Tarbiyah merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menghambakan manusia kepada Allah, yang terwujud dalam meng-ilah-kan Allah, tunduk kepada perintahNya, menjauhi laranganNya, serta dimilikinya akhlak yang mulia Insha Allah, menjaga dan melindungi kesucian fitrah manusia dari berbagai penyimpangan yang mengotorinya.
Sekilas ketika melihat sebuah lingkaran tarbiyah tak ada menariknya sama sekali. Tentu saja, dia tak memiliki sudut, tak memiliki tepi, pangkal dan ujung. Tak seperti saudaranya sang persegi hampir semua “Ter” dia punya. Tapi ada satu titik dimana sang lingkaran tarbiyah memiliki pesona yang mampu memikat seluruh orang yang mendekatinya. Dia mampu menghasilkan rusuk yang tak terhingga dan satu lagi dia bisa dihitung meski ketidaksempurnaan menyelimutinya. Itulah sang lingkaran tarbiyah, penyihir kecil yang mampu menghasilkan beribu-ribu fenomena. Lingkaran ini bukanlah lingkaran biasa karena didalamnya tersimpan ukhuwah, cinta, kasih, dan kedamaian.
Tarbiyah adalah nafas bagi kehidupan dakwah ini. “Tarbiyah bukanlah segala-galanya, tapi segalanya berawal dari tarbiyah”, pernyataan itulah yang sering dilontarkan para aktivis dakwah. Tarbiyah sebagai nafas bagi kehidupan dakwah membutuhkan alat yang sempurna untuk terus bernafas. Alat yang sempurna itu adalah sang murobbi. Murobbi sebagai paru-paru tarbiyah, tidak hanya sekedar alat untuk bernafas namun mempunyai fungsi yang besar bagi kehidupan dakwah.
Murobbi adalah seorang syaikh, qiyadah (pemimpin), ustadz (guru), walid (orang tua) dan shohabah (sahabat) bagi mad’unya (binaannya). Seorang murobbi yang mengajarkan banyak hal, tentang arti hidup dan membuat hidup berarti. Dia berjuang dijalan Allah, dan hanya untuk Allah. Imbalan apakah yang ia tuntut dari kita para mutarobbi? Melainkan ridha Allah serta memperjuangkan agama Allah semata.
Peran yang multifungsi ini menuntut seorang murobbi harus memiliki keterampilan, antara lain keterampilan memimpin, mengajar, membimbing, dan bergaul. Keterampilan yang akan berkembang seiring dengan pengetahuan dan pengalaman sang murobbi. Murobbi memiliki peranan lebih khusus karena ia melakukan takwin (pembinaan) yang lebih khusus sifatnya, dia tidak hanya mengukur keberhasilan pembinaan dari untaian materi yang disampaikan tetapi juga bertanggungjawab terhadap perkembangan jasmani, spiritual, dan sosial mutarobbinya. Namun terkadang hal ini menjadi penghalang seseorang untuk menjadi murobbi. Begitu berat tanggung jawab yang harus dipikul oleh seorang murobbi terkadang membuat kader dakwah mengundurkan diri dari bingkai tarbiyah.
Adilkah ketika kita hanya ingin menjadi mutarobbi selamanya?
Hanya mau dibina tanpa mau membina!
Seharusnya dengan keyakinan iman, masalah ini tidak menjadi kendala ditambah kalau kita menyadari bahwa membina berarti kita telah melaksanakan kewajiban syar’i, menjalankan sunnah Rasul, mencetak pribadi-pribadi unggul, belajar berbagai keterampilan, meningkatkan iman dan taqwa dan merasakan manisnya ukhuwah islamiyah.
Murobbi sebagai seorang syaikh, qiyadah (pemimpin), ustazd (guru), walid (orang tua) dan shohabah (sahabat) bagi mad’unya (binaanya) tentu harus memiliki karakter yang mampu menggabungkan kelima fungsi tersebut. Tepatnya murobbi dituntut untuk mempunyai karakter yang ideal bagi mutarobbinya. Menjadi murobbi ideal memang bukan pekerjaan yang mudah, tapi bagi seorang kader dakwah menjadi murobbi ideal adalah harapan. Lalu bagaimana cara untuk menjadi seorang murobbi ideal? seperti apa karakter ideal seorang murobbi?
