Oleh: Zulkifli Tri Darmawan (Departemen Infokom PP Lidmi)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allâh
melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat..“( HR Muslim no. 2699)
Berawal dari yang kecil, membuahkan sebuah pergerakan besar. Berawal dari sebuah virus, mengundang empati bagi mereka yang nasibnya tidak terurus. Inilah makna solidaritas yang dipupuk oleh semangat wathaniyah dan ukhuwah di tengah merebaknya pandemi corona di negeri Indonesia. Akibatnya, berbagai kebijakan untuk tinggal di rumah demi memutus rantai penyebaran virus terus digaungkan.
Kerja dari rumah mungkin tak sulit bagi sebagian aparatur sipil negara, pekerja BUMN, maupun karyawan swasta. Mereka bisa bekerja jarak jauh dengan dukungan berbagai gadget. Tak ada masalah berarti.
Sayangnya, pekerja informal tak semudah itu bekerja dari rumah. Pedagang kaki lima, ojek, tukang becak, buruh harian, portir stasiun, dan puluhan jenis pekerjaan lain mengharuskan kehadiran fisik pekerjanya di lapangan—tak bisa remote. Tanpa itu, upah harian tak didapat, dan ada mulut-mulut yang terancam tak mendapat makan.
Para pekerja informal itu jelas menghadapi banyak risiko dengan mencari nafkah di jalanan di tengah pandemi. Mereka berpotensi terpapar virus corona. Namun, mereka tak punya banyak pilihan—mati karena virus atau mati kelaparan?
Padahal, mayoritas mereka tak punya dana darurat. Sementara jaminan sosial dan kesehatan bisa dibilang minim. Pun, posisi mereka kini makin sulit dengan maraknya lockdown lokal. Disatu sisi, yang patut kita syukuri, dengan adanya wabah corona semakin mengeratkan solidaritas diantara kita. Tak ada sekat untuk saling membantu, dan itu nyata di depan mata kita.
Gelombang gotong royong semakin terlihat viral di berbagai media massa. Tak ada urusan dengan pangkat dan status sosial, semuanya sama saja. Semuanya ikut larut dalam sesak berjamaah. Bagi si miskin papah, ada harapan baginya disaat sebakul sembako mendarat di depan pintu mereka. Sementara si kaya, sebakda memberikan pertolongan—ada angin ketenangan yang mereka dapatkan, dan mereka tak mampu membiaskan perasaan itu dengan segores tulisan. Dan itulah hakikatnya ukhuwah dalam Islam.
Manusia adalah makhluk sosial yang sangat membutuhkan orang lain disekitarnya. Multikulturalisme yang ada di Indonesia menyebutkan bahwa Indonesia mempunyai banyak keragaman dan kekayaan yang sangat membutuhkan solidaritas antara sesama demi terwujudnya kehidupan yang harmonis.
Memiliki solidaritas adalah hal yang sangat indah, mengingat kita adalah makhluk sosial, yang berarti tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan bantuan dari orang lain. Manusia di dunia ini tidak ada yang hidup dalam kesendirian, manusia akan hidup dalam kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat atau lingkungannya.
Maka dengan segala keberagaman yang majemuk, memaksa kita untuk tetap terus memelihara empati dan solidaritas seapik mungkin. Agar tak ada celah untuk kita saling bermusuhan, agar tak ada lagi jejak-jejak jumawa yang terpelihara. Tujuannya satu: bagaimana yang miskin tak semakin miskin, dan yang kaya tetap kaya dengan kedermawanan yang melecut-lecut, persisi kisah Nabi Sulaiman dan si raja agung’ Zulkarnain’: kaya namun tak tamak.
Teruntuk kepada semua jiwa yang hari ini masih berjuang, saya hanya ingin mengucapkan—terima kasih banyak karena telah sudi menanggung segala beban kita semua. Gegara corona, manusia-manusia pekerja medis tidak bisa lagi bersua dengan keluarganya. Saling mengakrabi dalam romantisme keluarga, saling mengajari, dan saling memperbaharui ibadah-ibadah. Dan kini—kerinduan mereka terhadap keluarga hanya bisa dipeluk dalam ingatan, hanya bisa dirasakan dalam hangatnya pakaian hazmat.
Susah, sulit dan tidak mudah melewati ujian ini. Tanpa solidaritas, tanpa adanya saling tenggang rasa, semuanya bakal terasa sangat berat. Kerinduan untuk sholat di masjid berjemaah, buka puasa bersama, di tahun ini hanya mimpi. Kita ingin mencicipi remah-remah ukhuwah, namun corona menghentikan kenikmatan itu semua.
Tidak nyaman? Itu sudah pasti. Namun demikianlah yang paling terbaik untuk kita lakukan hari ini. Taat pada ulama dan umaro, agar laju penyebaran virus bisa terkendali. Tetap di rumah saja, agar kerja-kerja para relawan kian mudah.
“Sesungguhnya tali Islam yang paling kokoh adalah kau mencintai karena Allah dan membenci karena Allah subhanahu wa ta’ala” (HR. Ahmad).
Kita cinta kepada mereka, tersebab karena adanya tali ukhuwah diantara kita. Kita ingin bantu mereka, memupuk solidaritas demi meringankan beban hidup mereka, lagi-lagi karena Allah yang menyuruh kita berbuat demikian.
Mumpung lagi momennya, kesadaran kita untuk berbagi, saling empati dan memang lebih asyik jika jiwa sosial kita bangkitkan dengan kebiasaan bersedekah. Terlebih, di saat-saat jelang kurban.
Zakat adalah bentuk ibadah yang unik dan spesifik. Meski pada hakikatnya merupakan ibadah sosial yang intinya memberikan bantuan dari harta di kaya kepada si miskin, namun kriteria si miskin yang menerima harta telah ditentukan Allah ta’ala secara langsung di dalam Al-Quran Al-Kariem. Dan ternyata, orang-orang yang berhak atas harta zakat itu bukan semata-mata orang miskin saja, melainkan ada lagi orang-orang dengan kriteria tertentu yang juga berhak atas harta zakat itu.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang- orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah : 60).
Mari usung solidaritas ini diatas jalan ukhuwah keber-islam-an. Jadikan momentum pandemi ini untuk semakin mengeratkan tali kasih kita. Momentum corona dan hari raya kurban bisa jadi adalah alasan Allah semakin mengeratkan jaring-jaring keimanan dan persaudaraan kita, semoga saja. []