7. Bakker dalam Sejarah Gereja Katolik Indonesia menyatakan bahwa agama Kristen, sudah pernah ada di Indonesia sejak abad ke-7. Artinya, Kristen sudah pernah eksis di Indonesia lebih 8 abad yang lalu sebelum Portugis pada awal abad ke-16. Bakker mengatakan,
“Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian pertama abad ketujuh, lantas mewujudkan diri dalam sejumlah besar jema’ah di Sumatera Barat. Itulah fakta sejarah yang tak dapat dibantah lagi. Tidak lama berselang fakta itu ditegaskan dengan bukti-bukti baru oleh alm. Prof. Dr. Sucipto Wirjosuparto.[1]
Senada dengan itu, Pendeta Dr. Jan S. Aritonang mengatakan,
“…boleh jadi sebelum adab ke-16 telah terjadi perjumpaan antara Kristen dan Islam di Indonesia (mungkin lebih tepat: pada lokasi tertentu di Nusantara), karena adanya catatan dan dugaan tentang kehadiran orang Kristen Nestorian (dari Khaldea/Syria dan Persia di pantai barat Sumatera Utara sejak abad ke-7 maupun kunjungan beberapa missionaris Katolik ke beberapa tempat di Nusantara pada abad ke -14.”[2] Pendeta Dr. Jan S. Aritonang tidak menyebutkan sumber ‘catatan dan dugaan’ yang dimaksud. Karena tidak adanya data tentang itu, dengan berat hati ia akhirnya mengakui bahwa masuknya Misi Kristen di Indonesia bersamaan dengan penjajahan Portugis. Aritonang menulis, “Tetapi karena tidak tersedianya data atau informasi tentang perjumpaan pada masa itu, dan karena kekristenan beraliran Nestorian yang sempat hadir di Nusantara pada waktu itu tidak meninggalkan bekas yang terlihat atau terpelihara sampai sekarang, maka – sejauh didukung oleh data – perjumpaan baru berlangsung sejak Portugis datang ke Nusantara.”[3]
Jadi menurut Aritonang, sebenarnya Kristen (Nestorian) pernah ada – atau dalam bahasa Aritonang, ‘sempat hadir’ – di Nusantara sebelum kedatangan bangsa barat. Hanya saja, generasi Kristen awal ini ‘tidak meninggalkan bekas yang terlihat atau terpelihara sampai sekarang.’ Jika bekasnya tidak terlihat, lalu dari mana munculnya ‘catatan dan dugaan’ itu? Prof. Dr. Bilveer Singh menulis, ”Yang mendorong bangsa Portugal (untuk menjajah di Asia adalah) strategi besar melawan kekuatan politik Islam, melakukan Kristenisasi, dan keinginan untuk memonopoli rempah-rempah.”[4] Maka jelaslah bahwa kedatangan Kristen atau Misi Kristen di Indonesia[5] seiring sejalan dengan penjajahan Portugis di Nusantara yang ditandai dengan jatuhnya Malaka.[6] Bahwa agama Kristen pertama kali muncul di Indonesia karena dibawa oleh penjajah – yaitu Portugis yang Katolik – penting untuk ditegaskan. Hal ini diperlukan setidak-tidaknya untuk menandai awal mula Misi Kristen di Indonesia.
Mengikuti amanat Perjanjian Tordesillas[7], pada abad ke-16 – 18 Portugis telah mendirikan lima keuskupan penting di wilayah jajahannya. Pertama, keuskupan di Goa (berdiri tahun 1533, kelak sebagai Keuskupan Agung pada 1558), kedua, keuskupan Malaka (1558), ketiga, Keuskupan Kochin di India Selatan (1558), keempat, Keuskupan Macao (1576) dan kelima, Keuskupan Filipina (1579). Keuskupan Malaka yang didirikan oleh Paus Paulus IV menjadikan seluruh misi Gereja Indonesia masuk reksa pastoral keuskupan ini. Uskup Malaka yang sudah menetap sejak 1561 mengirim para missionaris Katolik ke wilayah-wilayah kekuasaan Portugis.[8]
C.J. Bohm MSC dan Fritz Pangemanan mengakui pendudukan atas Malaka merupakan era penting pengembangan gereja. Mereka menulis,
“Di era itu telah terbangung 19 gereja dan kapel di seluruh wilayah Malaka dengan jumlah umat Katolik hingga ke wilayah-wilayah reksa pastoralnya yang mencapai 16.000 jiwa. Ordo Yesuit, yang belum lama berdiri (yakni tahun 1540 oleh Paus Paulus III) telah mendirikan biaranya di Malaka tahun 1548 untuk menangani karya kaum Misi ke Maluku dan Sulawesi. Selanjutnya Ordo Sto Dominikus (OP= Ordo Praedicatorum), yang telah berdiri sejak tahun 1216 oleh Paus Honorius III, membangun juga biaranya tahun 1554 di Malaka untuk mengemban misi ke Nusa Tenggara Timur (NTT). Beberapa tahun kemudian, Ordo Fransiskan (OFM= Ordo Fratrum Minorum), yang juga disahkan berdirinya Paus Honorius III tahun 1223, ikut mendirikan biaranya pada tahun 1581 disana, diikuti Ordo Sto Agustinus (OSA= Ordo Sancti Augustini) – yang berdiri tahun 1256 – membangun biaranya tahun 1591; kedua ordo terakhir ini kelak mengirimkan tenaga-tenaga misionaris ke wilayah Maluku, dengan Ordo OSA kelak berkarya di Ternate, Aceh, dan Sorong-Monokwari. [9]
