Indonesia berpopulasi penduduk terbesar keempat, setelah Amerika Serikat, China, dan India. Jumlah penduduk yang besar bagi suatu negara adalah modal sosial luar biasa bila berkualitas. Apalagi jika bisa dikelola secara baik sehingga pada saatnya akan menjadi generasi kualitas. Namun apabila penduduk besar ini tidak berkualitas, besar kemungkinan menjadi beban negara dan masyarakat.
Dalam dinamika perubahan kurikulum pendidikan kita, memang kita tetap berharap akan di arahkannya kurikulum baru mencetak generasi berkualitas. Sehingga, konsep pendidikan nasional yang kurikulum baru diterapkan menekankan pendidikan watak/karakter dan kemampuan bernalar. Karena telah terjadi krisis moral di mana-mana, seperti perkelahian pelajar, menyontek, banyak siswa terlibat masalah seksual, dan lain-lain, dan kasus-kasus tersebut kurang memenuhi harapan masyarakat.
Politik Pendidikan
Namun di sadari atau tidak, pendidikan kita saat ini masih beroreantasi akan politik atau politik pendidikan. Politik pendidikan di Indonesia cenderung berorientasi pada kuantitas ketimbang kualitas. Indonesia sudah beberapa kali mendapat penghargaan karena juara di Olimpiade Fisika dan Matematika. Kita begitu berbangga, tetapi kebanggaan kita tak akan bertahan lama karena yang kita kejar hanyalah kuantitas. Mutu pendidikan kita pun diukur dari segi kuantitasnya. Padahal, kuantitas adalah sebuah postulat matematis yang abstrak dan mudah dimanipulasi.
Sangat berbeda dengan negara-negara lain bahkan negara tetangga yang justru mengejar kualitas. Orientasi ini memungkinkan mereka punya daya dorong yang tinggi untuk berkreasi dan berinovasi. Mereka akhirnya menemukan banyak hal dan memproduksi banyak teori. Indonesia hanya mampu menghafal rumus untuk diuji dan tetap jadi negara konsumtif. Selain itu, pendidikan kita pun terbelenggu dengan ”politik uang”.
Sehingga realitanya kita melihat pendidikan kita, hanya orang kaya yang punya akses. Pemerintah berdalih, ”Kesempatan terbuka untuk semua orang. Semua orang diberi kemungkinan mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi.” Ini benar, tetapi standar yang dipakai sebagai syarat dan pembiayaannya tidak membuka kemungkinan untuk orang miskin. Jadi, ketidakadilannya terletak bukan pada kesempatan, melainkan pada standar, sistem, dan syarat yang dipakai. Kalau sudah demikian, pendidikan akhirnya hanya berfungsi melayani kepentingan masyarakat dominan dalam rangka mempertahankan dan memproduksi status quo.
Mengapa pendidikan kita tak berangkat dari realitas masyarakat yang sebagian besar adalah miskin? Berbagai dalih bisa diberikan. Tetapi kita harus menyadarkan para pemegang kakuasaan untuk mementing kualitas dan jangan berorientasi akan ‘uang’ saja.
Mewujudkan Generasi Berkualitas
Cita-cita kita dalam memperbaiki sistem pendidikan kita adalah mencetak generasi yang berkualitas. Banyak masyarakat berharap pada Kurikulum 2013 yang terapkan, menghasikan anak didik tak hanya berakhlaq mulia tetapi juga peserta didik dapat mandiri, cerdas, kritis, kreatif, serta mampu bersaing di dunia global.
Dalam dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) susunan Menko Per- ekonomian dicanangkan, pada 2025 Indonesia menjadi negara mandiri, maju, adil, dan makmur berpendapatan per kapita sekitar 15.000 dollar AS. Saat itu, Indonesia diharapkan menjadi kekuatan ekonomi 12 besar dunia. Lebih jauh, pada 2045 Indonesia diproyeksikan menjadi satu dari tujuh kekuatan ekonomi di dunia dengan pendapatan per kapita 47.000 dollar AS! Maka kita harus mewujudkan generasi yang berkualitas dalam mewujudakan cita-cita tersebut.
Islam menegaskan lewat QS Al-Nisa:9, ’’Dan hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatirkan kesejahteraannya. Karena itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar’’.
Ayat diatas menganjurkan manusia untuk berketurunan, dan tentunya keturunan yang berkualitas. Itu berarti generasi yang tumbuh sehat, memiliki kebaikan dalam akidah, agama, kesehatan, ekonomi, dan pendidikan sehingga pada gilirannya mampu mengambil posisi dan masa depan yang baik. Tidak kalah penting adalah berintegritas moral dan berakhlak mulia.
Sistem dan Kepemimpinan
Di Kompas, 20 Januari 2013, “Jusuf Kalla di hadapan Forum Rektor menyatakan, Indonesia bangsa yang besar dan memiliki kekayaan luar biasa. Bangsa ini lambat kemajuannya bukan karena sistemnya. Negara boleh berbeda atau sama sistemnya, tetapi yang paling penting (adalah) soal kepemimpinan. Ketika pemimpin bangsa ini bertekad memerangi korupsi, mestinya dia menjadi teladan. Memberikan sumbangan atau melahirkan pemimpin yang memiliki teladan itulah tugas perguruan tinggi (secara umum sistem pendidikan) supaya Indonesia menjadi bangsa yang besar”.
Generasi yang berkualitas akan melahirkan pemimpin di kemudian hari. Dan pemimpin yang kita harapkan tentunya lahir dari sistem pendidikan yang kita bangun bersama. Maka sistem pendidikan yang kita bangun bersama, di harapkan mempunyai peran penting bagi bangsa dalam mendidik calon pemimpin bangsa, dari presiden hingga kepala rumah tangga. Namun, kualitas dan kiprah mereka belum memadai menjadikan Indonesia sesuai harapan kita bersama.
Oleh karenanya sebagai seorang pendidik dan semua yang termasuk dalam sistem pendidikan saat ini(dengan segala kekurangannya), diharapkan mampu membentuk generasi berkualitas sesuai harapan di atas.
Menghasilkan generasi yang berkualitas Indonesia bukan pekerjaan satu dua hari namun butuh waktu yang lama. Tetapi generasi tesebut ada di depan mata kita sekarang! Anak-anak berusia balita hingga remaja tersebar di sekitar kita. Ada yang sedang belajar, ada yang asyik bermain, ada pula yang mengamen di perempatan jalan. Merekalah yang akan memimpin bangsa ini kelak!
Melalui pendidikan, baik itu di lembaga pendidikan(formal), ataupun pendidikan di rumah, dan di luar rumah akan sangat menentukan pembentukan SDM(sumber daya manusia ) yang berkualitas. Sekalipun nanti tidak semua SDM yang berhasil. Namun sebahagian SDM yang berhasil itu di harapkan bisa menempati posisi strategis di masyarakat dan pemerintah. Sehingga dapat memperbaiki sistem di negeri kita sehingga dapat mewujudkan negeri Indonesia yang kita harapkan bersama. Wallahu a’lam.
Muh. Abid Fauzan (Alumni UIN Alauddin Makassar, Penulis Buku “Menjadi Mahasiswa Peradaban” dan Anggota Pengurus Pusat LIDMI)
Tulisan-tulisannya dapat di lihat : http://abidmenulis.blogspot.com/