Oleh: Fadh Ahmad Arifan[1]
Seperti yang ditulis dalam buku-buku Tarikh tasyri’, pada akhir abad pertama Hijriyah dan penghujung abad dua Hijriyah mulai bermunculan aliran dalam bentuk fiqh. Aliran-aliran fiqh itu ialah: madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’ie, madzhab Hanbali, madzhab Dzahiri dan madzhab Syi’ah Jafar Al-Shadiq.[2] Adanya aliran-aliran fiqh ini karena adanya perbedaan di sekitar metode berijtihad yang menimbulkan perbedaan pendapat. Dari perbedaan pendapat ini terbentuklah kelompok-kelompok fiqh yang pada mulanya terdiri dari murid-murid para imam mujtahid.[3]
Setelah periode keemasan fiqh Islam tersebut, dunia ijtihad adakalanya mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan ulama masing-masing madzhab yang sudah terbentuk lebih mempertahankan pendapat madzhabnya ketimbang berijtihad langsung kepada Al-Quran dan Sunnah. Pada masa ini (abad ke 4 H), perkembangan ijtihad pun mulai lambat.[4] Mayoritas para fuqaha’ merasakan kevakuman yang tidak mereka alami pada periode kemajuan intelektual. Kemudian mereka berusaha mengisi kevakuman dengan berbagai aktivitas, di antaranya:
- Meresume buku-buku lama.
- Menjabarkan buku-buku sebelumnya (fiqh madzhab masing-masing).
- Mempersulit penulisan buku dengan penggunaan kata-kata asing yang tidak pernah didengar telinga, mereka juga menggunakan susunan kata aneh yang tidak dikenal kalangan umum.
- Menulis buku dengan kata-kata indah dalam karya ilmiahnya, sesungguhnya bertujuan menutupi kelemahannya dan menyembunyikan kekurangannya. Metode penulisan seperti itu justru menyia-nyiakan hukum.[5]
Selain mereka merasakan kevakuman, di sisi lain juga membuat mereka memiliki sikap loyal (ta’asub) dan fanatik yang sangat berlebihan terhadap madzhab mereka dan menjadikan mereka kurang percaya diri terhadap kemampuan mereka sendiri.[6] Bahkan lebih jauh dikatakan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Dalam berbagai literatur fiqh tidak dijelaskan ulama yang pertama kali menyatakan hal tersebut. Keadaan seperti ini berlangsung hingga abad ke-13 H, dan sering disebut periode taklid dan tertutupnya pintu ijtihad.[7]
Sejak abad ke-13 H hingga sekarang, ulama fiqh mulai merasakan akibat dari perbedaan yang terus menerus antar sesama madzhab. Kondisi tersebut berlangsung lama hingga tampillah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang merupakan orang pertama mengumandangkan pernyataan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Menurutnya, sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman, ijtihad harus dikembangkan dalam persoalan muamalah. Perjuangan Ibnu Taimiyah tadi dilanjutkan oleh muridnya Ibnu Qayyim al-Jauzi. Kemudian pada masa imperialisme modern, seruan ijtihad terutama kembali kepada Al-Quran dan Sunnah juga dilanjutkan oleh: Muhammad Abduh, Sayyid Rasyid Ridha, dan Syaikh Mahmud Syaltut dari Universitas Al-Azhar Mesir. Dan di Negara-negara Muslim lainnya hal serupa juga dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dari Saudi Arabia, berbagai ulama kontemporer Islam lainnya terutama Hasan Al-Banna,[8] Sayyid Qutb, Sayyid Sabiq (fiqh sunnah), Yusuf Al-Qaradhawi, Muhammad Iqbal, Abu A’la al-Maududi dan Syaikh Wahbah Zuhaily.
Gerakan ijtihad juga terjadi di Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Berawal dari ijtihad jama’i para Wali Songo ketika menjatuhkan hukuman mati bagi Siti Jenar dan pengikutnya yang ajarannya dinilai menyimpang (sesat) oleh jajaran para Wali songo saat itu.[9]
Setelah era Wali Songo berlalu, hingga rakyat Indonesia mengalami masa penjajahan Belanda dan Jepang, pada masa penjajahan tersebut, bangsa kita sedikit mengalami masa kemunduran dan kevakuman dari gerakan ijtihad. Akan tetapi menjelang awal tahun 1910 hingga kemerdekaan, gerakan ijtihad kembali dihidupkan oleh KH. Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah yang berjuang di bidang pendidikan dan tajdid dengan seruan “kembali kepada Qur’an dan As-Sunnah”. Perjuangan yang dilakukan Muhammadiyah tidak hanya terfokus pada pulau Jawa saja, melainkan juga dimulai di Sumatra Barat dan daerah kawasan timur.
