MAKASSAR – Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari, S.H., M.H., LL.M. menyatakan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka memposisikan pilihan masyarakat yang terbanyak mampu menentukan wakil mereka yang akan menduduki parlemen.
Sementara jika sistem pemilu proporsional tertutup akan memposisikan kedaulatan elit partai dan hanya merepresentasikan kepentingan partai.
“Sementara kalau tertutup, dia akan memposisikan kedaulatan elit partai terutama ketua umum dan sekjen partai untuk menentukan siapa yang layak merepresentasikan partai yang dipilih banyak oleh masyarakat untuk duduk di parlemen,” kata Feri Amsari dalam Lidmi Intelektual Forum yang dilaksanakan secara daring, Rabu (01/02/2023).
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas itu memaparkan hal tersebut berkenaan dengan tema kegiatan Lidmi “Masa Depan Demokrasi Indonesia : System Proporsional Terbuka atau Tertutup.”
“Jadi sudah jelas kalau terbuka lebih potensial menerapkan prinsip kedaulatan rakyat , sementara tertutup akan agak lebih jauh, karena ada jembatan lain untuk menentukan siapa yang duduk di parlemen,” tuturnya.
Menurut Feri, dalam menjalankan prinsip ketatanegaraan aturan mainnya harus sudah disepakati dalam sebuah konstitusi.
“Jadi tidak kesepakatan yang dadakan. Mana yang akan menguntungkan orang-orang tertentu hanya karena kondisi dan keadaan tertentu pula,” ucapnya.
Feri lanjut memaparkan bahwa Kesepakatan yang ada di konstitusi itu harus memjamin pilihan-pilihan hukum atau politik di kemudian hari dan dampaknya berimbang dan adil bagi semua orang. Termasuk juga pilihan dalam menjalankan sistem kepemiluan, undang-undang partai politiknya, pemilunya dan peraturan-peraturan pelaksananya, harus berdasarkan apa yang sudah dikehendaki undang-undang Dasar.
Feri menilai sistem pemilu yang merupakan karya manusia pastilah tidak ada yang paripurna. Pasti ada kelemahan dan ada baiknya. Oleh karena yang perlu ditinjau adalah pilihan sistem itu berkesesuaian dengan maksud UUD, atau yang paling penting adalah apakah sistem itu paling cocok dengan budaya politik kita.
Feri juga mengungkapkan bahwa pada pasal 1 ayat 2 UUD mengatakan kedaulatan berada ditangan rakyat.”Rakyat yang berdaulat menentukan siapakah yang duduk menjadi wakil mereka di parlemen. Bukan ketua umum partai,” ungkapnya.
Feri menjelaskan bahwa pasal 22 E dalam UUD soal asas-asas pemilu, sebenarnya asas pemilu itu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, ditambah satu lagi yang sering orang luput dilakukan 5 tahun sekali. Asas itu menyebutkan asas langsung, tidak ada perantara antara rakyat yang memilih dengan apa yang mereka pilih.
“Oleh karena itu asas langsung merekalah yang menentukan siapa yang berhak duduk dengan suara terbanyak. Dari dua isi ketentuan konstitusi ini sudah jelas arah pilihan yang paling dekat dengan maksud konstitusional kita adalah sistem pemilu proporsional terbuka. Karena membuka ruang kedaulatan rakyat merepresentasikan gagasan asas langsung,” ujarnya.
Feri menambahkan soal pasal 28 D ayat 1 berkenaan dengan kepastian hukum, sebenarnya sistem proporsional terbuka itu sudah berkali-kali diterapkan paska perubahan Undang-undang Dasar. Dan oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan putusan nomor 22-24/PUU-VI/2008, disebutkan bahwa sistem proporsional terbuka itulah yang Konstitusional untuk diterapkan dalam penyelenggaraan pemilu kita.
“Kalau kita ubah lagi berarti sistem pemilu kita tidak punya kepastian hukum. Melanggar pasal 28 D undang-undang Dasar 1945,” pungkasnya.
Reporter: LIDMI Media Center
Editor: Tim LMCnewsroom