Hari ini tepat empat hari setelah Pilkada serentak di seluruh Indonesia. Ada yang unik. Jakarta ibu kota negara sepertinya adalah Pilkada yang begitu banyak menyita sumberdaya. Dinamika yang terjadi di Indonesia beberapa bulan terakhir pasti memiliki benang merah dengan situasi Pilkada di DKI. Hingga, video yang viral tentang “Iwan, ente dimana!!!???” juga terkait dengan Pilkada ini. Iwan akhirnya menjadi “buronan”. Semuanya karena ulah lidahnya dalam Pilkada DKI kemarin.
Hasil pilkada DKI juga ditunggu-tunggu. Ada banyak pelajaran dari sekian deret angka yang ada. Angka yang memperlihatkan dengan jelas bahwa Islam kita hari ini hanya sebatas pemikiran saja, Islam tidak termanisfestasikan dalam bentuk kerja.
Pernah, suatu waktu saya berdiskusi dengan seorang kawan yang terlibat dalam banyak gerakan-gerakan buruh, gerakan masyarakat kecil, gerakan pembebasan hak-hak masyarakat sipil, melawan penggusuran dan sederaet aktivitas sosial masyarakat. “saya sebenarnya tidak terlalu suka dengan orang-orang yang belajar agama kemudian tinggal dimesjid terus. Mereka tidak menyelesaikan masalah. Lihat masyarakat kita, miskin, lapar, butuh pendidikan, dan digusur. Kita harus turun langsung membantu mereka, mengadvokasi mereka. Bukan hanya sekedar tinggal dimesjid. Dan banyak orang-orang yang ikut kajian dimesjid sekarang menjadi apatis dengan kondisi masayarakat kecil…!”. Pukulan telak, saya terdiam. Bukan karena saya tidak bisa membantah, tapi memang sebagian perkataanya benar. Saya merenung. Islam hanya hidup dalam pemikiran, dia tidak hidup dalam kerja.
Suatu ketika juga saya berdiskusi dengan teman-teman kelompok pengajian tertentu. MasyaAllah, kehidupan mereka setiap saat adalah menuntul Ilmu. Menghafal Alquran, membahas kitab, membahas tafsir, sejarah dan banyak cabang ilmu agama. Dengan aktivitas yang mereka lakukan, banyak pemuda-pemuda disekitar markaz mereka akhirnya terlibat dalam kegiatan positif dan produktif di markaz itu, bukan sekedar kegiatan keagamaan tapi juga wirausaha. Dengan demikian masalah ekonomi juga teratasi.
Perhatikanlah, dua frame cerita diatas saling menyindir dan masing-masing berada di kutub berbeda. Utara menghukumi selatan karena utara tdk pernah turun ke jalan, membantu bencana, perjuangan buruh, melawan penggusuran. Sedangkan selatan dihardik karena hanya sesekali terlihat di mesjid, lebih banyak waktu di jalan, pembahasan Tauhid menghilang, pas belajar tafsir tiba-tiba lenyap seperti ditelan bumi. Sehingga, muara dari konflik diatas adalah kemenangan orang lain.
Pilkada DKI ini mengisyaratkan kepada kita muslim Indonesia bahwa kita generasi baru ummat ini memiliki pekerjaan rumah dan menantang. Gelombang baru ummat ini harusnya bisa berkaca dari kejadian-kejadian lapangan beberapa dekade terakhir. Bahwa generasi baru ummat kita memiliki tugas dan pekerjaan rumah untuk membuktikan bahwa kita adalah ummat yang Islamnya telah ternanam dalam pemikiran, juga teraplikasi dalam kerja-kerja nyata.
Tugas ini adalah tugas yang berat namun akan mudah jika kita dalam harmoni yang sama. Membutuhkan banyak pundak untuk melaksanakan dan “mengkampanyekannya”, membutuhkan kesiapan pemahaman dari generasi baru yang lahir ini. Pekerjaan ini adalah akan terasa berat karena kita akan membawa seluruh pemahaman mendalam kita sebagai seorang Muslim masuk ke ruang-ruang privat maupun ruang-ruang publik. Puncaknya, Pemahaman Islam yang mendalam itu akan diuji berkali-kali dalam bentuk kerja-kerja nyata.
Kita adalah generasi penggerak. Kita adalah generasi pendobrak. Kita adalah generasi baru sebagai generasi penyatu. Kitalah generasi yang akan menyatukan utara dan selatan yang beberapa dekade diributkan di negeri ita. Kita akan mulai menyatukan timur dan barat. Kita adalah generasi pemikul beban, kata Anis Matta. Generasi ini kata beliau adalah gelombang ketiga.
Kita memiliki tugas berat agar Islam tidak hanya membumi dalam jiwa dan pemikiran, tapi lebih dari itu Islam juga akan menjadi sokoguru kerja-kerja nyata untuk membangun ummat dan Bangsa kita tercinta. Lalu, dimasa yang akan datang, kita tidak lagi bingung memilih pemimpin kita yang beriman namun katanya tidak memiliki kerja nyata. Juga tidak lagi bingung dengan premis delusi bahwa yang tidak beriman kepada Allah Subhanawata’ala-lah yang memiliki kerja nyata. Kita juga tidak akan lagi mengoper estafet masalah kepada genarasi selanjutnya karena masalah itu telah kita selesaikan sendiri, diselesaikan oleh kedewasaan ummat kita sendiri hari ini juga, detrik ini juga. Kita hanya akan mengoperkan visi besar selanjutnya kapada generasi mendatang yang harus mereka hadapi dan selesaikan.
Karena kita adalah ummat yang beriman, kita juga adalah ummat perasa, kita juga adalah ummat pemikir dan tentu kita juga adalah ummat pekerja.
Syamsuar Hamka
19 februari 2017; 23:00 WITA