MAKASSAR – Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Dr. Fahri Bachmid, S.H., M.H. menyatakan bahwa konsekuensi dari pilihan sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup harus berujung kepada kesejahteraan rakyat.
“Tapi satu yang harus kita yakini bahwa konsekuensi dari pilihan sistem itu harus berujung kepada kesejahteraan rakyat. Harus berujung kepada bagaimana memperbaiki tatanan kehidupan berkebangsaan kita ke arah yang lebih baik, apapun sistemnya,” kata Fahri Bachmid saat tampil sebagai pembicara dalam Lidmi Intelektual Forum yang berlangsung secara daring, Rabu (01/02/2023).
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi dan Pemerintahan (PaKem) Fakultas Hukum UMI itu memaparkan hal tersebut berkenaan dengan tema kegiatan Lidmi “Masa Depan Demokrasi Indonesia : System Proporsional Terbuka atau Tertutup.”
Dr. Fahri menjelaskan bahwa negara di dunia ini yang menganut sistem demokrasi ada 191, 18 negara sistem pemilu model terbuka, sisanya itu ada yang campuran dan ada yang tertutup. Pada umumnya yang paling banyak model tertutup sebenarnya, negara-negara itu maju semua, kualitas demokrasinya mapan, anggota parlemen yang dihasilkan qualified. Sama seperti model pemilu kita tahun 1955.
Pengurus Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia itu juga menambahkan bahwa pada tahun 1999 hasil pemilunya itu melahirkan anggota parlemen DPR RI yang diamanatkan sesuai dengan agenda reformasi. Coba kita liat kualitas anggota parlemen pada saat itu, menghasilkan suatu produk amandemen konstitusi sebanyak 4 kali yang kita nikmati saat ini, itu dihasilkan oleh suatu sistem yang tertutup juga.
“Anggota parlemen sangat luar biasa, gagasan-gagasan kebangsaan dan konstitusionalnya itu dikemukakan dengan cara-cara yang cerdas. Itu juga dihasilkan oleh sistem yang tertutup. Karena partai memahami siapa yang hendak didelegasikan, jadi pendelegasiannya itu kepada orang-orang yang betul-betul kapabel, menguasai idelogi negara, ideologi partai dan menguasai sistem ketatanegaraan kita,” ujarnya.
Dr. Fahri menilai tidak ada suatu sistem di dunia ini yang salah atau benar, yang ada adalah sebuah sistem itu tepat atau tidak tepat. Karena karakter corak demokrasi itu sangat berkaitan dengan keadaan sosiologis, keadaan sosial politik, keadaan demografi.
“Kita ini tidak melaksanakan pemilu dalam satu hamparan, tapi beribu-ribu pulau dari sabang sampai merauke. Di Jakarta sudah selesai melakukan rekapitulasi suara secara nasional sedangkan di Papua peti suara masih berada di gunung-gunung dan begitupun dengan daerah-daerah yang lain. Demokrasi itu harus kompatibel dengan corak, watak, dan kondisi historis dari sebuah bangsa itu,”terangnya.
Dia juga menyatakan bahwa kalau nantinya sistem pemilu proporsional tertutup diterima maka harus diikutkan juga dengan perbaikan-perbaikan pada sistem yang lain.
“Misalnya seperti partai politik harus didorong agar terjadi proses demokratisasi. Partai menjadi terbuka, partai menjadi sangat adaptatif dengan perbedaan-perbedaan. Kalau hari inikan anggota partai tidak ada yang berani berbeda pendapat dengan ketua umumnya. Jadi kedepannya harus ada perbaikan secara internal oleh partai politik. Kita mulia dengan cara mendorong undang-undang partai politik harus direformasi,” katanya.
Menurut Dr. Fahri, apapun pilihannya, demokrasi ini hanya sebagai alat saja, dia bukan tujuan. “Jadi mau tertutup ataupun terbuka kita melihat mana yang efektif , mana yang kira-kira memberikan kontribusi terhadap efektivitas demokrasi kita,”pungkasnya.
Reporter: Lidmi Media Center
Editor: Tim LMCnewsroom