“Perkenalkan Saya Bachtiar Nasir, Ketua GNPF-MUI, Sebenarnya saya hanyalah Marbot Mesjid.”
“Perkenalkan saya Zaitun Rasmin, wakil Marbot masjid”
“Perkenalkan saya Misbahul Anam, juga marbot masjid.”
“Perkenalkan saya Munarman tukang sapu masjid.”
“Perkenalkan saya Luthfie Hakim, bendahara masjid.”
Kurang lebih demikian ungkapan para petinggi GNPF-MUI mengawali aksi super damai jutaan ummat Islam, pada jumat 2 Desember 2016 yang disambut senyum para peserta aksi super damai.
______________________________
Super besar dan super damai, mengharukan, menggetarkan, membanggakan, dan mempersatukan. Itulah kira-kira beberapa gambaran yang bisa kita dapatkan dari berkumpulnya jutaan ummat Islam di Ibu Kota Negeri yang mereka cintai, Jakarta. Rasanya bohong kalau hati tidak bergetar melihat pemandangan indah itu, dan kita patut takjub kepada Allah Azza wa Jalla yang memperlihatkan kekuasaannya menggerakkan hati dan kaki jutaan manusia pada hari itu. Moment ini tentu akan menjadi salah satu sejarah besar bukan hanya bagi bangsa Indonesia, bukan hanya bagi ummat Islam Indonesia, tapi juga akan menjadi sejarah besar dan kebanggan Ummat Islam di seluruh penjuru dunia. Indonesia lagi-lagi menjadi contoh cerminan muslim yang damai yang jauh dari kesan yang selama ini dibuat dan dipelihara para musuh-musuh Islam.
Alasan berkumpulnya jutaan kaum muslimin di 212 masih tetap sama dengan dua aksi sebelumnya pada bulan oktober dan November, penjarakan Ahok si penista Alquran. Ya, kaum muslimin masih dengan tuntutan yang sama untuk menegakkan supremasi hukum, bahwa dimata hukum siapapun memiliki kedudukan yang sama, terlebih kaum muslimin ingin menuntut keadilan terhadap tokoh angkuh dan sombong, yang telah berani merusak nilai-nilai kebhinekaan bangsa Indonesia. Apalagi yang dia nistakan adalah kitab suci kaum muslimin, ummat mayoritas di negeri ini, Benteng NKRI sebagaimana yang disampaikan oleh Jendral TNI Bapak Gatot Nurmantyo.
Panggung aksi hari itu benar-benar memberikan banyak pelajaran kepada kita, baik bagi mereka yang turut hadir langsung, maupun mereka yang hanya bisa menyaksikan peristiwa tersebut dari jarak yang jauh. Kita bisa belajar tentang keikhlasan dari panjangnya perjalanan kaki para kiyai dan santri yang berjumlah 10.000 orang dari Cimahi. Bukan perkara yang mudah dan remeh. Jika sekiranya bukan karena kekuatan Iman rasanya mustahil mereka sampai ke Jakarta. Tapi lagi-lagi mereka menyadarkan kita bahwa yang kita butuhkan adalah keikhlasan dan pengorbanan untuk menolong Agama Allah. Jika keduanya sudah bulat untuk kita laksanakan, maka tunggulah pertolongan Allah pasti akan datang. Para mujahid Ciamis diakui atau tidak menjadi pemantik semangat tersendiri yang semakin menggelorakan keinginan kuat kaum muslimin untuk membanjiri Jakarta. Dan ternyata benar, Jakarta hari itu bak lautan manusia, di penuhi jutaan kaum muslimin yang berbaju putih bersama-sama melaksanakan Ibadah yang Agung. Selain mujahid Ciamis yang mendunia, para penyandang disabilitas, orang tua, para pedagang, kalangan intelektual dan pengusaha turut hadir membanjiri moment berharga tersebut. Semuanya bergerak karena rasa cinta terhadap Alquran. Jujur saya (penulis) tidak hentinya terharu sejak jumat dinihari karena menyaksikan kaum muslimin yang datang ke Jakarta dari berbagai penjuru daerah dan rela tidur berlasakan lantai tanpa alas kepala. Dan keharuan itu mengawali keharuan-keharuan lain di acara puncak jumat pagi.
