Hamka atau nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah lahir pada tanggal 17 Februari 1908 M, di sebuah desa kecil Sungai Batang, di tepi danau Maninjau Sumatera Barat. Ayahnya, Abdul Karim Amrullah atau yang lebih dikenal Haji Rasul merupakan seorang ulama, juga seorang penulis produktif. Kakeknya, Amrullah juga seorang ulama yang cukup berpengaruh di Minangkabau.
Abdul Karim Amrullah, ayahanda Hamka cukup terkenal sebagai seorang pelopor gerakan Kaum Muda di Minangkabau, karena kegigihannya memberantas kepercayaan, amalan bid’ah dan khurafat yang terjadi dalam masyarakat pada waktu itu. Beliau juga berani melawan pemerintah kolonial Belanda sampai ditangkap dan dibuang ke Sukabumi Jawa Barat dan meninggal di Jakarta 1945.
Sewaktu kecil, Hamka dipanggil Malik. Beliau hidup di Kampung bersama-sama kedua orangtuanya. Seperti anak-anak Minangkabau lainnya, beliau juga belajar mengaji, ikut pencak silat dan selalu tidur di Surau (Mushallah). Hamka belajar di Sekolah desa sampai kelas dua. Kemudian mengikuti ayahnya mengajar di Sumatra Thawalib; dan mereka tinggal di Padang Panjang, sebuah kota kecil yang memiliki suhu dingin di Sumatra Barat.
Abdul Malik juga berkesempatan belajar di Perguruan Thawalib yang dipimpin ayahnya selama beberapa waktu, walaupun beliau tidak sempat menamatkan pembelajarannya. Selama belajar di Thawalib, Malik tidak tergolong sebagai anak yang pandai, bahkan dia malas belajar dan suka bolos sekolah. Salah satu kesukaannya ialah mengembara mengunjungi perguruan pencak silat, mendengar senandung dan kaba, yaitu kisah-kisah rakyat. Setelah terjadinya perceraian diantara ayah dan ibunya, Abdul Malik berhenti sekolah dan jarang berada di rumah. Meskipun demikian, secara diam-diam dia rajin membaca terutama karya-karya sastra, baik yang Bahasa Melayu maupun Bahasa Arab.
Minat membaca atau belajar sendiri, dengan pemandangan alam Minangkabau nan indah yang bergunung-gunung serta danau dan dengan lingkungan keluarga yang taat beragama, merupakan dasar pertumbuhan Abdul Malik sewaktu mudanya.
Tidak puas dengan keadaan di sekelilingnya, Abdul Malik mulai mencari pengalaman dan meluaskan pandangan serta pengalamannya keluar dari Minangkabau. Sekitar tahun 20-an, gerakan-gerakan yang bergerak di lapangan politik dan keagamaan seperti Sarekat Islam yang dipimpin oleh Haji Omar Said Tjokroaminoto mulai muncul di Pulau Jawa. Begitu juga dengan Muhammadiyah yaitu sebuah perserikatan Islam yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta yang sejalan dengan pemahaman Abdul Rahman Amrullah, ayah Abdul Malik. Selain itu, muncul gerakan-gerakan nasionalis sekuler bahkan komunis di Jawa yang dipelopori oleh Alimin, Tan Malaka dan lain-lain. Berita-berita seputar kebangkitan pemahaman-pemahaman itu sampai ke Minangkabau dan menjadi isu pembicaraan khalayak ramai di Surau-Surau atau dimana saja.
Kecenderungan ingin tahu dan keinginan mencari pengalaman, Abdul Malik pada waktu itu masih berusia belasan tahun, berangkat ke kota Pekalongan di Pulau Jawa bertemu kakak iparnya, A.R. Sultan Mansur. Kemudian dari pekalongan beliau ke Yogyakarta, menumpang di rumah Pamannya, Ja’far Amrullah, seorang pedagang batik. Selama di Yogyakarta, beliau mengikuti kursus-kursus yang diadakan oleh Partai Sarekat Islam bahkan menjadi anggota partai itu. Beliau juga menjadi anggota Muhammadiyah. Berawal dari situ, beliau berkenalan dan rajin mengikuti pengajian yang dibawakan oleh para pemimpin Muhammadiyah seperti, K.H. Mochtar, K.H. Fachruddin, Kyai Bagus Hadikusumo dan lain-lain.
Pengalaman dan pergaulan selama di Yogyakarta itu meninggalkan kesan mendalam kepada Abdul Malik yang masih muda remaja. Hal ini ditambah lagi dengan kegemarannya membaca buku-buku sastra, sejarah dan sebagainya. Setelah tinggal beberapa lama di Yogyakarta beliau kembali ke kampungnya dan mulai rajin menulis. Buku pertama yang ditulisnya berjudul “Si Sabariyah” dengan huruf Arab Melayu, berbahasa Minangkabau dalam bentuk kaba. Buku ini mengisahkan tentang kisah nyata, seorang gadis bernama Sabariyah dan menikah dengan seorang pemuda bernama Pulai. Oleh karena dia miskin, si Pulai pergi merantau meninggalkan kampong dan Sabariyah tinggal bersama ibunya. Setelah lama Pulai merantau tanpa memberi nafkah kepada istrinya. Justru ketika itu ada seorang lelaki kaya dari negeri perantauan yang ingin mencari seorang istri. Ibu Sabariyah ada keinginan mempunyai seorang menantu kaya. Oleh karena itu, Ibunya membujuk Sabariyah agar meminta cerai dari Pulai.
Sabariyah menolak keinginan Ibunya. Dalam keadaan seperti itulah si Pulai pulang kembali ke kampung halamannya. Sebelum masuk ke rumah, beliau mendengar percakapan ibu dan Sabariyah yang mendesak agar Sabariyah bercerai dengan suaminya si Pulai. Pendek cerita, akhirnya si Pulai membunuh Sabariyah dan dirinya sendiri.
Setelah berhasil dengan buku kaba Si Sabariyah ini, Abdul Malik semakin rajin menulis. Diantara bukunya yang lain adalah “Laila Majnun”. Buku ini diilhami dari sebuah buku cerita pendek yang dibacanya dalam sebuah majalah Arab yang berjudul “Majdulin”. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka setelah diadakan perbaikan dan perubahan istilah-istilah Bahasa Minangkabau yang tidak dipahami oleh pembaca dari daerah lain. Hal ini tentu saja merupakan sebuah pencapaian bagus Abdul Malik yang masih muda dan mendorongnya lebih rajin mengarang.
(Simak pengalaman Hamka dalam mengembara ke Serambi Madinah, pengalaman jadi Muballigh ke pelosok negeri dan perjuangannya dalam revolusi Indonsia melawan Belanda dalam postingan berikutnya, In Syaa Allah)
Penulis : Muhammad Ammar Naufal, Mahasiswa master bidang pendidikan (M.Ed) di Universiti Teknologi Malaysia; Vice President I di Postgraduate Social society Faculty of Education (PGSS-FP); Ketua PW LIDMI Malaysia.