Oleh : Dr Muhammad Ardiansyah (Bakal pemateri Dialog Kebangsaan LIDMI)
Kita hidup di era disrupsi. Menurut Rhenald Kasali, ciri era disrupsi adalah perubahan yang terjadi secara cepat (speed), tiba-tiba (sudden) dan mengejutkan (surprise). Meski dia membahas disrupsi dalam konteks ekonomi dan bisnis, namun dampak disrupsi juga terasa di bidang lainnya. Termasuk dunia keilmuan dan pendidikan.
Disrupsi di dunia keilmuan dan pendidikan bisa dilihat dengan lahirnya ilmuwan gadungan dan matinya kepakaran. Sejak lama Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas mengingatkan, masalah umat ini adalah masalah ilmu. Bukan ilmu lawan dari kejahilan, tapi ilmu yang telah dirusak, tapi diyakini, diamalkan dan disebarkan secara luas. Masalah ini berlanjut dengan hilangnya adab (loss of adab), lalu munculnya pemimpin palsu di berbagai bidang. Orang yang tidak memiliki otoritas dan kapasitas tapi dianggap sebagai ahli dan diberikan kepercayaan.
Peringatan al-Attas ini sepertinya disepakati oleh Tom Nichols, Profesor US Naval War College dan Harvard Extention School. Dia kemudian menulis buku the Death of Expertise. Buku ini menjadi best seller dan sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Matinya Kepakaran. Menurutnya, Matinya Kepakaran bukan berarti kematian kemampuan pakar keilmuan di berbagai bidang. Sebab faktanya sampai kini, selalu ada dokter, insinyur, pengacara dan sebagainya. Matinya kepakaran adalah permusuhan dan perlawanan terhadap pengetahuan yang sudah mapan.
Fenomena Matinya Kepakaran bukan hanya terjadi di Amerika Serikat, dan bukan sebatas di bidang sosial politik. Kini, fenomena itu terasa di dunia Islam, bahkan menyentuh bidang agama. Wujud dari fenomena ini munculnya orang yang bicara tanpa ilmu yang benar. Akibatnya, seperti kata ulama “idza nathaqa rajulun fii ghayri fannihi kharajat al-‘ajaib (jika seorang bicara yang bukan bidang keahliannya, maka akan keluar yang aneh dari mulutnya).
Di satu sisi ada orang yang baru ngaji kemarin sore, lalu merasa paling paham Islam. Bahkan merasa setara dengan para Imam, bisa langsung merujuk al-Qur’an dan Sunnah. Pandangannya sempit, hatinya keras, sikapnya kaku. Adanya perbedaan furu’iyyah kadang disikapi dengan sinis, hujan tuduhan dan tahdzir, mulai dari tabdi’ bahkan takfir.
Di sisi lain ada yang sudah lama ngaji, bahkan pernah mondok, malah menentang Islam. Ulama digugat, ijma’ dilawan, bahkan al-Qur’an dan Sunnah ditafsir sesuai hawa nafsu mereka. Akhirnya, yang jelas haram seperti zina, LGBT, dipaksakan agar menjadi halal. Yang disepakati larangannya, seperti membuka aurat, harus dipahami sesuai konteks dan budaya lokal. Sebaliknya, yang jelas Sunnah seperti berjenggot, bercadar, malah diejek bahkan dicurigai. Atau yang halal, seperti poligami, malah digugat dengan alasan bertentangan dengan HAM.
Kondisi seperti ini memang hanya segelintir orang saja. Selebihnya, masih banyak orang baik di sekitar kita. Oleh karena itu, diperlukan sikap yang tepat menghadapi masalah kekeliruan ilmu saat ini. Sejak lama, Imam al-Khalil ibn Ahmad memberikan tips untuk umat Islam. Menurutnya, dalam konteks keilmuan, manusia itu ada empat macam.
Pertama, berilmu, sadar diri sebagai orang berilmu (rajulun yadri wa yadri annahu yadri). Maksudnya, pemikiran, sikap dan akhlaknya sesuai dengan ilmunya. Orang itu adalah ahli ilmu sejati. Jika berjumpa dengan orang seperti ini, maka ikutilah dia. In syaaAllah kita akan dibimbing ke jalan yang benar, bahagia dunia akhirat.
Kedua, berilmu, tapi tidak sadar diri sebagai orang berilmu (rajulun yadri wa laa yadri annahu yadri). Maksudnya, ilmunya hanya sebatas di hapalan, pemahaman atau lisan. Adapun pemikiran, sikap atau akhlaknya tidak sesuai dengan ilmu yang benar. Dia itu seperti orang yang tidur mengigau. Sikap kita kepadanya adalah membangunkan agar dia segera sadar. Bukan malah diikuti atau dibela sampai mati. Meski dia tokoh, maka kebenaran tetap harus diikuti. Sayyidina Ali pernah berpesan “Jangan menilai kebenaran karena memandang ketokohan seseorang, tapi kenalilah kebenaran, niscaya kamu akan tahu siapa orang yang benar”
Ketiga, tidak berilmu, tapi sadar diri kalau tidak berilmu (rajulun laa yadri wa yadri annahu laa yadri). Kesadarannya itu membuatnya ingin belajar kepada yang ahli. Maka dia itu pencari hidayah. Sikap kita kepadanya, ajarilah dan bimbinglah dia sesuai kemampuan kita. Jika dia masih ingin belajar ilmu di atas kapasitas kita, maka ajaklah menemui ulama yang memiliki otoritas keilmuan di bidang itu.
Keempat, tidak berilmu, dan tidak sadar diri kalau tidak berilmu (rajulun laa yadri wa laa yadri annahu laa yadri). Dengan kata lain, sudah tidak tahu, tidak mau diberitahu, bahkan merasa lebih tahu dari orang yang memberitahu. Dia itu orang yang bodoh (jahil), bahkan berlapis kebodohannya (murakkab). Orang semacam ini cukup dijauhkan dan ditinggalkan. Ocehannya tidak perlu ditanggapi karena hanya akan jadi promosi gratis buatnya. Seperti kata ulama “tarku al-jawaabi ‘ala al-jaahili jawabun”. Tidak menjawab orang yang bodoh itu, sudah cukup sebagai jawaban untuknya.
Sebagai penutup, semangat kita untuk belajar dan berdoa agar diberi ilmu yang bermanfaat jangan pernah padam. Seperti kata Raja Ali Haji “Jika hendak mengenal orang yang berilmu, bertanya dan belajar tiadalah jemu”
Wallaahu a’lam bi al-shawab
Cilodong, Sabtu 30 Jumada al-Ula / 25 Januari 2020