Pendudukan atas Malaka pada tahun 1511 membuka jalan Portugis ke Maluku, pulau rempah-rempah. Pada tahun itu juga, di bawah pimpinan Antonio de Abreu, armada Portugis yang terdiri dari tiga buah kapal menjelajah ke Timur. Mereka terdiri atas 120 orang Portugis dan 60 orang Melayu.[10]
Pada tahun 1522, Antonio de Britto membawa 300 orang ke Ternate. Diantara mereka terdapat biarawan Fransiskan (OFM). Pemimpin mereka ialah Pastor Andreas del Espiritu Santo. Sayangnya, tidak ada data yang jelas tentang Misi Kristen mereka.[11]
Selanjutnya dalam Misi di Maluku, dikenal nama Simon Vaz. Ia membaptis penduduk desa Moro termasuk para Sangaji dari desa-desa sekitar Moro. Pembaptisan ini terjadi pada tahun 1534. Kejadian ini diklaim sebagai awal titik awal penting masuknya gereja Katolik di Maluku dan ke seluruh Indonesia.[12]
Sumber lain menyebutkan bahwa tahun 1534 ditandai sebagai tonggak penting penyebaran Katolik di Indonesia karena pada tahun itu seorang awam, bukan dari kalangan rohaniwan, sangat bersemangat melakukan Misi. Dialah Gonsalves Veloso. Ia menyebarkan Katolik di Halmahera. Dalam menjalankan misinya ia dibantu oleh Fernao Vinagre. Misi Gonsalves Veloso ini juga disebut-sebut sebagai Misi Katolik pertama di Indonesia. Karena itu, Veloso diberi penghargaan yang setinggi-tingginya. Mgr. Mandagi, Uskup Ambonia, dalam sebuah kesempatan mengatakan, “Kehadiran Gereja Katolik di bumi Indonesia berawal pada tahun 1534 … ketika seorang awam (pedagang) Portugis bernama Gonzalo Veloso berhasil meyakinkan beberapa penduduk desa Mamuia, Halmahera, untuk memberi diri mereka dibaptis.”[13]
Missionaris lain yang penting disebutkan ialah Fransiskus Xaverius.[14] Ia menyebarkan Kristen di Ambon, Halmahera, dan Ternate. Selama lima belas bulan di Maluku, ia telah membaptis beribu-ribu orang.[15] Misi Katolik juga dilancarkan ke daerah-daerah lain seperti Kepualauan Bacan, Sulawesi Utara meliputi Manado, Minahasa, Kaidipan, dan Buol; juga misi di Sulawesi Selatan, Sumatera, Kalimantan, Bali, Jawa, dan tidak ketinggalan, NTT terutama Flores, pusat Katolik dimana Ende berada.[16]
Setelah penjajah Portugis, datanglah VOC, kongsi dagang Belanda. Seperti umumnya disebutkan dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah, tujuan VOC ke Nusantara tidak lain tidak bukan untuk mencari rempah-rempah. Jarang sekali – untuk tidak mengatakan tidak ada – yang menjelaskan bahwa VOC juga tidak luput dari penyebaran Misi Kristen. Sekalipun istilah 3 G (Gold, Glory, Gospel) sebagai agenda penjajah sudah sering disampaikan, namun penjelasan tentang hubungan ketiga G ini masih kurang mendapat penjelasan memadai.
Sebagaimana pendahulunya, VOC juga mengemban Misi Kristenisasi. Pendeta Dr. Jan S. Aritonang menulis, “Disamping mengejar keuntungan ekonomis dan ikut membangun imperium Belanda, VOC juga mendapat mandat dari Gereja Protestan Belanda (Gereformeede Kerk), yang waktu itu berstatus sebagai gereja negara, untuk menyebarkan iman Kristen, sesuai dengan isi pasal 36 Pengakuan Iman Belanda tahun 1561, yang antara lain berbunyi: “Juga jabatan itu (= tugas pemerintah) meliputi: mempertahankan pelayanan Gereja yang kudus, memberantas dan memusanahkan seluruh penyembahan berhala dan agama palsu, menjatuhkan kerajaan anti-Kristus, dan berikhtiar supaya kerjaan Yesus Kristus berkembang.”[17]
Sekalipun membawa pendeta-pendeta, VOC nampaknya tidak terlalu bersemangat melakukan Kristenisasi. Selama 200 tahun di Indonesia, pertumbuhan Kristen (Protestan) sangat minim. VOC hanya memfokuskan daerah-daerah yang pernah dijajah Portugis. VOC berusaha mengkonversi agama penduduk dari Katolik ke Protestan-Calvinis. Barulah setelah VOC tumbang, usaha Kristenisasi lebih intensif mendapatkan jalannya, yaitu pada abad ke-19. Abad ini bahkan disebut sebagai age of mission (era misi). Pada abad ini bermunculan berbagai lembaga missionaris.
