Pada tahun 1960-an, dunia dihebohkan dengan gerakan super masif African National Congress (ANC) di bawah komando Nelson Mandela melawan politik apartheid pemerintah Afrika Selatan. Tahun 1980-an, ‘avant-garde’ LGBT juga bangkit dan melancarkan serangan-serangan opini mereka untuk bisa diterima dunia, sebuah revolusi seksual yang menggiring masyarakat dunia pada satu wacana: tidak ada yang salah dengan LGBT ─Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender. Menurut pendukung mereka, berpijak pada hak asasi dasar yang sama, LGBT berhak diletakkan setara dengan pelaku heteroseksual, sebagaimana hak kesetaraan ras. Anti LGBT tidak terima, pendapat seperti itu jelas keliru, kasus keberagaman ras yang dipengaruhi faktor genetik sama sekali tidak bisa disamakan dengan kasus LGBT yang muncul bukan atas faktor genetik, tapi merupakan pilihan sendiri (kode gen Xq28 yang selama ini ditengarai sebagai gen pembawa kecenderungan fenotipe homoseksual, ternyata tidak terbukti, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh sejumlah pakar seperti Prof. George Rice dari University of Western Ontario, Canada 1999; Hamer; dan Prof. Alan Sanders dari University of Chicago, 1998-1999). .
Sementara opini LGBT menyeruak hangat, Amerika Serikat menjadi negara ke 22 yang melegalkan same-sex marriage (Freedom to Marry Organization, 2014/Forbes). Hakim Anthony Kennedy, sebagaimana dikutip dari harian New York Times mengatakan ”They ask for equal dignity in the eyes of law, the Constitution grants them that rights” Mereka meminta kesetaraan martabat di mata hukum, konstitusi memberikan hak tesebut”. Padahal dua dekade sebelumnya, Amerika Serikat pada medio 90-an, sangat sensitif dengan isu disorientasi seksual tersebut. Presiden Bill Clinton pada tahun 1996 mengesahkan UU Domestic Marriage Act yang mendefinisikan pernikahan dengan jelas, “Marriage is a legal union between one man and one woman as husband and wife”. Pernikahan adalah ikatan sah antara seorang pria dan wanita sebagai pasangan suami dan istri. Bahkan di masa pemerintahan Bill Clinton lahir sebuah kebijakan institusi militer berinisial DADT (don’t ask don’t tell). Kebijakan ini melarang keras anggota militer untuk berbicara tentang orientasi seksual yang menyimpang dari konstitusi. Namun berselang dua dekade, kebijakan tersebut secara mengejutkan terhapus di bawah pemerintahan federal melalui Mahkamah agung AS. Terlepas dari segala opini spekulatif seputar perubahan tersebut, kenyataan ini setidaknya menyadarkan kita bahwa sebuah master plan sedang diusung oleh para pengusung LGBT.
Fahira Idris, wakil ketua komite III DPR RI, dalam diskusi seputar LGBT di salah satu stasiun tv swasta 16 Februari lalu mengangkat sebuah pertanyaan yang sangat antisipatif, “Apakah sebuah gerakan tidak ada targetnya?”.
Pertanyaan tersebut telah dijawab oleh Brian Camenker (presiden Mass Resistance, sebuah organisasi yang aktif meneliti pergerakan LGBT) dalam pidatonya kepada kaum pro-family di Jamaika 10 Desember 2013, menjelaskan strategi pendekatan yang sedang diusung pelaku homoseksual: melegalkan tindakan homoseksual (Legalize homosexuality), mempromosikan keberadaan gay secara terbuka (promote gay pride parade), menuntut hukum anti-diskriminasi (demand on non-discrimination laws), menuntut izin mengadopsi anak bagi pasangan homoseksual (insist on homosexuals’ adoption of children), menjejalkan agenda homoseksual dalam sekolah (push the homosexual agenda in schools), memaksakan pernikahan sejenis dalam masyarakat (force gay marriage on society), menuntut bantuan keuangan (demand funding), mempromosikan agenda transgender (promote transgender agenda), melarang konseling anak yang kebingungan tentang isu homoseksual (ban counseling for kids confused by homosexual issues), dan terakhir menyerang gereja/agama (attack churches). (sumber: conservapedia.com).
Di Indonesia secara khusus, mereka terus aktif melancarkan propaganda-propaganda pro-LGBT melalui berbagai media dan komunitas mereka yang semakin menjamur. Awal tahun lalu, salah satu situs terbesar LGBT, suarakita.org, berhasil menyusun sebuah rencana strategis periode 2015-2020. Ini bukti yang nyata bahwa mereka memiliki target. Kenyataan bahwa LGBT telah dilegalkan pada 23 negara rupanya belum menjanjikan kebebasan mutlak yang mereka dambakan. Strategi mereka selangkah demi selangkah akan terus berjalan hingga supreme court dunia mengakui eksistensi mereka secara mutlak di seluruh lini kehidupan. Di lini pendidikan misalnya, LGBT Vision for Action yang dirilis oleh usaid Amerika memaparkan rancangan kurikulum inklusif untuk kaum LGBT.
Belajar dari Amerika dan negara-negara lain yang lebih dulu melegalkan same-sex marriage, maka sangat urgen untuk menganalisis pergerakan mereka di Indonesia secara khusus, dan dunia secara umum. Berikut analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats) pergerakan LGBT di Indonesia secara khusus, sekaligus menjadi blueprint untuk dunia.
