Oleh: Dian Rahmana Putri
Khadijah radiyallahu anha adalah seorang wanita kaya raya di kalangan Quraisy. Tidak cukup dengan itu, ia juga terlahir dari keluarga bangsawan yang tinggi status sosialnya. Harta yang melimpah serta kedudukannya yang tinggi di kalangan Quraisy menjadi paripurna karena dilengkapi dengan kecerdasan dan kematangan pribadi seorang Khadijah. Karena karakternya yang tanpa cacat inilah, Khadijah kemudian diberi gelar Sang Ratu Makkah. Sebuah simbol langka yang hampir tak mungkin diberikan oleh bangsa Quraisy yang begitu mendewakan kaum pria.
Belasan tahun berlalu setelah pernikahan yang agung dengan Khadijah radiyallahu anha, Muhammad bin Abdullah kemudian terbiasa mengasingkan dirinya ke gua hira. Melarikan diri dari hiruk pikuk kehidupan Makkah yang penuh dengan sesembahan berhala. Menenangkan jiwa sambil memikirkan Rabb-Nya yang sudah mulai tak lagi diagungkan kaumnya. Bahkan mereka mendustai ajaran-Nya. Disanalah manusia mulia ini menemukan ketenangan. Disanalah manusia yang paling bagus perangainya ini merenungi ciptaan Allah yang terbentang di alam semesta. Dengan bekal roti yang disiapkan Khadijah, istrinya tercinta, Muhammad melewati perenungannya di gua hira dengan khusyu’ selama beberapa malam tanpa pulang ke rumah. Sesuatu yang dilakukannya seperti tahun-tahun sebelumnya.
Sampailah pada sebuah malam yang berkah, malam penuh rahmat yang mengubah seluruh cerita perjalanan ummat manusia. Malam yang menjadi tonggak sejarah lahirnya perubahan paling drastis bagi manusia di jazirah arab lalu berkembang ke seantero mayapada. Saat Muhammad sedang khusyu’ mengingat Allah dalam perenungan yang dalam, tiba-tiba terdengar suara yang kuat dan menggema di dalam gua. Suara itu memanggil namanya berulang-ulang. Muhammad tercengang dan begitu ketakutan mendengarnya. Lalu muncullah sesosok cahaya yang menyilaukan dan menerangi keseluruhan isi gua.
Sosok tersebut kemudian berkata dengan tegas kepadanya:
“Bacalah!” Suaranya kembali menggema. Menggetarkan seluruh ruang gua. Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam ketakutan lalu membalas:
“Aku tidak bisa membaca.”
Mendengarnya, Jibril kemudian menarik tubuh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu memeluknya dengan begitu erat sampai Sang Nabi merasa begitu kepayahan. Lalu dilepaskanlah pelukannya dan memerintahkan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan hal yang sedari tadi jibril katakan:
“Bacalah!”
Namun jawabannya tetap sama: “Aku tidak bisa membaca.” Jibril yang mendengarnya kembali melakukan hal yang sama. Memeluk tubuh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan erat hingga tubuhnya sesak. Dilepaskan kembali tubuh sosok paling mencintai Allah itu lalu kembali memerintahkan hal yang sama:
“Bacalah!”
“Aku tak bisa membaca.” Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam kembali memberikan jawaban yang sama , masih dalam ketakutan yang merenggut seluruh jiwanya. Mendengarnya, Jibril melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Ini sudah ketiga kalinya. Jibril lalu meneruskan ucapannya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Di lain tempat, Sang Istri yang paling mencintainya menunggu kedatangan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan gelisah. Waktu yang berlalu terasa begitu lama baginya. Entah kenapa hari itu terasa begitu berbeda. Ada kegelisahan yang menggelayut di jiwanya. Khadijah pun memerintahkan para pembantunya menjemput Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang yang diutus tidak menemukan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam di gua hira. Merekapun mencarinya di Ka’bah. Tapi sosok Nabi belum juga terlihat. Tak berapa lama setelah pencarian tersebut, Sang Nabi datang dengan wajah pucat pasi. Tubuhnya menggigil ketakutan seakan ada mara bahaya tang menyerangnya tanpa ampun. Dengan suara gemetar, Muhammad berucap:
“Selimuti aku!”
“Selimuti aku!”
Khadijah merengkuhnya dengan kelembutan. Memeluk Sang Nabi dengan tenang.
“Dari mana saja engkau, wahai Abu Qasim?” Tanyanya lembut. Suaranya menenangkan jiwa Sang Nabi yang sejak tadi masih menggigil ketakutan. Ia pun mengurai cerita dan kekhawatirannya. Ia resah jika apa yang baru saja terjadi adalah tanda-tanda orang yang sudah hilang kewarasannya.
Mendengar kegelisahan belahan jiwanya, Khadijah kembali mendekap Sang Nabi penuh cinta. Sebuah sentuhan kasih sayang yang juga berisi iman di dada. Getaran kehangatan yang diberikan oleh perempuan mulia ini tentu saja tidak hanya menenangkan raga, tapi juga jiwa yang sedang gundah gulana.
“Tidak mungkin. Aku memohon kepada Allah melindungimu dari semua kekhawatiranmu. Allah tidak akan melakukan hal itu kepadamu karena engkau adalah orang yang jujur, terpercaya, berakhlak mulia dan suka menyambung tali silaturahmi.”
Ucapan yang lembut dan tegas ini adalah sebuah kalimat penopang paling mengesankan bagi Sang Nabi. Sebuah cerita awal dari banyaknya peristiwa tentang dukungan Khadijah dalam perjuangan Sang Nabi. Hari bersejarah yang dimulai dengan malam penuh berkah ini kemudian berlanjut dengan pertarungan menegakkan kalimat Allah di jazirah Arab.
Sang Nabi disakiti berulang-ulang kali oleh para petinggi Quraisy hingga anak-anak yang diperintahkan oleh orangtua mereka. Namun Khadijah selalu menjadi figur pendukung terbaik dan tidak pernah berhenti memberikan bantuannya kepada Sang Nabi. Bahkan harta hasil perniagaannya dikerahkan untuk menopang dakwah Rasul dan kesulitan kaum muslimin saat itu. Khadijah menjadi sosok penghibur bagi Sang Nabi atas lelahnya perjuangan yang menciderai jiwa dan raganya. Khadijah adalah pasangan hidupnya yang selalu ada dalam keadaan terburuk sekalipun. Teruji dalam kondisi manapun. Memberikannya suntikan semangat, pelukan yang hangat, juga genggaman tangan yang menguatkan saat dakwah terasa begitu berat.
Perjuangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berat menghadapi embargo ekonomi dan tekanan fisik maupun mental dari kaum Quraisy menjadi puncak tantangan dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam di masa awal penyebaran Islam di Makkah. Kesusahannya menumpuk kemudian harus ditambah dengan sakitnya sang belahan jiwa. Kepayahannya membantu Sang Nabi dalam berjuang membuatnya harus terbaring kaku di atas tempat tidur. Namun Sang Nabi, seorang suami semesta ini adalah teladan bagi kita semua. Ia terus merawat Sang Istri penuh dengan cinta. Ia hampir tidak pernah meninggalkan Khadijah selain saat menunaikan sholat. Lalu takdir kepergian Sang Ummul Mukminin inipun akhirnya tiba. Saat 10 Ramadhan di tahun ke 10 Sang Nabi. Belahan jiwanya pergi.
Maka ucapan dari Sang Nabi ini adalah rangkuman betapa hebatnya pengaruh Khadijah di dalam hidupnya:
“Khadijah beriman kepadaku ketika orang-orang ingkar, dia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku dan dia menolongku dengan hartanya ketika orang-orang tidak memberiku apa-apa. Dan Allah memberikan anak padaku darinya bukan dari wanita lain.” (Hadits Riwayat Imam Ahmad)
Khadijah telah menisbatkan keseluruhan hidupnya menjadi penopang risalah Sang Nabi. Ia rela menghabiskan dirham demi dirham hasil perniagaannya. Ia rela berlelah-lelah mendukung perjalanan perjuangan Sang Nabi meski sakit fisiknya. Ia rela memberikan segenap jiwa dan raganya untuk menopang pertarungan Sang Nabi menyebarkan Islam di negerinya. Maka Khadijah radiyallahu anha, sang wanita mulia telah memberi contoh bagaimana seharusnya kesadaran yang kokoh dipunyai oleh seorang istri untuk mendukung suaminya. Khadijah adalah istri yang menyediakan bekal roti penuh cinta bagi Muhammad saat jiwanya butuh berdzikir di gua hira. Khadijah adalah sosok pertama yang mendengar dari nuraninya yang terdalam atas perkataan Sang Nabi tentang ketidakwarasannya. Khadijah adalah pribadi pendukung terbaik bagi Rasul yang memberikan harta hasil perniagaannya agar sang suami berdakwah dengan sepenuh tenaga tanpa ada ruang yang membatasinya. Khadijah adalah teladan terbaik bagaimana seorang istri mampu menjadi penopang pertama atas kesuksesan dalam hidup suaminya.
Maroji’:
- Adhim, Muhammad Fauzil. 2006. Kupinang engkau dengan hamdalah. Jakarta, Indonesia: Mitra Pustaka.
- Muhammad, Abdul Mun’im. (2006). Khadijah the truel Love story of Muhammad Saw. Jakarta, Indonesia: Pena Pundi Aksara.
Maa syaa Allah
Maa syaa Allah keren kk