Berlanjut pada masa Orde Lama dan Orde Baru, ijtihad yang dituangkan dalam pemikiran fiqh juga dilakukan oleh Prof. DR. Hazairin dengan Teori Receptie Exit, M. Natsir dengan konsep Fiqh dakwah, Prof. DR. T.M Hasbi Asy-Shiddiqie dengan Fiqh Indonesia, KH. Ibrahim husein dengan gagasan Ijtihad kolektifnya (cikal bakal MUI), Prof. KH. Ali Yafie dengan gagasan Fiqh Sosial dan Figh Lingkungan, KH. Sahal Mafudz dengan gagasan Ijtihad Manhaji dalam tubuh ormas Nahdlatul Ulama.
Terakhir adalah gagasan fiqh yang muncul terkait problem-problem yang menghantam bangsa ini. Seperti Korupsi dan kasus perdagangan manusia (human trafficking).[10] Maka dari itu ulama maupun akademisi memunculkan gagasan Fiqh Anti korupsi yang dikembangkan oleh ulama-ulama di Majelis tarjih Muhammadiyah dan Fiqh anti Trafiking yang mengulas kasus perdagangan manusia ditinjau dari hukum Islam.[11] Diharapkan dengan hadirnya produk pemikiran fiqh tersebut, bisa menyelesaikan problem bangsa Indonesia. Wallahu’allam bishowwab
[1] Penulis adalah Pengajar Fiqh di MA Muhammadiyah 2 kota Malang. WA 085330040043
[2] Pada masa kemunculan aliran-aliran fiqh ini, aktifitas ijtihad memuncak. Dalam sejarah Islam masa ini sering disebut dengan “periode ijtihad dan keemasan fiqh Islam”.
[3] A. Djazuli, Ilmu fiqih, (Kencana, 2003), hal 123.
[4] Abdul Aziz Dahlan, et. al, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hal 671.
[5] Muhammad Sayyid Al-Wakil, Wajah Dunia Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hal 127-129.
[6] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal 109.
[7] Abdul Aziz Dahlan, et. al, op.cit., jilid 2, 671. Sebenarnya, penutupan pintu ijtihad pada masa tersebut, lebih ditujukan pada ijtihad muthlaq. Walau tak diketahui secara pasti sejak kapan, penutupan pintu ijtihad terjadi karena ada anggapan bahwa tidak ada ulama yang memenuhi persyaratan seperti keempat imam itu. Sebaliknya, menurut Abu Zahrah, di kalangan Syi’ah tidak pernah dikenal tertutupnya pintu ijtihad. Sayyid Rasyid Ridha, mengikuti gurunya Syaikh Muhammad Abduh, mengecam penutupan pintu ijtihad yang mana pun: “Kita tidak menemukan manfaat apa pun dari penutupan pintu ijtihad“. Bahayanya banyak berakibat pada terbengkalainya akal, terputusnya pengembangan ilmu dan terhalangnya kemajuan pemikiran. Kaum Muslim mundur karena meninggalkan ijtihad sehingga mereka menjadi seperti yang kita lihat sekarang ini.”
[8] Hasan Al-Banna adalah salah satu pendiri organisasi Ikhwanul Muslimin Mesir, Sejarah dan Program-program Ikhwanul Muslimin dapat dibaca misalnya dalam M. Ishak Husaini, The Moslem Brethren: The Greatest of The Modern Islamic Movement, (Beirut: Kahayat).
[9] Para wali di masa lalu telah banyak meninggalkan karya-karya intelektual dalam bentuk manuskrip, babad dan kitab. Namun, semua karya berharga mereka dicuri oleh penjajah Belanda, Portugis dan Inggris. Sisanya lagi berada di tangan kolektor manuskrip kuno dan perpustakaan rahasia milik komunitas Yahudi. Sungguh ironis sekali.
[10] Menurut catatan organisasi Internasional untuk migrasi (IOM), kasus perdagangan orang di Indonesia pada periode 2008-2010 mencapai 1.647 orang. Jumlah ini bisa terus meningkat bila tidak ditanggulangi oleh semua pemangku kepentingan. Angka tersebut belum termasuk kasus perburuhan yang memiliki indikasi perdagangan manusia seperti pemberian informasi yang tidak benar, pelecehan seksual, dan penganiayaan, dan tidak dibayarkannya gaji. Perdagangan manusia saat ini dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Karena itu, tidak akan pernah diberantas kecuali semua pihak memiliki komitmen serta mengambil peran aktif dalam upaya pemberantasannya. Lihat “Kemlu: Kasus Perdagangan Manusia di Indonesia Meningkat Tajam” detik.com tgl 13 Mei 2014
[11] Diadopsi dari: Endang Saifudin Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004); Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1980); Rosihan Anwar, Ajaran dan Sejarah Islam Untuk Anda, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1962); Rifyal Ka’bah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta: Khairul Bayan, 2004); Majelis Tarjih, Fikih anti Korupsi, (Jakarta: PSAP, 2006), Faqihuddin Abdul Kodir dkk, Fiqh anti Trafiking, (Fahmina Institute, 2006)