Strenghts: kekuatan media dan teknologi yang mampu menghubungkan mereka lintas negara sehingga memudahkan mobilisasi jutaan pelaku, atau massa pendukung LGBT di seluruh dunia. Di Indonesia, isu ini menjadi kian kisruh karena tokoh-tokoh pembela HAM bermunculan dimana-mana. Seperti biasa, penggiat HAM ini selalu berteriak menuntut kesetaraan dan keadilan dalam segala hal. Pengusung LGBT tentu melihat ini sebagai lahan subur untuk menancapkan bibit-bibit propaganda mereka. Mereka juga semakin lantang mempromosikan liberalisme karena pandangan agama selalu dianggap konservatif. Kekuatan terakhir yang membuat mereka semakin berani menampakkan diri adalah kebebasan mendirikan komunitas-komunitas LGBT, sehingga ide dan promosi mereka semakin masif dan terarah.
Weaknesses: Pergerakan mereka fokus pada tuntutan untuk diperlakukan sama dengan masyarakat secara umum, kelihatannya akan cukup lama terhalang di tahap ini mengingat mereka adalah golongan minoritas dari segi jumlah dan pendukung. Kelemahan lain adalah sangat sedikitnya lembaga atau institusi yang bersedia mendanai mereka, sebuah konsekuensi logis dari tindakan mereka yang dinilai “ganjil” oleh masyarakat bangsa yang masih sangat fanatik menganut niai-nilai moral dan norma sosial. Selain itu, pandangan global (global view) masih cenderung menganggap orientasi seksual mereka menyimpang. Kelemahan yang paling menghambat langkah mereka adalah ketidakberdayaan menghadapi para aktivis agama dan budaya di negeri ini yang sangat aktif mengkonter propaganda-propaganda mereka.
Oportunities: sekitar 29 negara di dunia, termasuk Indonesia, belum memutuskan kebijakan hukum yang tegas tentang eksistensi kaum LGBT (www.thenation.com), dan ini menjadi kabar gembira bagi mereka untuk bergerak aktif dan kreatif menyebarkan propaganda keberagaman orientasi seksual yang mereka anut. Di Indonesia misalnya, para pengusung LGBT ini bersembunyi di balik jubah HAM, mengesankan diri sebagai kaum yang termarjinalkan; terdikriminasi; tertindas, bahkan merasa telah dirampas haknya atas pendidikan dan pekerjaan yang layak.
Berdasarkan pendekatan yang dipaparkan oleh Brian Camenker di atas, para pendukung LGBT sedang menggiring opini publik agar bersimpati kepada mereka dengan terus-menerus menyuarakan demand on non-disrcrimination laws. Bukti dari asumsi tersebut bisa dilihat dari fokus argumentasi Hartoyo dan Yuli sebagai perwakilan dari komunitas gay dan lesbian dalam acara Indonesia Lawyers Club 16 Februari lalu. Satu kutipan dari Yuli misalnya, “… bahwa ada kawan-kawan yang keluar dari sekolah, karena bullying, dan juga dalam tempat kerja…” Hartoyo sebagai pembicara dari pihak komunitas gay memaparkan ide yang sama “… kami mendorong pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar kami sebagai LGBT, karena kami adalah warga negara, tak ada boleh diskriminasi …”
Dalam situs theguardian.com, Michael Vidler, seorang aktifis HAM pendukung LGBT menulis sebuah artikel berjudul “13 steps to greater LGBT equality”, pada langkah ke sepuluh Michael mengatakan “If LGBTI people live in countries that have constitutional rights that guarantee equal rights, then use the courts to challenge discriminatory laws and policies. Winning each case makes the next one easier, gives the media the opportunity to report the issue and the public to debate. It also gives inspiration to people who are afraid to express their orientation or gender”. Jika kaum LGBT hidup di sebuah negara yang memiliki hak konstitusional yang menjamin hak kesetaraan, maka manfaatkan lembaga peradilan untuk menantang hukum atau kebijakan yang diskriminatif. Kemenangan pada satu kasus akan mempermudah kasus berikutnya, berikan inspirasi kepada mereka yang masih merasa takut untuk mengekspresikan orientasi seksual mereka”. Di Indonesia, mereka punya peluang besar ini.
Threats: ancaman terbesar datang dari tokoh-tokoh agama dan budaya yang terus menggempur LGBT. Indonesia bukan sebuah negara yang menganut paham kebebasan yang lepas kontrol seperti negara-negara barat. Di negara kita, ajaran-ajaran agama dan budi pekerti yang luhur masih sangat lekat dengan masyarakat. Di sisi lain, gerakan masif dari para pakar kesehatan, psikolog, psikiater, dan pakar parenting secara simultan melawan isu propaganda yang dilancarkan para pelaku LGBT tersebut. Ancaman ini sangat menghambat langkah para aktifis LGBT.
Meskipun demikian, kita harus berkaca pada 29 negara yang dulunya anti LGBT kemudian melegalkan same-sex marriage. Jika tidak ada pergerakan yang nyata untuk menkonter strategi mereka, maka tinggal menunggu waktu hingga Indonesia tercatat sebagai negara berikutnya yang melegalkan same-sex marriage. Sekarang kita masih berkutat pada isu-isu HAM, sebagaimana diutarakan oleh Luhut Binsar Panjaitan, Menko Polhukam, “… Itu hak warga negara yang dilindungi”, namun sekali lagi, bercermin dari pengalaman di negara-negara Barat, pergerakan mereka sangat transformatif. Seperti dikutip dari situs thenation.com, the work ahead for queers is to be transformative, not transfixed.
Makassar, 22 Februari 2016
Penulis : Hendra Bakti