Penulis : Sayyid Fadhlillah (Wakil Ketua Umum PP LIDMI)
Dalam sejarah Islam, posisi Guru bukan sekedar pekerja sertifikasi dan Pegawai Negeri Sipil biasa yang menjalani rutinitas transfer ilmu buku cetak, ngasi PR, dan pergi ke pusat perbelanjaan atau café di sebagian waktu kerja. Mereka adalah tauladan pribadi yang murid-muridnya ingin berkepribadian seperti mereka. Ingin rasanya mereka senantiasa duduk dan mengisi wadah kosong di hati dan pikirannya dengan tetesan adab dan Ilmu yang menetes dari dedikasi, keikhlasan, tauladan pribadi yang konsekuen antara Iman, Ilmu dan amal yang melekat pada sang Guru.
Sebagai contoh agung, ketika Shalahuddin Al Ayyubi membebaskan kota Palestina dari kuasa pasukan Salib, ia dengan berani dan tidak takut adanya ketersinggungan dari segenap pasukannya, yang telah berdarah-darah, kelelahan, kehausan, dan kedinginan di medan perang bersamanya. lantas ia berteriak, “Jangan kalian menyangka bahwa kami menguasai Negara ini dengan pedang-pedang kalian. Namun kami menguasainya dengan Pena Qadhi Al Fadhil“
Siapa Qadhi Al Fadhil ? Ia adalah Al Allaamah (Guru dan rujukan yang menguasai banyak cabang ilmu). Al-Imad berkata : “ia menghabiskan hidupnya dengan bahagia, tidak tersisa amal shaleh, melainkan telah dipersembahkannya, tidak ada suatu perjanjian di Surga, melainkan telah disempurnakannya, dan tidak ada janji ketaatan, melaikan telah dipenuhinya” (Siyar A’lam An-Nubala’, Juz 21, hal.340)
Ia dimuliakan oleh Negara dengan gaji setahun 50.000 Dinar (Rp 193.022.675.000), namun ia dikenal “mengurangi makan dan memakai pakaian sederhana… Ia banyak mengantar jenazah dan mengunjungi orang sakit… lemah perawakannya, halus rupanya, para ilmuwan ramai mengunjunginya, saya tau betul terdapat 22 jilid tulisannya ditangan ibnu Sina’ Al Malik dan 20 jilid lagi ditangan Ibnu Al Qaththan (Siyar A’lam An-Nubala’, Juz 21, Hlm. 343)
Isi Perpustakaan Qadhi Al Fadhil mencapai 100.000 koleksi buku. Nah, bagaimana masyarakat di zaman ini bisa digambarkan mengalami kemunduran dengan kenyataan seperti ini ? Tokoh ini bukan hanya seorang administrator atau politisi saja, tetapi dia seorang professor (Guru besar) di antara guru-guru besar yang ada di masanya. Ia memanfaatkan waktu senggang untuk mengajar dan membuat generasi setelahnya jadi pintar. (Syaikh Muhammad Ali Ash-Shalabi, Shalahuddin Al-Ayyubi, Hal. 404)
Contoh yang lain bisa kita lihat dari Madrasah Ash-Shalihiyyah yang di dirikan oleh Shalih Najmuddin Ayyub (1241 M), setiap pengajar di Madrasah ini di gaji 40 Dinar (Rp 154.418.140) setiap bulannya, adapun oprasional para pengajar di beri 2000 Dinar (Rp 7.720.907.000) tiap bulannya. (Husnul Muhadharah, Juz 2, hlm. 58)
Salah satu Guru besar yang berpengaruh pada Madrasah Shalihiyyah adalah Abu Thahir As-Silafi Rahimahullah, dalam salah satu kesempatan beliau memberikan Kuliah Umum yang dihadiri sang Sultan Agung Shalahuddin Al-Ayyubi beserta pejabat Negara yang lain, “Ketika Shalahuddin terlibat pembicaraan pelan dengan saudaranya, sang Guru besar (As-Silafi) menoleh kearah mereka dan menampakkan ketidak sukaannya. Ia mengatakan ‘Apa-apaan ini ? kita sedang membaca Hadith Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam, sementara kalian berdua berbicara’ Maka ketika itu mereka berdua segera memperhatikan sepenuhnya” (Al Hafizh Adz-Dzahabi)
Namun di sisi lain As Silafi Rahimahullah dikenal sebagai “pribadi yang rendah hati, akrab dengan orang banyak dan mereka pun akrab dengannya, mencintai murid-muridnya, menghadap ke arah mereka semua dengan segenap wajah dan perasaannya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk memberi mereka faedah, bersikap ramah, dan ikhlas terhadap mereka. (Syaikh Muhammad Ali Ash-Shalabi, Shalahuddin Al-Ayyubi, Hal. 420).
