Kita berada pada zaman Antroposen. Zaman ketika manusia berpengaruh besar terhadap apa yang terjadi pada alam. Sejarawan mengatakan, zaman dulu terjadinya perubahan alam disebabkan oleh adanya bencana mahadahsyat. Bisa berupa pergeseran lempeng tektonik. Banjir besar yang menghapus jejak kehidupan. Hingga jatuhnya meteor-meteor yang meluluhlantakkan bumi. Namun, untuk pertama kalinya kita berada di era ketika manusialah yang menyebabkan itu semua.
Ulah manusia menyebabkan terjadinya perubahan iklim, habitat semakin berkurang, polusi udara dan pencemaran tanah dan tentunya pemanasan global. Semua ini pada akhirnya akan menimbulkan kerusakan pada muka bumi yang oleh para ilmuwan disebut sebagai kerusakan antropogenik. Dan jika manusia yang merusaknya maka manusia pulalah yang harus melakukan perbaikan dan perubahan.
Sayangnya, isu lingkungan ini belum menjadi perhatian di kalangan aktivis dakwah. Sebagai salah seorang yang tergabung dalam gerakan dakwah sejak mahasiswa, saya belum melihat adanya usaha serius dalam melakukan aktivisme lingkungan pada lingkup gerakan dakwah di kampus. Umumnya isu lingkungan justru dibawa oleh komunitas bebas yang berani menyuarakan dan bergerak secara riil. Apa kira-kira yang menyebabkannya?
Paling tidak ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya ketidakperhatian aktivis dakwah. Pertama, adanya pandangan yang parsial dalam memandang pengejawantahan ayat Al-Qur’an dalam kehidupan. Padangan ini menempatkan Islam sebatas pada ibadah “ritual” dan kegiatannya berputar pada masjid saja. Hal ini menyebabkan aktivitas dakwah dalam proses dakwahnya tidak keluar dari pakem yang umum yakni pada pembelajaran baca tulis Al-qur’an dan hukum syariat yang lahir.
Kedua, isu lingkungan meskipun menjadi isu populer akhir ini namun sikap aktivis dakwah baru sebatas gimmick. Sekadar ikut-ikutan. Upaya mengikuti tren pemberdayaan dan penjagaan lingkungan baru berada pada tahap perencanaan. Sehingga aksi nyata yang diharapkan lahir tidak tercermin di kehidupan nyata. Hal ini salah satunya disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan konsep lingkungan dan pengelolaannya.
Mengutip Prof Muhjidin Mawardi dari PP Muhammadiyah, beliau menyatakan bahwa kurangnya kepedulian umat Islam terhadap isu lingkungan disebabkan karena dua hal yakni kesadaran umat dan mindset atau pola pikir umat. Menurutnya, pola pikir umat Islam masih bersifat jangka pendek. Padahal isu lingkungan bersifat jangka panjang.[1]
Saya kira pernyataan beliau cukup benar adanya. Pada faktanya, terkadang kita baru perhatian terhadap isu lingkungan jika terjadi bencana alam. Pasca bencana alam, kondisi kembali ke semula. Padahal isu lingkungan itu berkelanjutan dan harus direspon secara aktual.
Dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menyinggung perkara lingkungan. Misal di QS. Ar-Rum ayat 9, Allah memperingatkan agar manusia menjadi pelaku aktif mengelola lingkungan. Pada ayat 41 di surah yang sama, dinyatakan pula bahwa kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia. Peringatan-peringatan dalam al-Qur’an ini patut menjadi perhatian. Islam nyatanya memperhatikan masalah-masalah lingkungan.
Hal ini tidak hanya tergambar dalam ayat-ayat al-Qur’an, sunnah Nabi telah menunjukkan kemuliaan Islam dalam memperhatikan lingkungan. Nabi Muhammad Saw sendiri melarang kita untuk merusak pohon-pohon ketika terjadi peperangan. Padahal pada konteks perang, keumumannya adalah semua hal bisa dilakukan asal bisa mendapatkan kemenangan. Namun, tetap saja Islam memberikan panduan yang sangat pro-lingkungan.
Landasan dalam syariat ini seharusnya mengajarkan kepada kita pentingnya lingkungan dalam hidup kita. Baik dalam kerangka seorang manusia, seorang muslim, terlebih sebagai orang yang mengaku sebagai aktivis dakwah.
Langkah pertama yang harus diambil adalah melakukan perubahan mindset terhadap lingkungan. Pimpinan LDK harus mengambil sikap. Mindset ini kemudian diturunkan kepada pengurus dan kader. Dalam artian, mulailah perubahan dalam memandang isu lingkungan. Ia tidak sekadar sebagai gimmick. Sebuah pertunjukan bahwa Islam menyentuh seluruh aspek kehidupan. Tapi lebih dari itu, isu lingkungan saat ini telah menjadi isu besar umat manusia.
Emisi gas rumah kaca saat ini telah mencapai batas maksimal yang bisa ditolerir. Sebagaimana telah disepakati oleh hampir 200 negara di Perjanjian Paris, kenaikan suhu global ditargetkan cukup sampai 1,5 derajat Celcius saja. Sedangkan proyeksi para ahli menyebutkan jika tidak ada tindakan perubahan, kenaikan suhu diprediksi akan mencapai 2,5 derajat Celcius pada tahun 2100 mendatang.
Meskipun proyeksinya bersifat jangka panjang, namun dampaknya kita telah rasakan saat ini. Udara terasa lebih kotor. Cuaca terasa lebih panas. Dan iklim sering tidak menentu.
Maka perubahan mindset diperlukan. Cara paling utama yakni dengan terus belajar. Ikuti perkembangan isu iklim saat ini. Hasil pemikiran itu kemudian kita praktikkan dalam skop yang lebih kecil. Pada aspek dakwah kampus. Berikan pencerahan kepada pengurus tentang langkah-langkah dalam menjaga lingkungan.
Kedua, mulai melaksanakan prinsip ini. Tidak perlu dengan hal-hal yang besar. Bisa dimulai dengan perawatan lingkungan yang sederhana. Misalnya dengan konsep Zero Waste yang sempat tren.
Zero Waste sebenarnya adalah konsep yang pertama kali digunakan oleh Palmer pada tahun 1973. Zero Waste bermakna menghilangkan sampah yang tidak perlu dan tidak diinginkan dari setiap produk dan setiap tahap daur hidupnya. Sederhananya adalah pengolahan sampah. Konsep ini secara umum menggunakan 5 metode yaitu (1) Refuse (menolak); (2) Reduce (mengurangi); (3) Reuse (menggunakan kembali); (4) Recycle (mendaur ulang); (5) Rot (membusukkan sampah).[2]
Tentu masih banyak konsep-konsep penjagaan lingkungan yang bisa diterapkan. Sudah saatnya isu lingkungan tidak hanya dimonopoli oleh lembaga-lembaga sekuler. Saatnya lembaga-lembaga agama turut andil dan menunjukkan diri sebagai khalifah di muka bumi.
Andi Muhammad Shalihin
Ketua Umum PP Lidmi Periode 2024-2026
[1] https://web.suaramuhammadiyah.id/2017/01/10/soal-isu-lingkungan-perlu-mengubah-mindset-umat-islam/
[2] Andini, Sopiah, et al. “Strategi pengolahan sampah dan penerapan zero waste di lingkungan kampus STKIP Kusuma Negara.” Jurnal Citizenship Virtues 2.1 (2022): 273-281.