Oleh: Darmawansyah (Departemen Kajian Strategi PD Lidmi Makassar)
Pendidikan tinggi hari ini perlu di evaluasi secara menyeluruh terlebih dahulu dari segi nilai ketimbang mengembangkan skill yang bersifat teknis. Cukuplah beberapa kasus kelam menjadi indikasi akan adanya masalah moral dalam sistem pendidikan tinggi di negeri ini.
Perguruan tinggi islam harusnya dapat menjadi solusi dalam permasalahan degradasi adab dikalangan pelajar khususnya Mahasiswa. Ia akan dapat benar-benar menjadi solusi jika benar-benar disandarkan pada prinsip-prinsip syariat di setiap ruang-ruang kuliah.
Ruang-ruang kuliah kita saat ini sangat longgar masalah campur baur antara laki-laki dan perempuan, bahkan seringkali juga kita jumpai dalam kegiatan kemahasiswaan terkadang berlangsung sampai malam hari dalam kondisi yang sama yakni ikhtilath.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Usamah Bin Zaid. Beliau bersabda,
“Aku tidak meninggalkan satu godaan pun yang lebih membahayakan para lelaki selain fitnah wanita.”(HR.Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 2740)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah telah mengeluarkan fatwa tentang ikhtilath dalam belajar “Duduknya siswa dan siswi secara bersama-sama di bangku sekolah termasuk sebab terbesar terjadinya fitnah dan sebab ditinggalkannya hijab yang Allah subhanahu wa ta’ala syariatkan kepada kaum mukminat. Juga merupakan sebab dilanggarnya larangan-Nya kepada kaum mukminat untuk menampakkan perhiasan mereka di hadapan selain pihak-pihak yang disebutkan dalam surat an-Nur.”
Kalau dari timbangan syariat masih membuatmu ragu maka mari kita lihat dengan timbangan akademis. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan sekolah/kelas khusus perempuan dan khusus laki-laki dibandingkan sekolah campur. Hasil belajar siswa di sekolah khusus laki-laki atau perempuan secara konsisten menunjukkan prestasi yang lebih baik daripada sekolah campur. Lulusan sekolah terpisah juga lebih banyak yang berhasil melanjutkan ke bangku kuliah atau jenjang pendidikan lebih tinggi dibandingkan sekolah campur. (Hyunjoon Park, Jere R. Behrman, Jaesung Choi, “Causal Effects of Single-Sex Schools on College Entrance Exams and College Attendance: Random Assignment in Seoul High Schools”, Demography, Volume).
Peneliti dari Universitas Cambridge, UK, menemukan bahwa kelas/sekolah terpisah telah meningkatkan hasil belajar anak laki-laki karena memudahkan mereka berkonsentrasi pada pelajaran. (Lihat http:/news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/england/cambridgeshire/4591653.stm,)
Peneliti dari Universitas Stetson di Florida, Amerika Serikat, menyelesaikan sebuah proyek percobaan ( pilot project ) membandingkan hasil pembelajaran di kelas terpisah vs kelas campur di Woodward Avenue Elementary School. Hasil tes FCAT ( Florida Comprehensive A s s e s s m e n t T e s t ) mereka ditunjukkan dalam data berikut:
Perbandingan hasil tes antara kelas campur dan kelas terpisah Siswa Siswi Kelas campur (Siswa : 37% berhasil, Siswi : 59% berhasil) Kelas terpisah ( Siswa : 86% berhasil Siswi : 75% berhasil)
Sistem sekolah/kelas terpisah memberi kesempatan pada murid-murid perempuan untuk mengeksplorasi diri secara maksimal, terutama dalam mata pelajaran yang biasa didominasi lakilaki, seperti olah raga dan sains. Mereka tidak lagi merasa dipinggirkan, hanya sebagai pelengkap, mendapatkan perlakuan khusus , sehingga menghambat rasa percaya diri untuk menguasai mata pelajaran tersebut. Diskusi secara lebih mendalam juga lebih dimungkinkan. Anak-anak perempuan usia pra-puber sudah mulai merasa malu ditertawakan atau dijadikan bahan olok-olokan lawan jenis sehingga mereka cenderung menahan diri dari bertanya hal-hal yang dapat menimbulkan perhatian dari lawan jenis. Hal ini menjadi lebih kentara pada materi-materi biologi seperti anatomi tubuh dan cara perkembangbiakan manusia dan binatang. Penelitian menunjukkan bahwa murid-murid perempuan menunjukkan hasil belajar Biologi dan sains yang lebih baik dalam kelas khusus perempuan. (Nadine Johnson & Mark Winterbottom, “Supporting Girls’ Motivation in Science: A Study of Peer- and Self-Assessment in a Girls-Only Class”, Educational Studies, Vol. 37, No. 4, 2011, hlm. 391-403.) Fenomena ini tidak hanya ditemukan pada sekolah-sekolah di Barat, namun juga pada budaya negara lain seperti Uganda dan Kenya.
Setiap apa yang diperintahkan dalam syariat bukanlah untuk memberatkan umat ini melainkan ada hikmah dan kemaslahatan yang besar didalamnya. Dan sebagai seorang muslim terutama bagi para dosen serta birokrasi setiap pendidikan tinggi harusnya membuat aturan yang senantiasa bersandar pada Al Quran dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam memperbaiki adab dan moral calon penerus bangsa. []