, di sebuah kampung di Kabupaten Magetan, Jawa Timur.
Satu kisah lagi tentang misi Katolik. Berita ini saya dengar dari seorang dosen kami. Kata beliau, ada sebuah kampung di pelosok pulau Maluku. Untuk mencapai kampung ini bukan main susahnya. Setelah turun dari kendaraan, butuh jalan kaki selama 2 hari. Sebuah buku menyebutkan bahwa penduduk kampung ini belum mengenal agama. Mereka masih menyembah arwah-arwah. Selang beberapa tahun kemudian, semua penduduk kampung sudah beragama Katolik! Ajaib!
Mengapa penduduk serta-merta menjadi Katolik? Apa strategi misi para misionaris? Singkatnya misionaris membawa pembangunan fisik. Warga kampung melihat kontribusi nyata mereka. Akhirnya, tanpa dipaksa pun, tak perlu berdebat tentang agama, Katolik smenjadi pilihan.
Kisah ini selayaknya menjadi pelajaran bagi kita. Jika kita mampu memberikan pelayanan terbaik pada rekan-rekan mahasiswa, pada adik-adik kita, pada kampus kita, maka da’wah kita akan mudah diterima. Bukankah ‘pelayanan’ itu adalah bagian dari da’wah juga?
Sirah nabawiyah menuturkan kisah-kisah menakjubkan dari sosok Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pernah memberikan kambing 3 lembah kepada seorang badui. Badui ini pun masuk Islam. Tidak sampai di situ, ia bergegas kembali ke kampungnya lalu berseru, ”Wahai kaumku, masuklah Islam, sesungguhnya Muhammad adalah seorang yang tidak takut miskin!”
Rasulullah pun dikenal sebagai seorang yang sangat amanah. Gelar Al-Amin beliau dapatkan bukan setelah diutus menjadi Rasul, melainkan sebelum itu. Saat menjadi Rasul pun, musyrikin Mekah masih menitipkan barang berharga mereka kepada beliau. Sampai-sampai Rasulullah berpesan kepada Ali bin Abi Thalib untuk mengembalikan barang-barang titipan itu sebelum hijrah ke Madinah. Inilah pelayanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun kita, diakui atau tidak, masih kurang memberikan pelayanan terbaik pada mad’u. Di beberapa kampus, kita menjadi help desk. Kita berpartisipasi dalam penerimaan mahasiswa baru. Tapi setelah itu? Kita hampir tidak pernah terlibat dalam hal apapun di kampus selain yang berkaitan langsung dengan kegiatan ke-Islam-an seperti membaca do’a saat upacara 17 Agustus, mengaji dan baca do’a pada buka puasa bersama dan halal bil halal, dan sejenisnya. Organisasi kita belum mampu menawarkan bantuan pada mahasiswa yang membutuhkan text book dan beasiswa. Kita belum mampu membimbing mahasiswa agar berprestasi secara akademik. Malah sebaliknya, gara-gara organisasi kita, beberapa pengurus harus mengorbankan kuliahnya. Si fulan yang seharusnya selesai tepat waktu, terpaksa menunda masa studinya karena mendapat ‘amanah’. Padahal, jika manajemen kita cukup memadai, niscaya ‘amanah’ ini tidak akan sampai membuat masyarakat lebih lama menunggu kontribusi kita.
Bentuk pelayanan yang juga tak boleh luput dari perhatian lembaga kita ialah kehidupan pasca kampus. Apakah akan melanjutkan studi atau langsung bekerja? Jika studi kampusnya apa dan bagaimana masuk kampus itu? Jika kerja, kerja apa dan dimana? Lembaga kita sudah seharusnya memfasilitasi mahasiswa – terutama anggota kita sendiri – dalam hal ini. Kita dapat memberdayakan para pembimbing dari kalangan dosen. Pembina kita misalnya, jangan hanya dikunjungi saat membagikan parcel lebaran atau saat mengantarkan undangan buka puasa bersama. Justru untuk hal-hal seperti inilah arahan mereka sangat dibutuhkan.
Biasanya dan memang sudah biasa, kita mengalami split personality. Kepribadian kita men-dua. Jika ingin belajar agama, kita ke lembaga. Jika ingin memperbaiki akademik, kita mencari di luar lembaga. Jadi kita pun turut serta dalam gerbong sekulerisasi, sadar atau tidak sadar. Padahal jika orientasi kegiatan-kegiatan kita diarahkan sebagai pelayanan untuk memperbaiki mahasiswa dalam hal kehidupan keagamaan, akademik, dan pribadi, akan kita temukanlah sebuah organisasi da’wah yang paripurna. Bolehlah kita sebut lembaga da’wah seperti ini sebagai one stop organisation, semua kebutuhan sudah terpenuhi sehingga tidak perlu lagi mencari di luar. Semua yang ada di luar sudah ada disini, malah lebih baik, dan lebih baik lagi karena tentu sudah di Islamisasi.
Semoga kajian singkat ini dapat menjadi bahan diskusi untuk merevitalisasi kegiatan-kegiatan organisasi kita.
Karanganyar, 21 Februari 2016
Penulis : Wahyudi Husain (Anggota Kajian Strategis LIDMI)
Dahulukan yang lebih utama tentunya