Sejarah lagi-lagi terukir Indah lewat tinta emas ummat Islam Indonesia. Kejadian hari ini mengingatkan kita kembali lembaran sejarah masa lalu bangsa ini, bahwa sejarah kegemilangan Indonesia tak akan pernah bisa dilepaskan dari sejarah ummat Islam. Sebagaimana pesan Buya Hamka bahwa jika bukan kerena Ummat Islam warna biru di bendera yang kita banggakan niscaya masih akan tetap ada. Hal yang sama diungkapkan oleh ketua GNPF MUI, ustadz Bahtiar Nasir, di sela-sela orasi beliau “silahkan belah tanah air Indonesia, niscaya anda akan mendapati bahwa bangsa ini dibangun di atas tetesan darah segar ummat Islam, darah segar para mujahid bangsa.”
Tentu banyak pelajaran berharga yang lain yang bisa kita petik sebagai buah dari aksi super damai 2 12, apalagi media sosial dewasa ini betul-betul dimanfaatkan dengan sangat baik untuk menyebarluaskan berita-berita berimbang sehingga menjadi corong penting bagi ummat mendapatkan informasi benar tentang kejadian yang sesungguhnya terjadi. Ummat bisa mendapatkan berita aktual yang orisinal tanpa upaya frame pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan.
Sebagai salah satu peserta aksi yang ditakdirkan oleh Allah hadir langsung di monas dan mendapatkan posisi strategis di depan panggung utama GNPF-MUI poin penting yang penulis dapat petik dari kesuksesan acara ini adalah peran sentral para ulama bangsa. Saya benar-benar dapat menyaksikan bahwa mereka punya jasa yang sungguh sangat besar dalam mewujudkan kesuksesan acara kemarin, dan berbagai acara yang sama yang berlangsung sebelumnya. Kejadian 411 dan 212 semakin membuka mata saya bahwa para ulama bangsa adalah sosok pemimpin yang kharismatik, para ulama bangsa adalah para diplomat ulung, sosok pemikir dan ahli strategi. Dan yang paling nampak dari mereka bagi saya adalah kesungguhan dan keikhlasannya mereka bekerja untuk ummat.
Poin keikhlasan dan kesungguhan dalam melayani masyarakat sebenarnya bukanlah barang baru, bahkan “kalimat sakti ini” adalah jualan para politikus untuk meraih simpatik dari masyarakat, tapi sayang hal tersebut nyatanya sulit mereka realisasikan. Namun bagi para ulama poin kesungguhan dan keikhlasan begitu Nampak terpancar dari aktivitas dan perjuangan mereka. Asumsi penulis, daya pembedanya adalah karena para ulama orang-orang yang tahu betul hakikat apa arti menjadi seorang pemimpin, dan tentu juga karena factor kedekatan mereka dengan Allah azza wa jalla, sehingga orientasi mereka bergerak, bekerja, dan melayani ummat adalah pahala negeri akhirat, bukan untuk popularitas, bukan untuk kebanggan, dan bukan pula untuk nama besar. Hal ini bisa kita saksikan dari petikan sederhana kalimat pembuka ust. Bahtiar Nasir di awal acara bahwa “kami adalah marbot masjid, tidak perlu dibanggakan.” Gesture para ulama diatas panggung pun juga demikian, memperilihatkan sikap kerendahan hati dan keikhlasan dalam berbuat. Tidak ada yang ingin menonjolkan diri untuk tampil menjadi bintang panggung.