Selanjutnya abad ke-20 merupakan era kejayaan Misi Kristen dibawah naungan penjajah Belanda. Awal abad 20 untukpertama kalinya penjajah Belanda tidak mendapatkan perlawanan berarti dari rakyat. Misi kristen mendapatkan jalan yang lapang sejak tahun 1901 sampai 1942 saat Belanda diusir Jepang. Masa sering disebut sebagai era politik etis atau politik balas budi Belanda karena telah berabad-abad menjajah Indonesia. Padahal sejatinya, masa empat puluh dua tahun ini merupakan masa Kristenisasi, sekaligus sekulerisasi rakyat Indonesia. Muhammad Isa Anshory bahkan menyebut masa politik etis sesungguhnya politik Kristenisasi.[18]
Demikianlah uraian sederhana tentang awal mula Misi Kristen di Indonesia. Masuknya Kristen ke negeri kita tidak dapat dilepaskan dari penjajahan. Bukti-bukti sejarah menunjukkan, Misi Kristen dan penjajahan ibarat dua sisi mata uang, saling melengkapi satu sama lain. Hal ini perlu ditegaskan agar beberapa kalangan mengerti arti kemerdekaan sesungguhnya.[]
Husain al-Faruq (Ang. Dept. Kajian Strategis PP LIDMI)
[1]Y Bakker SJ dalam Sejarah Gereja Katolik Indonesia, (Jakarta: Bagian Dokumentasi-Penerangan Kantor Waligereja Indonesia, 1974), hlm. 19.
[2]Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), hlm.13.
[3]Ibid., hlm.14.
[4]Adian Husaini, Op.Cit., hlm. 371.
[5]Konsepsi tentang “Indonesia” belum ada waktu itu. Istilah Indonesia baru populer pada era pergerakan nasional 1900-1940.
[6]Penjajahan dan Misi Kristen bagaikan dua sisi mata uang, saling terkait satu sama lain. Penjajahan dilakukan demi membentangkan jalan bagi Misi Kristen dan Misi Kristen digencarkan agar penjajahan tetap langgeng. Sarjana Muslim yang menegaskan hal ini antara lain Muhammad Al-Ghazali, Musthafa Khalidi, Umar Farukh, Abdurrahman Habanakah, Al-Maidani, Anwar Al-Jundi, Muhammad Natsir, dan H.M. Rasjidi. Dari kalangan sarjana
Barat antara lain Robert Delavignette, Stephen Neill, Katie Geneva Cannon, Lingstone M. Huff, Horst Grunder, dan Edward W. Said. (Muhammad Isa Anshori, Op.Cit., hlm 15-17).
[7]“Yang mensyarakatkan membantu misi Gereja secara material di wilayah-wilayah ekspansi baru” (C.J. Bohm MSC dan Fritz Pangemanan, Op. Cit., hlm. 18).
[8]Ibid., hlm. 18.
[9]Ibid., hlm. 18-19.
[10]Ibid., hlm. 21.
[11]Ibid., hlm. 25.
[12]Ibid., hlm. 29.
[13]Dr. F. Hasto Rosariyanto, SJ, (ed), Bercermin pada Wajah-Wajah Keuskupan Gereja Katolik Indonesia. (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. vii.
[14]Lahir di Navarra, Spanyol, pada tahun 1506. Bersama Ignasius Loyola dan beberapa teman seangkatannya ia mengikrarkan kaul-kaul kebiaraan pada tanggal 15 Agustus 1534. Peristiwa ini menandai lahirnya Ordo Yesuit (SJ = Societas Jesu atau Serikat Yesus) yang kala itu masih bernama la Compania de Jesus yang artinya the Company atau Society of Jesus). Barulah pada tahun 1540, oleh Paus Paulus III, Serikat ini disahkan sebagai ordo religius. Sejak saat itu, missionaris SJ giat menjalankan Misi.
[15]Muhammad Isa Anshory, Op.Cit., hlm. 4.
[16]Sejarah Gereja Katolik Indonesia, (Jakarta: Bagian Dokumentasi – Penerangan Kantor Waligereja
[17]Dr. Jan S. Aritonang, Op.Cit., hlm.49-50.
[18]Isa Anshory berhasil mempertahankan tesisnya di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Tesis ini antara lain dimaksudkan untuk meluruskan kekeliruan sebagian sarjana Kristen yang menganggap penjajahan Belanda tidak ada hubungannya dengan Misi Kristen. Dalam tesis ini Isa Anshory menunjukkan bukti-bukti keterkaitan Misi Kristen dengan penjajahan berupa tunjangan untuk Misi, pembatasan pendidikan Islam, dan sebagainya. Baca Mengkristenkan Jawa, Dukungan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Penetrasi Misi Kristen, (Karanganyar: Pustaka Lir-Ilir, 2013). Baca juga Politik Islam Hindia Belanda karya H. Aqib Suminto.