Oleh; A.sH_Pelajar Law and Politics King Saud University
Semester musim panas tahun ini, di sekolah hukum kami belajar dari dosen King Fahd Security College (sekolah pertahanan di Saudi Arabia) tentang penggalan sejarah demokrasi diantaranya seputar Magna Carta (dalam bahasa arab disebut “al-‘ahdu al-kabir”) tahun 1215 M pada era kezaliman Raja Inggris yang bernama Raja John. Dalam (Constitutional Law: Antara Syariat Islam dan Hukum-Hukum di Dunia hal.54-56) intinya disebutkan bahwa Magna Carta menjadi cikal bakal berkembangnya demokrasi. Dalam piagam ini memuat tentang pembatasan kekuasaan Raja dan Hak Asasi Manusia (HAM) lebih penting daripada kedaulatan Raja. Menghormati kemerdekaan, hak dan kebebasan gereja. Hukum dan Undang-Undang derajatnya lebih tinggi daripada kekuasaan Raja.
Dalam Islam, HAM bukanlah pemberian dari seseorang, bukan hasil perjanjian atau kesepakatan hukum tertentu. HAM langsung dari Allah yang sudah dijelaskan secara detail dalam al-Qur’an dan Sunnah. Tidak berubah-ubah dan universal. Mencakup seluruh kepentingan dan kemaslahatan ummat manusia pada semua waktu dan tempat. Dalam Islam dikenal yang namanya 5 dharurat, yaitu; menjaga agama, jiwa, akal, nasab keturunan dan harta.
Dalam haji Wada’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah berkhuthbah yang isinya: “Wahai Manusia hari apakah ini? Mereka menjawab: hari suci. Beliau bertanya lagi: Dinegeri apakah ini? Mereka menjawab : Negeri suci (tanah suci). Beliau tanya: Pada bulan apa ini? Mereka menjawab: Bulan suci. Lalu beliau bersabda: Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram seperti sucinya hari kalian ini dinegeri kalian ini dan dibulan kalian ini. Beliau ulang beberapa kali.” (HR Bukhari).
Jika berbicara dalam konteks kejahatan HAM yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar, maka kita sangat mengapresiasi yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia bersama Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM) serta aksi-aksi kemanusiaan lainnya. Semoga dengan adanya langkah kongkret berupa bantuan kesehatan, bisa segera mengobati yang sedang terluka. Dengan bantuan pendidikan, warga Rohingya menjadi semakin berpendidikan dan suatu hari (entah kapan dan jika tidak kembali dibantai) bisa memperjuangkan hak-haknya secara cerdas. Semoga bisa menjadi sejahtera dan tidak lagi dipekerjakan secara paksa. Tapi, tentu saja upaya-upaya ini belum mampu menjawab permasalahan utama yang terjadi di Rohingnya.
Siapa yang bisa menjamin sekolah dan rumah sakit yang akan dibangun oleh pemerintah Indonesia suatu hari tidak dibakar oleh para teroris di Myanmar? Siapa yang bisa bertanggung jawab jika rakyat rohingnya kembali dibakar hidup-hidup? Siapa yang dapat mengembalikan kehormatan wanita-wanita rohingnya jika kembali diperkosa ?
Oleh karena itu, langkah kedua yang harus dilakukan setelah berdoa adalah memperkuat solidaritas kemanusiaan dan ukhuwah Islamiyyah. Agama apa pun yang sedang dizalimi seperti kezaliman yang terjadi di Rohingnya saat ini maka wajib bagi kita sebagai ummat manusia untuk prihatin dan turut membantu (moril maupun materil). Seluruh pengungsi Rohingnya seharusnya bisa diperlakukan dengan baik sebagaimana pemerintah Saudi Arabia memperlakukan warga Rohingnya di Saudi Arabia. Bahkan pemerintah dan warga Saudi memperlakukan mereka layaknya warga negara mereka sendiri. Sudah lama Kerajaan Saudi Arabia memberikan Kartu Identitas (iqama) kepada ratusan ribu warga Arakan untuk menjadi bagian dari penduduk Saudi Arabia bahkan ada yang sudah menjadi warga negara Saudi padahal syaratnya sangatlah susah.
Pada momentum ini, dengan isu HAM, seharusnya presiden Republik Indonesia sebagai pemimpin dengan penduduk muslim terbesar di dunia mampu menunjukkan kepemimpinannya di regional ASEAN. Presiden Jokowi seharusnya mampu menggerakkan hati dan pikiran pemimpin-pemimpin ASEAN untuk segera menyelesaikan permasalahan Rohingnya yang terus berulang. Jika tidak, persoalan akan berdampak pada masalah stabilitas keamanan kawasan. Selanjutnya melalui rekomendasi ASEAN, mendesak PBB untuk bisa menerjunkan pasukan penjaga perdamaian dunia yang tentu saja melibatkan tentara Republik Indonesia untuk mengantisipasi junta militer Myanmar agar tidak lagi mengulangi kezalimannya. Karena dengan berjaga-jaga dan dengan persiapan, mereka akan menjadi gentar.
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. al-Anfal: 60)
Jika ternyata mereka kembali melakukan serangan, maka seharusnya PBB harus turun tangan membantu untuk membela diri. Jika tidak, maka tentu saja ummat Islam akan terus berjuang untuk membela diri. Dalam al-Qur’an diajarkan hak untuk membela diri yang mungkin belum ada dalam aturan PBB.
“Bulan Haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu, barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 194)
Begitupun dengan Ikatan Ulama ASEAN dan OKI, semoga bisa memiliki pengaruh bersama yang memiliki otoritas dalam hal ini pemerintah untuk menfasilitasi ummat yang siap menjadi relawan sosial secara legal agar memastikan tersalurkannya bantuan bagi yang membutuhkan. Hal ini disebabkan karena semangat persaudaraan ummat Islam untuk terjun membantu secara langsung sangat kuat. Jika saja dibuka pendafataran secara resmi yang difasilitasi oleh negara untuk menjadi relawan sosial ke Rohingnya, mungkin jumlah yang mendaftar bisa menyamai jumlah muslim Rohingnya yang masih tersisa saat ini.
Salam,
Love, Peace & Justice