Buah dari kesungguhan dan keikhlasan mereka akhirnya dibayar oleh Allah Azza wa jalla dengan menggerakkan hati jutaan kaum muslimin dari berbagai pelosok tanah air. Padahal perjuangan mereka datang ke Jakarta bukan perkara mudah, pengorbanan waktu, tenaga, dan biaya sudah barang tentu dilakukan. Belum lagi upaya keras pihak tertentu untuk menghalang-halangi kedatangan mereka terus dilakukan walaupun sia-sia pada akhirnya. Karena Allah jugalah sang master plan perencana, bukan mereka. Allah jugalah yang pada akhirnya melihat hati-hati hambanya dan memilih Syaikh Habib Riziq untuk menjadi khatib jumat dan memberikan nasehat yang menggetarkan jiwa kepada para jamaah, termasuk didalamnya Bapak Presiden, Wakil Presiden, Panglima TNI, KAPOLRI, dan para petinggi negeri lainnya yang hadir pada acara tersebut. Sungguh moment yang begitu Indah, Panggung 212 benar-benar menjadi panggung para ulama, panggungnya ummat Islam.
Kita tentu berharap moment indah ini tidak berlalu begitu saja. Kita berharap bahwa aksi 411 dan 212 ini dapat menjadi langkah awal yang baik untuk gerakan ummat Islam yang semakin sadar untuk kembali kepada Alquran. Allah subhanahu wa ta’ala hendak menegur kita lewat Al Maidah 51, bahwa sumber kehinaan itu adalah dengan jauhnya kita dari nilai-nilai Alquran. dan sebaliknya sumber kemuliaan dan kehormatan bangsa Indonesia adalah dekat dengan Alquran. Maka sudah sepatutnya kita menghadirkan nilai-nilai Alquran pada pada berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tentu akan sangat rugi kita jika persatuan dan tujuan bersama yang kita telah usung harus berhenti hanya pada langkah penahanan si penista agama saja. Kita tentu berharap kejadian ini menjadi bola salju yang terus menggelinding serta semakin membesar. Dan kemudian menyadarkan ummat tentang pentingnya kita bersatu, dan pentingnya ummat Islam mengambil peran pada berbagai sektor strategis di negeri ini, seperti ekonomi, pendidikan, dan tentu saja sektor politik. Khusus untuk sector politik, selama ini ummat Islam dibodohi dengan kalimat Jangan campuri urusan politik dengan agama, atau jangan ada politisasi agama. Intinya ummat Islam dan para ulama berusaha dijauhkan dari peran politik. Anehnya ketika hendak menjaring suara, para tokoh politik beramai-ramai mendatangi kantong-kantong suara ummat Islam, tidak hanya itu mereka juga tiba-tiba menjadi sosok pribadi yang agamis dan dekat dengan para ulama, namun setelah itu ummat Islam kembali dilupakan. Begitulah jika arena politik hanya menjadi ladang bermain para pengejar kekuasaan.
Tanpa mengecilkan peran ulama dan tokoh yang lain, izinkan secara pribadi penulis mengapresiasi dan memberikan penghormatan yang tinggi kepada Ustadz Bachtiar Nasir, Ustadz Zaitun Rasmin, Ustadz Misbahul Anam, Bung Munarman dan Bung Luthfie Hakim. Mereka dibawah arahan Syaikh Habib Riziq telah menjadi motor penggerak dan telah bekerja keras melayani ummat. Mereka telah berhasil meraih hati kaum muslimin dan bahkan nonmuslim sekalipun. Kolaborasi seluruh ulama dan tokoh bangsa untuk aksi 212 membangkitkan kembali harapan indah dan masa depan yang cerah untuk bangsa Indonesia. Indonesia yang damai dan rukun, Indonesia yang sejahtera bangsanya, serta kembali disegani di mata dunia.
Aksi 4 11 dan 2 12, serta serangkaian aksi lain yang menyertainya semakin membuka mata kita bahwa yang paling tepat memimpin bangsa ini kedepan adalah sosok para ulama. izinkan saya berandai dan bermimpi bahwa kelak yang menjadi presiden negeri ini adalah dia yang akan memimpin sholat-sholat rawatib dan membawakan khutbah jumat di masjid kenegaraan. Bukankah itu juga yang telah dicontohkan oleh Rasullah dan khulafaurrasyidin?? Betapa Indahnya!!
Oleh Muhammad Amirullah Sibali*
(Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UPI Bandung dan Pengurus Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia)