Tak bisa dipungkiri, perjalanan kita sekarang, sejauh apapun itu, berangkat dari satu langkah awal di masa lalu. Manusia tidak akan pernah berhenti mengungkit masa lalu. Tidak peduli meski itu menyakitkan, menyedihkan, mengharukan, menyenangkan, mengagumkan, atau memalukan sekalipun. Manusia tetap akan menggali sejarah di tengah tumpukan puing-puing peradaban masa lalu. Anak-anak kita, cucu-cucu kita, mereka akan bercerita tentang kehebatan orang tua dan kakek-nenek mereka di masa lalu. Atau seandainyapun seseorang begitu bencimengingat masa lalu yang kelam, selalu saja ada orang ‘kurang kerjaan’yang senang mengais tumpukan puing-puing masa lalu itu. Rangkaian-rangkain peristiwa yang terjadi di masa lalu, dikenanglah itu sebagai sejarah.
***
Seiring sejarah bergulir. Roda waktu yangtelah melindas begitu banyak nama, ada yang berhasil dikenang, sebagian besar justru terlupakan, tidak dipedulikan. Namun sekali lagi, manusia-manusia di zaman ini akan tetap menggali puing-puing yang tidak dipedulikan itu. Terlepas dari sifat dasar manusia yang selalu ingin tahu, ini juga membuktikan bahwa setiap perjalanan hidup dari siapa saja, tentang apa saja, selalu spesial. Yah….setiap kisah adalah spesial. Bahkan jika tak seorangpun yang sudi mengenangnya. Anggaplah secara tidak sengaja dipilih seorang pria dari masa lalu. Anggaplah secara sembarang saja dipilih satu nama dari masa lalu. Mungkin orang-orang telah melupakannya, atau memang tidak pernah mengenalnya. Buku-buku sejarah mungkin benar-benar luput mencatatnya. Tapi karena kita adalah orang-orang ‘kurang kerjaan’yang senang mengais-mengais puing masa lalu, maka tidak mengapalah kisah ini dikenang.
***
Hari itu perang sedang berkecamuk dengan sangat hebatnya. Mayat-mayat bergelimpangan. Tombak-tombak silang sengketa menerjang musuh. Anak-anak busur terlontar, berpencar menggempur musuh. Tameng-tameng sibuk menghalau serangan. Pedang-pedang terkibas menerabas musuh. Merah mengalir, tak ada yang peduli. Takdir mengantarkan mereka pada dua pilihan: Dibunuh atau membunuh.
***
Beberapa waktu sebelum perang berkecamuk. Di sebuah negeri, sekelompok pasukan dikumpulkan untuk sebuah pengumuman yang sangat penting. Sang pemimpin —selanjutnya kita sebut Raja— sangat sadar, ini bukan perang sembarangan. Kali ini dia harus berhati-hati memilih pasukannya. Nah…cukuplah kata memilih itu menunjukkan seberapa penting urusan ini. Maka sang Raja dihinggapi perasaan gundah, lawan kali ini bukan pasukan sembarangan, peperangan dahsyat menghadapi sebuah imperium besar. Satu kemenangan bisa berarti penaklukan dunia, dan sebaliknya, satu kekalahan berarti kehilangan segala-galanya. Sang Raja pun memilah-milah pasukannya, dari yang sudah terpilih kemudian dipilah lagi untuk menjadi yang terpilih.
Pada waktu yang bersamaan. Di tempat yang berbeda. Sebuah imperium besar berdiri dengan kokoh. Juga telah siap menyerbu ke dalam medan peperangan. Sang pemimpin —selanjutnya kita sebut Kaisar— telah mempersiapkan pasukannya, juga dengan sangat teliti. Hanya dipilih orang-orang yang sudah dipilah untuk menjadi yang terpilih. Tapi sedikit berbeda di sini, sang Kaisar memerintahkan pasukannya untuk menangkap hidup-hidup beberapa pasukan musuh.
***
Pada waktu yang berbeda. Di tempat yang berbeda. Jauh sebelum masing-masing Raja dan Kaisar mempersiapkan pasukannya. Jauh sebelum itu, tak ada kaitannya dengan peperangan, seorang pria diutus untuk menyampaikan sepucuk surat kepada seorang Raja di sebuah negeri. Naasnya, dia ditolak, bahkan diusir oleh Raja. Namun siapa sangka, beberapa waktu setelahnya, peristiwa itu menjadi penyebab perdamaian antara dua negeri tersebut.