Bisa kita renungkan betapa mulianya kedudukan para Guru di masa kejayaan Islam, bahkan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi yang bertempur bersama pasukannya selama berbulan-bulan dengan menelan banyak korban nyawa, harta, serta jauh dari keluarga bisa ridho, tidak tersinggung, serta tidak merasa lebih banyak pengorbanannya dibanding Jihad ilmiah para Ulama dengan pena-pena mereka.
Itu tergambar dari teriakan Shalahuddin, Bahwa “Jangan kalian menyangka bahwa kami menguasai Negara ini dengan pedang-pedang kalian. Namun kami menguasainya dengan Pena Qadhi Al Fadhil“ ini membuktikan keunggulan pribadi bukan hanya dimiliki oleh Shalahuddin, tetapi para tentara, juga generasi umat Islam secara umum.
Begitu juga dengan sikap Imam Abu Thahir As-Silafi Rahimahullah yang tanpa takut dan ragu-ragu menegur Sultan dan saudaranya di majelisnya, meski ia diberi gaji tinggi oleh Negara, ia merasa tidak terima ketika Hadith Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam di bacakan, ada dari umat beliau yang tidak memperhatikan, bahkan jika itu pimpinan Negara sekalipun.
Bisa kita bandingkan, bagaimana pribadi Guru saat ini ? bagaimana perhatian Pemerintah terhadap kesejahtraan para guru hari ini ? dan bagaimana kepribadian para murid, siswa, dan mahasiswa yang notabene sebagai wajah Orang tua, Guru, professional dan Pejabat di masa yang akan datang ?
Imam Al Ghazali yang dikenal sebagai pionir utama bangkitnya generasi Shalahuddin, telah mewanti-wanti, bahwa “Rusaknya Masyarakat, diakibatkan oleh rusaknya penguasa, rusaknya penguasa disebabkan oleh rusaknya para Guru (Ulama), Guru (ulama) rusak karena mereka cinta dunia dan jabatan”. (Ihya Ulumuddin)
Diagnosa Imam Ghazali terhadap jatuhnya Umat Islam, adalah “Fenomena yang menimpa para Guru, Ilmuan dan Agamawan yang hanya memburu harta, kedudukan, menjilat penguasa, berdebat kusir dan bersitegang dalam perdebatan… menjauhkan diri terhadap permasalahan akhirat dan gemar berfoya-foya”.
Untuk dapat keluar dari krisis kehidupan menurut Imam Ghazali, “maka yang dapat menyelamatkannya adalah para Guru (‘ulama). Mereka adalah pewaris para nabi… telah lama tidak berfungsi secara proporsional, sehingga yang mengambil alih peran adalah para professional. Tidaklah mengherankan mereka tidak dapat menunjukkan jalan yang benar, akibatnya hawa nafsu menjadi rujukan primernya. Dengan demikian mereka lebih terfokus mengejar kedudukan, sehingga hal yang ma’ruf menjadi mungkar dan yang mungkar jadi ma’ruf. Alhasil, ilmu menjadi absurd dan obor petunjuk telah padam ditelan bumi.” (Ihya Ulumuddin)
Secara umum, pandangan hidup mayoritas Masyarakat, Pemerintah, dan lembaga pendidikan kita memang terlalu Industry Oriented, dimana Pendidikan dan Ilmu bukan lagi dipandang sebagai tujuan menghempaskan kebodohan, mendewasaan pola pikir, atau sebagai sarana melahirkan generasi-generasi pejuang yang tidak hidup untuk diri sendiri. Rumah Intelektual dan amanah mulia pada lembaga pendidikan dan Guru hanya di titik beratkan pada seputar kerja apa, gaji berapa, dan segala pola hidup yang sangat invidualis lainnya.