Seorang murobbi yang ideal mempunyai karakter yang fundamental. Satu, ikhlas. Kenapa ikhlas? Ikhlas adalah langkah awal bagi seorang murobbi untuk membina sebuah halaqah. Banyak hal yang akan dikorbankan oleh seorang murobbi. Korban uang, tenaga, waktu dan pikiran. Jika keikhlasan itu tidak ada mungkin kita segera berhenti dan membubarkan halaqah. Yakinlah bahwa ikhlaslah yang menjadikan segalanya terasa ringan. Banyak dari kisah para sahabat yang dapat kita jadikan sebagai contoh dari keikhlasan yang sempurna. Salah satunya Khalid bin Walid. Seorang panglima perang islam yang luar biasa. Yang selalu memperoleh kemenangan dengan strategi perang beliau yang tak terkalahkan. Namun di tengah berkecamuknya perang, Khalid bin Walid menerima surat tentang pemberhentian beliau sebagai panglima perang dan digantikan oleh seorang sahabat, Abu ‘Ubaidah. Tapi masya Allah, beliau membaca surat tersebut dengan tenang ia menyampaikan salam hormat kepada Abu ‘Ubaidah bin Jarrah sebagaimana seorang prajurit menyampaikan penghormatan kepada panglimanya. Abu ‘Ubaidah bin Jarrah mengira sang panglima sedang bercanda. Setelah ia tahu peristiwa sebenarnya ia mencium kening Khalid karena takjub kepadanya. Demikianlah, Khalid menerima “pemberhentian” ini dengan ikhlas.
Dua adalah menjadi Qudwah, yaitu keteladanan sang murobbi dengan amal perbuatannya yang secara real tampak jelas pada perilakunya, seperti geraknya, diamnya, bicaranya, atributnya, pandangannya dan ibrohnya, seluruh keteladanan itu adalah buah refleksi dari pengaruh keimanan dan pemahaman dalam kehidupan sang murobbi dalam rangka memberikan pengaruh keteladanan yang baik (Qudwah shalihah) pada saat kemunculannya di tengah-tengah masyarakat. Rasulullah telah mengajarkan kepada kita bahwa fatwa memang diperlukan, kata-kata nasihat masih dibutuhkan, namun keteladanan lebih dikenang dan lebih terpercaya untuk diikuti. Bagaimana jika ada seorang murobbi yang sering menasehati agar kita zuhud tapi ia sangat stress ketika kehilangan HP dan ketika mampu membeli HP baru ia memamerkannya dengan wajah yang cinta dunia. Mana yang diikuti mutarobbi? Kita bisa meneladani kisah salah seorang sahabat yang menjadikan teladan sebagai hal yang harus dimiliki oleh seorang murobbi, Abu Hanifah. Ibnu Al-Mubarrok berkata : “Pada suatu hari kami berada di masjid jami’. Tiba-tiba ada ular jatuh tepat di dekat Abu Hanifah. Orang-orang pun melarikan diri. Aku lihat Abu Hanifah tetap tenang. Ia hanya mengibaskan ular tersebut, lalu duduk seperti semula.” Coba kita bayangkan kalau Abu Hanifah ketakutan dan ikut lari sebagaimana orang lain. Mungkin orang-orang tidak begitu serius ketika beliau menasehati dan mentarbiyah mereka. Mungkin kewibawaan beliau tidak setinggi setelah peristiwa ini terjadi, setelah mereka benar-benar membuktikan ketenangan sang Imam yang kini lebih populer dengan nama Imam Hanafi.
Tiga adalah faham dan yakin akan fikroh islam, yaitu pemahaman yang sempurna dan menyeluruh terhadap dasar-dasar keislaman, rambu-rambu petunjuknya dan terhadap apa yang akan didakwahkannya. Serta keyakinan yang kuat terhadap fikroh islam karena seorang murobbi akan mentarbiyah seseorang yang memiliki akal, perasaan dan pemahaman, dan orang tersebut akan merefleksikan apa yang didengar dan diperhatikan dari sang murobbi. Begitu banyak fikroh yang kini juga ikut meyakinkan umat ini akan solusi terhadap problematika kehidupan yang terjadi. Kalau para murobbi kemudian ragu-ragu akan efektifitas dan orisinalitas fikroh tarbiyah, lalu bagaimana dengan para mutarobbinya?
