Pada usia 19 tahun, Abdul Malik melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Makkah. Keputusan tersebut diambil karena beliau kurang mendapat perhatian dari ayahnya yang sibuk mengurus berbagai tugas sebagai pengajar di Thawalib dan memenuhi undangan cerama di luar kampungnya. Abdul Malik berangkat ke Makkah tanpa memberitahu ayahnya dengan berbekal uang yang seadanya untuk menyewa kapal dari Medan ke Jeddah.
Beliau tinggal di Makkah selama enam bulan dan bekerja di sebuah percetakan buku untuk membiayai hidupnya. Selama di Makkah, beliau mempunyai peluang yang banyak untuk membaca buku-buku dan menambah kefasihan berbahasa Arabnya. Setelah kembali ke tanah air, beliau diterima oleh ayahnya dengan rasa terharu dan dinikahkan dengan seorang gadis bernama Siti Rahman.
Maka dimulailah satu perjalanan hidup baru; Abdul Malik tinggal di Padang Panjang. Beliau telah mendirikan sekolah yang dinamainya “Kulliyatul Muballighin” bersama-sama pengurus Muhammadiyah, dan beliau sendiri menjadi pemimpin dan sebagai pengajar. Tetapi, pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta meminta Abdul Malik menjadi mubaligh di kota Makassar dan tinggal di kota tersebut selama tiga tahun. Selama di Makassar, selain menjadi mubaligh, Abdul Malik rajin menulis artikel, yang dikirimnya ke beberapa penerbitan surat kabar di Jakarta dan Medan. Kemudian beliau diminta oleh teman-teman supaya ke Medan memimpin majalah bernama “Pedoman Masyarakat”.
Majalah Pedoman Masyarakat di bawah pimpinan HAMKA berkembang dengan pesat. Melalui majalah ini, lahirlah karya-karya besar seperti Tasauf Modern, Filsafat Hidup, Lembaga Hidup dan Lembaga Budi, semua ini diterbitkan dalam bentuk buku-buku Islam. Di samping itu, lahir pula karya-karya sastranya seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, berupa cerita-cerita sambungan dari majalah Pedoman Masyarakat dan beberapa cerita-cerita pendek yang dikumpulkan dalam buku Di Dalam Lembah Kehidupan. Baik majalah Pedoman Masyarakat maupun buku-buku agama dan sastra, karya Abdul Malik ini tersebar dan dibaca luas di seluruh Indonesia. Karya-karya ini mengangkat namanya sebagai Sastrawan Islam dan waktu itu pula namanya popular dengan sebutan Hamka yang tidak bukan adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
Majalah Pedoman Masyarakat berhenti ketika terjadinya perang dunia kedua dan masuknya bala tentara Jepang ke Indonesia. Selama lebih kurang tiga setengah tahun di bawah pemerintahan Jepang, Hamka mencurahkan perhatiannya dengan memimpin Muhammadiyah sebagai Ketua Muhammadiyah Sumatera Timur. Di samping itu, Hamka juga aktif bersama-sama pemimpin Indonesia yang lain, mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Tahun 1945 setelah kalahnya Jepang akibat jatuhnya bom Atom di Hiroshima, Indonesia mencapai kemerdekaan, dan Hamka yang sudah tidak lagi menjadi ketua Muhammadiyah di Medan, bersama-sama isteri dan anaknya yang berjumlah enam orang kembali ke Padang Panjang.
Selama revolusi Indonesia melawan Belanda dari tahun 1945 hingga 1949, Hamka memainkan peranan penting bersama-sama para pemimpin dan pejuang melawan Belanda. Beliau dipilih oleh Wakil Presiden, Mohammad Hatta, sebagai Sekretaris Front Pertahanan Nasional yaitu perhimpunan partai-partai politik di Sumatra Barat dalam usaha mempertahankan persatuan melawan Belanda. Beliau juga mendirikan Badan Pembela Negara dan Kota (BPNK), yaitu pasukan rakyat yang besar sekali peranannya dalam perang gerilya melawan Belanda. Ketika terjadinya invasi tentara Belanda, semua kota di Sumatra Barat telah dikuasai oleh Belanda. Dalam kedudukannya sebagai ketua BNPK, sewaktu pendudukan Belanda itu, Hamka turut serta bergerilya. Hamka tidak pernah tinggal di suatu tempat. Beliau tidak berhenti keluar masuk hutan mendaki dan menuruni bukit-bukit dalam usaha mengobarkan semangat rakyat melawan Belanda.
Pada tahun 1949, Belanda menyatakan kedaulatan Indonesia. Soekarno-Hatta yang ditawan di pulau Bangka dikembalikan ke Jakarta. Pada waktu itu Hamka pun telah berada dalam usia 40 tahun dan mempunyai enam orang anak yang masih kecil dan memilih hidup di Jakarta, karena Jakarta sebagai ibu kota republic lebih menjamin masa depan keluarganya, mengembangkan karir sebagai pengarang dan berbagai kegiatan kemasyarakatan di samping pendidikan anak-anaknya.
