Komentar : Dr. Budi Handrianto (Peneliti INSISTS)
Mengapa pendidikan Barat tidak ada pelajaran menghafal? Karena memang mereka tidak punya teks untuk dihafal. Maka dari itu, selain tidak menghafal, mereka juga anti dengan menghafal.
Pendidikan Islam justru diawali dengan menghafal. Sebab, kewajiban seorang muslim yang pertama dan utama adalah shalat. Dalam shalat ada gerakan dan bacaan. Shalat tanpa membaca surat al-Fatihah tidak sah shalatnya. Maka, menghapal surat al-Fatihah hukumnya wajib.
Membaca dan menghafal teks Alquran mendapat pahala tiap hurufnya. Bahkan membaca dengan terbata-bata tanpa tahu artinya juga dapat pahala 2, pahala membaca dan pahala usaha kerasnya. Anak-anak yang hafal Alquran akan memakaikan mahkota ke kepala orang tuanya di surga. Artinya, sang penghafal akan berada di surga dan orang tuanya akan dibawanya masuk pula ke surga, meskipun mungkin sebelumnya ia berada di neraka. Bisa menghapal Alquran merupakan kompetensi yg didambakan semua orang Islam yang berakal.
Kehebatan ulama-ulama kita Zaman dahulu sering diukur dengan kekuatan hafalan. Imam Syafi’i rahimahullah hafal Alquran umur 6 tahun dan kitab al-Muwatta, karangan gurunya, umur 10 tahun.” Imam Malik ketika dibawakan 30 hadits, sekali diperdengarkan, 29 hadits langsung hafal. Seorang disebut gelar al-Hafidz (bukan hafidz Quran karena hafidz Quran sudah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat Islam kala itu) adalah mereka yg hafal 100.000 hadits beserta sanadnya. Orang membuat klasifikasi berdasarkan jumlah hafalan hadits.
Lalu ada pejabat tinggi bidang pendidikan yang bilang dunia tidak membutuhkan anak-anak yang jago menghafal. Mungkin benar bagi dunia yang materialistis. Sudah bagus anak-anak menghafal di sekolah dasar jadi cerdas, meringankan tugas dia sebagai menteri. Alih-alih didukung, malah dibuat demotivasi. Ketika menjadi pejabat publik, sebaiknya karakter sektarian atau sekedar dunia yang digelutinya saja ditinggalkan. Mesti diperluas cakrawalanya. Kalau kemarin-kemarin hanya dari A sd D, sekarang harus ditambah dari E sd Z. Mengecilkan dunia pendidikan dari A sd Z menjadi A cuma sampai D, adalah langkah keliru.
Sebenarnya pandai menghafal juga termasuk salah satu bentuk kecerdasan. Ciri-ciri orang cerdas itu hafal sesuatu. Dalam film-film Hollywood juga sering digambarkan tokoh yang cerdas jago dalam menghafal. Bahkan karena mereka sekuler, kemampuan menghafal itu digunakan juga untuk mencari keuntungan perjudian di kasino-kasino.
Ada pakar (bukan) pendidikan menyebut bahwa menghafal bukan termasuk belajar. Menghafal hanya mengumpulkan informasi-informasi saja, tidak membentuk pemahaman. Kalaulah jadi pandai karena kebiasaan saja, seperti otot tangan yang dilatih beban lama-lama jadi kuat dan membesar.
Keunikan manusia adalah, ketika otak bekerja maka ia akan membuat simpul-simpul dendrit terhubung. Makin banyak terhubung makin banyak pengetahuan. Wajar kalau ia makin cerdas. Hanya anak kecil yang belum berakal yang menghafal hanya sekedar menghafal.
Kata “Pakar” ini juga, salah kalau dibilang dari kecil rajin menghafal akan ingat sampai dewasa. Kalau tidak dihafal terus ya hilang. Memang tidak salah. Lha wong dihafal saja bisa hilang hafalannya apalagi tidak. Ada-ada saja bapak ini….
Kalau hafalan tidak penting buat anak-anak sekolah, saya menunggu kebijakan pemerintah bahwa semua ujian, termasuk ujian nasional (kemarin katanya mau dihapus, eh belum lama diralat, nggak jadi) open book!
Kita juga tahu bahwa pemahaman itu penting. Tapi dengan mengatakan bahwa menghafal tidak penting, apalagi bilang menghafal tidak dibutuhkan, maka pemahaman ini harus diluruskan. Yang proporsional saja. Pendidikan di Indonesia, tidak sama dengan pendidikan di Barat. “Kita kan hidup di Indonesia, bukan di sana. Mereka bukan kita…” kata Utha Likumahuwa.
Saudara-saudaraku kaum muslim, banyak keuntungan menghafal, terutama menghafal Alquran, doa-doa dan dzikir. Banyak orang sakit, sekarat, hati sedang galau, pikiran sedang kacau dan sebagainya, tidak ada Alquran, tapi mulutnya bisa komat-kamit membaca Alquran, doa dan dzikir. Kemudian hati menjadi tenang. Bayangkan jika seseorang berada di rumah sakit dalam kondisi kritis tidak bisa apa-apa. Ia hanya bisa memandangi langit-langit kamar. Mungkin sedang menunggu Malaikat maut mencabut nyawa. Ia ingin sekali turun dari tempat tidur, berwudhu, mengambil mushaf dan mengaji, tapi tentu tidak bisa. Dengan dia menghafal Alquran maka pikirannya akan menelusuri lembar demi lembar mushaf Alquran yang sudah dihafalnya itu. Dan ketika malaikat akan mencabut nyawa, ia sudah siap dalam keadaan bersih dan suci.
Rajin menghafal di waktu muda juga mencegah kepikunan di kala tua. Banyak orang sudah tua menjadi pikun karena malas menghafal di waktu muda terutama Alquran. Sampai-sampai istrinya pun lupa. Sebuah anekdot, seorang bapak tua memanggil istrinya dengan panggilan mesra, “sayangku”, “manisku”, “adindaku”, dan semisalnya. Ada anak muda heran, sudah setua itu rumah tangga pasangan tersebut, si bapak kok masih mesra. Maka ditanyakanlah apa resepnya oleh anak muda itu ke bapak tersebut. Jawabnya, “Ssst…jangan bilang-bilang, saya sudah 3 bulan ini lupa nama istri saya…”
Ada pula bapak-bapak yang sudah tua, istrinya protes. “Pak, kenapa sih sudah seminggu ini Bapak tidak cium kening saya sebelum berangkat kerja?” Dalam hati sang bapak kaget, “Loh, berarti siapa yg selama seminggu ini aku cium keningnya…”
Makanya rajin menghapal, biar tua nggak cepat pikun….