Pria itu terus hidup. Terus bertahan dengan prinsip-prinsip hidup yang tak tergoyahkan, terpancang kuat di dalam dadanya. Pohon konsistensi, integritas, dan loyalitas tumbuh subur menaungi hidupnya. Bahwa takdir kelak akan menggiring pria ini ke dalam sebuah peristiwa besaryang akan menguji integritasnya, tidak ada yang tahu, tak seorangpun. Maka beridirilah ia di sana, pada sebuah peperangan besar.
***
Seratus-dua ratus tebasan pedang. Seribu-dua ribu anak panah terlontar. Debu beterbangan tersapu pasukan berkuda. Darah terus mengalir. Mayat bergelimpangan seperti lautan manusia. Satu-dua hari berlalu. Kuda-kuda mulai kelelahan, pasukan semakin kewalahan. Tidak terasa, perang telah usai. Semua berlalu begitu cepat. Entah siapa yang mengakhiri, entah siapa yang salah, entah siapa yang benar. Perang tidak selalu tentang siapa benar siapa salah, perang adalah pertaruhan harga diri.
Seperti angin,rombongan pasukan telah kembali ke negeri masing-masing. Meninggalkan prajurit yang lain di liang-liang darurat, dikuburkan seadanya, sungguh pahit.
Namun yang jauh lebih pahit adalah kenyataan bahwa beberapa prajurit tidak pulang bersama rombongan, bukan karena tewas terbunuh musuh,juga tidak terkubur di liang-liang darurat. Mereka tertawan musuh. Seandainya mereka boleh memilih, mati ditebas musuhjauh lebih terhormat, daripada tertawan. Adalah para prajurit Sang Raja yang tertawan itu.
Di sudut negeri lain,persis seperti yang direncanakan oleh Sang Kaisar, beberapa musuh telah tertawan.Pria itu salah satunya.Kali ini, konsistensi, loyalitas dan integritasnya betul-betul kembali akan diuji. Bersama beberapa pasukan yang lain dia diperlakukan dengan sangat kasar.Dibentak. Dicaci. Dihina. Namun menyadari bahwa pria itu bukan prajurit sembarangan, perlakuan Sang Kaisar sedikit berubah. Diseretlah pria ituke hadapanKaisar.
“Aku ingin menawarkan sesuatu kepadamu”.Pongah sekali Sang Kaisar.
Pria itu bertanya
“Apa itu?”
“Masuklah kamu ke dalam agamaku, jika kamu berkenan maka aku akan membebaskanmu dan memberimu kedudukan terhormat”
Hening sejenak, lalu pria itu menjawab
“Mana mungkin? Kematian seribu kali lebih aku sukai daripada memenuhi ajakanmu itu” lantang, tegas, tak ragu sedikitpun.
Kaisar menggoda lagi
“Aku melihatmu sebagai laki-laki pemberani. Jika kamu menerima tawaranku maka aku akan membagi kekuasaanku denganmu dan kita sama-sama memerintah dan menguasainya”
Pria itu tersenyum dan berkata
“Demi Tuhanku, seandainya kamu menyerahkan seluruh apa yang kamu miliki dan segala apa yang dimiliki bangsamu dengan syarat aku meninggalkan agamaku, sekejap pun aku tidak akan sudi”
Kaisar geram
“Kalau begitu aku membunuhmu”
“Lakukan apa yang kau inginkan” dibayar tunai.
Sang Kaisar benar-benar murka, tak pernah seorangpun berani menantangnya seperti ini. Tak ada satupun makhluk di dunia ini yang berani melangkahi batas otoritas dan menginjak harga dirinya sejauh ini.Sekian tarikan napas, dan lihatlah satu-dua anak panah meluncur, memancang tangan dan kaki sang prajurit pemberani di tiang kayu berbentuk salib. Tubuhnya kini tersalib tak berdaya. Sementara Kaisar tetap mencoba menggoda dengan tawaran-tawaran yang menggiurkan, tapi keyakinan di dadanya tidak pernah goyah, bergeming sedikitpun.