Pada tahun 1950, Hamka dan anak-anaknya berpindah ke Jakarta, memulai hidup baru dalam suasana Indonesia merdeka. Pada awal tahun 1950, semua bukunya berupa sastra maupun buku-buku agama yang lain menjadi rebutan penerbit-penerbit untuk dicetak ulang atas permintaan pembaca yang sangat digemari pembaca. Hamka semakin giat menulis karya-karyanya, di samping memenuhi undangan melakukan dakwah islam.
Selama beberapa tahun di Jakarta, Hamka juga giat mengikuti kegiatan-kegiatan kebudayaan, diundang menjadi perserta seminar kebudayaan dan kesusastraan, baik yang diadakan oleh pihak pemerintah maupun organisasi-organisasi swasta. Pada waktu itu, Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) didirikan, yang terdiri dari budayawan nasionalis sekuler, Kristian, Katolik, dan Komunis. Hamka sendiri mewakili budayawan Islam.
Pada pemilihan umum pertama di Indonesia tahun 1955, Hamka terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante dari Partai Islam Masyumi. Meskipun beliau tidak duduk dalam dewan pimpinan, namun beliau giat menggerakkan ummat membela Masyumi terutama melawan Partai Komunis yang sangat agresif menyebarkan pemahaman ateis di kalangan rakyat Indonesia. Pada tahun 1959, akibat dari pemberontakan di Sumatra Barat yang melibatkan para pemimpin Masyumi seperti Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara dan lain-lain, partai itu dibubarkan oleh Presiden Soekarno yang waktu itu sangat dekat dengan komunis. Dalam situasi seperti itulah Hamka menerbitkan majalah Panji Masyarakat, sebuah majalah yang lebih mengutamakan dakwah dan kebudayaan, seperti Pedoman Masyarakat yang dipimpinnya di Medan. Di samping menulis, Hamka juga aktif memimpin Jemaah di masjid al-Azhar yang terletak berdekatan rumahnya di daerah Kebayoran Baru, Jakarta. Di masjid inilah Hamka memberikan kuliah subuh dan mengajarkan tafsir al-Qur’an yang diikuti oleh para jama’ah yang cukup banyak. Semua kegiatan Hamka tersebut, termasuk menerbitkan majalah Panji Masyarakat dan sebagai Imam masjid al-Azhar tidak terlepas dari pengamatan kaum komunis.
Surat kabar komunis seperti Harian Rakyat dan Bintang Timur serta surat kabar kaum nasionalis pendukung Soekarno setiap hari menyerang Hamka di halaman utama dengan huruf-huruf besar; diantaranya “Neo-Masyumi muncul di masjid al-Azhar”, dan “Kebayoran Baru Jakarta”. Majalah Panji Masyarakat kemudian dilarang lagi menerbitkan majalah karena memuat tulisan Bung Hatta yang mengkritik Presiden Soekarno.
Pada 27 agustus 1964 berdasarkan Undang-undang Anti-Subversif yang dibuat oleh Soekarno, Hamka dan beberapa orang pemimpin serta beberapa ulama lain ditangkap dan dimasukkan kedalam penjara. Beliau dituduh mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia untuk membunuh Soekarno dan mendapat uang dari Tunku Abdul Rahman, Perdana Menteri Malaysia ketika itu. Meskipun tuduhan itu sama sekali tidak dapat dibuktikan, namun Hamka tetap ditahan dan dibebaskan setelah jatuhnya Soekarno dan setelah bubarnya Partai Komunis pada masa Pemerintahan Orde Baru.
Hamka berada dalam tahanan kurang lebih tiga tahun oleh rezim yang berkuasa waktu itu. Tinggal terpencil seorang diri tanpa kesibukan. Hari-hari Hamka diisi dengan ibadah shalat tahajjud, membaca kitab-kitab dan menulis tafsir al-Qur’an. Hamka sudah lama ingin menulis tafsir seperti yang diajarkannya kepada jama’ah subuh di masjid al-Azhar. Namun, karena berbagai kesibukan, hal itu sering terhalang. Setelah berada dalam tahanan, penulisan tafsir itu pun ditekuninya, hingga selesai. Atas usul jama’ah dan murid-murid di masjid al-Azhar, tafsir tersebut dinamai Tafsir al-Azhar.
Bersambung In syaa Allah, bagaimana perjalanan dakwah beliau di nusantara hingga negeri jiran, keterlibatannya dengan zaman Orde baru, perjuangannya dalam mempertahankan aqidah kaum muslimin dizaman itu dan kisah akhir hayat beliau.
Penulis : Muhammad Ammar Naufal