Empat adalah semangat mempelajari ilmu, Manusia ‘tunduk’ pada orang yang lebih ’alim. Inilah sunnah kauniyah yang harus disadari oleh murobbi. Keikhlasan saja tidak cukup. Kecepatan dalam berharakah saja tidak cukup. Betapa banyak halaqah yang kemudian bubar karena mereka tidak yakin dengan kafa’ah syar’i murobbinya. Kader-kader baru itupun kemudian berkesimpulan, “kalau tarbiyah hanya seperti ini, lebih baik saya membaca buku di rumah” yang lain berkata “lebih baik mendengarkan pengajian di kaset dan radio”, yang lain berkata “lebih baik menghadiri majelis taklim harokah lain”. Seorang murobbi ideal harus senantiasa menambah dan mempelajari ilmu agar tidak terjerumus kearah yang sesat dan menyesatkan.
Lima adalah berakhlak mulia, “Innamal bu’itstu li utammimma makaarimal akhlaaq”. Akhlak mulia adalah hal yang mutlak dimiliki oleh seorang murobbi. Jika seorang murobbi memiliki akhlak yang mulia maka mutarobbinya akan hormat dan kagum kepadanya, sehingga tidak ada halangan yang akan membuat mutarobbi tidak memilihnya sebagai murobbinya.
Enam adalah tidak berhenti beramal, dakwah ini membutuhkan amal nyata untuk menyelesaikan problematika umat dan menunjukkan amalnya kepada Allah, Rasul, dan kaum mukminin. Dakwah ini harus membuktikan diri bahwa ia adalah rahamatan lil ’alamin. Para kadernya harus mampu menampilkan inilah kader qiyadah mujtamal ’muslim negarawan’. Dakwah ‘ammah’ senantiasa diperlukan bahkan perkembangannya harus sebanding dengan pesatnya pertumbuhan halaqah-halaqah. Dan ini tidak cukup hanya sekedar menjadi murobbi. Pada saat yang sama kita adalah aktivis dakwah, aktivis harokah. Jika murobbi berhenti beramal bagaimana dengan mutarobbinya, bagaimana bisa melahirakan generasi-generasi unggul yang akan menyelesaikan problematika umat ini.
Tujuh adalah takwiner. Lebih dari sekedar motivator. Seorang murobbi bukan sekedar motivator. Ia adalah guru, orang tua, sekaligus sahabat yang memiliki tugas besar membentuk mutarobbi mencapai muwashshofat kader dakwah. Tugas yang sangat berat dan perlu untuk dilakukan dengan penuh kesungguhan, sabar, do’a, dan tawakal. Maka, seorang murobbi pun perlu mendoakan mutarobbinya setiap ia shalat malam agar dijaga oleh Allah dan ditingkatkan iltizamnya serta menjadi kader dakwah yang mencapai muwashshofatnya.
Delapan adalah Al-khibroh binnufus, yaitu berpengalaman dalam memahami aspek kejiwaan, karena sesungguhnya lapangan kerja seorang murobbi tidak lain adalah kejiwaan, bergumul dengannya dan menjadikannya sasaran yang pertama dan terakhir dalam proses tarbiyah, sedangkan jiwa tidak seperti gigi sisir, akan tetapi jiwa orang berbeda satu dengan yang lainnya, ada yang lemah, ada yang kuat, ada yang peka dan over sensitif. Ada yang lembut , ada yang keras, bebal dan sebagainya. Disinilah tugas kita sebagai seorang murobbi tidak hanya membimbing tetapi juga mengawal dan memahami. Semoga kita mampu menjadi seorang murobbi yang senantiasa memperbaiki diri menjadi seorang murobbi ideal. InsyaAllah, Aamiin…
Penulis: Dian Rahmana Putri (Mahasiswi Ma’had Abdurahman bin Auf Malang, Jawa Tengah)
Sumber:
Mawad Tarbiyah Wahdah Islamiyah
Satria Hadi Lubis, Profil Murabbi Ideal
Materi Fungsi Murobbi (Disampaikan oleh Ust Ir H. Muhammad Qosim Saguni MA, Pada Musyawarah Wilayah Kerja DPW Wahdah Islamiyah Jawa Timur)