Pada akhirnya, Kaisar tidak bisa lagi bersabar. Sudah habis kata-katanya membujuk. Maka disiapkanlah sebuah bejana besar berisi minyak yang dipanaskan di atas tungku api hingga mendidih. Seorang dilemparkan ke dalam bejana itu, sekejap saja kulitnya terkelupas, dagingnya hangus, hingga tulangnya kelihatan.
Sekarang giliran sang pria malang itu. Sebelum dilempar, Kaisar masih sempat bertanya jika misalnya dia berubah pikiran. Namun Kaisar seharusnya sadar sedari tadi kalau usahanya akan sia-sia. Diangkatlah tubuh pria yang sampai sekarang belum kita tahu namanya itu. Aduhai…secepat itukah hidupnya berakhir? padahal kita belum berkenalan dengannya. Ah…sudahlah, minyak terlanjur mendidih, tak bisa lagi ditunda. Dan sekarang dia menangis, tersedu-sedu. Melihat pria itu menangis Kaisar menghentikan algojonya. Untuk yang terakhir kalinya, Sang Kaisar kembali mengulangi tawarannya.
“Celaka kamu, apa yang mebuatmu menangis? Tidakkah kau berubah pikiran?”
Sambil terisak pria itu berkata,
“Ba…baiklah, aku akan mengikuti, aku, aku akan mengikuti agamamu dan meninggalkan agamaku. Aaa…Aku takut mati. Aku sungguh takut dengan siksaan ini. Aku menyerah”
Begitukah? Sampai di situ sajakah? Tidak. Itu yang mungkin terjadi seandainya Sang Kaisar menghadapi orang lain. Dan seandainya memang begitu, ceritanya akan lain lagi, tentu sejarah akan bercerita lain. Namun, kali ini sejarah akan mencatat bahwa Kaisar lah yang harus menyerah. Berikut perkataan pria tersebut yang selanjutnya akan menjadikan kisah ini sebagai sejarah yang manis untuk dikenang.
“Aku menangiskarena aku berkata pada diriku, Kamu sekarang akan dilemparkan ke dalam bejana, jiwamu akan pergi, Sungguh, aku sangat ingin mempunyai nyawa sebanyak jumlah rambut yang ada di tubuhku, lalu semuanya dilemparkan ke dalam bejana itu demi memperjuangkan agama Allah”
Suasana tiba-tiba hening. Menyadari dirinya sudah kalah, Kaisar menyerah dan membebaskan tawanan itu beserta tawanan-tawanan lain dari negerinya.
***
Begitulah kisah seorang pria sejati yang bertahan di atas prinsip hidup yang diyakininya benar. Bertahan meski nyawa taruhannya. Sekali lagi, sejarah mengajarkan kita bahwa pria sejati tidak akan menyerah di atas kebenaran. Lalu, siapakah gerangan pria hebat itu? Kita akan berkenalan dengan beliau. Biarkan beliau sendiri yang bicara.
“Namaku adalah Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi. Aku adalah seorang sahabat seorang pria yang luar biasa bernama Muhammad, satu diantara yang terdahulu masuk Islam. Dulu aku pernah diutus Rasulullah ke Persia untuk membawa surat pada Kisra, Raja Persia. Aku diperintahkan untuk mengajak Kisra masuk Islam, tapi dia menolak. Di masa kekhalifaan Umar bin Khattab, aku pernah tertawan dalam sebuah peperangan melawan Kekaisaran Romawi. Aku dipaksa masuk agamanya dan meninggalkan Islam dengan ancaman dicampakkan ke dalam bejana yang berisi minyak mendidih. Namun Allah masih memberiku keteguhan hati untuk mempertahankan keyakinanku, Islam”
Dari kisah-kisah yang bernama sejarah itu, manusia akhirnya tahu apa yang harus, dan yang tidak harus dilakukan. Yaaah…sejarah adalah guru yang baik. Dan kita adalah orang-orang ‘kurang kerjaan’yang senang mengungkit-ungkit masa lalu, tidak apalah.
—HB – Makassar, 6 Februari 2016, 06.09 WITA