Jikapun lembaga pendidikan diasumsikan sebagai sarana terbaik untuk mecetak pekerja, maka tentu itu sebuah kekeliruan, mengingat 38 persen dari 124 juta tenaga kerja di Indonesia ternyata masih didominasi lulusan Sekolah Dasar (SD), Persentase penganggur muda yang berpendidikan SMA/SMK ke atas meningkat dari 60 persen pada 2014 menjadi 74 persen pada 2018, dan yang sangat mengherankan, Perguruan tinggi yang digadang-gadang menjadi pencetak tenaga ahli diseluruh bidang justru 74,39 persen lulusannya berprofesi sebagai guru. (Sumber : Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) & Badan Pusat Statistik (BPS))
Bagaimana jadinya jika perguruan-perguruan tinggi hanya fokus untuk mencetak pekerja, yang orientasinya hanya kerja apa ? dan yang penting gajinya tinggi tidak ? sementara Perguruan tinggi abai dengan Mahasiswa-mahasiswanya yang mengambil bagian dalam tingkah Premanisme, Seks bebas, jauh dari tradisi ilmu & membaca, haus hiburan dan jauh dari Agama. Jika ternyata 74,39 persen lulusan Perguruan tinggi berkepribadian seperti di Atas berprofesi sebagai Guru SD, SMP, SMA/SMK, bayangkan apa jadinya karakter generasi-generasi baru Negeri ini ?
Maka, mencetak Pribadi-pribadi Pahlawan seharusnya menjadi fokus utama Pemerintah dan Perguruan Tinggi kita, karena Pribadi Pahlawan bisa bersyukur belajar hanya dengan pelita minyak, mereka bisa kenyang hanya dengan sepotong roti, mereka tetap akan gusar atas keadaan orang lain, walau dia sendiri menyisakan masalah pribadi yang menumpuk.
Adapun para Individualis, tidak akan belajar dengan fasilitas ruang megah, AC, dan seperangkat alat Digital yang mereka punya, mereka tidak akan tenang dengan sepotong roti sementara dia tau diluar sana ada Pizza, mereka tidak akan tenang dengan motor standar sementara di luar sana ada motor sport, mereka tidak akan tenang dengan rumah sederhana sementara di luar sana ada istana, mereka tidak akan tenang liburan di dalam Negeri sementara mereka tau ada Eropa, Amerika, dan Korea diluar Negeri.
Maka sudah semestinya kita menyadari betapa sentral peran seorang Guru. peradaban yang memuliakan Guru, Ulama, ilmuwan dan Ilmu adalah peradaban termulia dan tersukses sepanjang sejarah Manusia, sementara peradaban yang cinta dunia dan jabatan adalah peradaban yang penuh kecurangan, permusuhan, dan saling buang muka.
Maka dari itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata, “Muliakanlah ulama’ (orang-orang yang memiliki ilmu dan mengamalkannya, mereka baik ucapan dan perbuatannya) karena sungguh mereka menurut Allah adalah orang-orang yang mulia dan dimuliakan (di kalangan malaikat).” (Imam As-Suyuthi, Lubbabul Hadits)
Sudah semestinya para Guru mengembalikan fungsi pendidikan sebagaimana amanat Undang-undang, yaitu “…Berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi Manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, Mandiri, terampil, kompeten dan berbudaya untuk kepentingan bangsa…” (UU No.12 Tahun 2012)
Karena, “Jika anda menjadi guru hanya sekedar transfer pengetahuan, ada masanya dimana anda tidak dibutuhkan, karena google lebih cerdas dan lebih tau banyak dari anda, Namun jika anda menjadi guru juga mentransfer Adab, ketakwaan dan keikhlasan, maka anda akan selalu dibutuhkan, karena google tidak punya semua itu” (KH. Dimyati Rois)
Maka, dengan kembalinya strata sosial Guru sebagai Pahlawan sungguhan (bukan pahlawan tanpa tanda jasa yang dikesampingkan) beserta fungsinya sebagaimana yang diamanatkan Allah ta’ala dan Undang-undang, adalah berita gembira akan lahirnya murid-murid superman yang siap menanggung beban kehidupan dengan cerdas dan beradab.
Maka dengan bangsa yang telah lengkap sumber dayanya ini, yang dipijaki oleh para pahlawan dan superman, bukan perkara sulit untuk membereskan setumpuk permasalahan Negara yang senantiasa dipandang dari kaca mata para Individualis ini, Wallahu A’lam Bish-showab.