Lidmi.or.id, PD SINJAI – Konoha pernah berpikir bahwa ancaman terbesar adalah Madara Uchiha. Tapi ternyata kami salah. Ancaman sesungguhnya datang perlahan, tak bersenjata, tak bermata Sharingan, tapi membawa izin lengkap dan alat berat.
Semua dimulai dari organisasi lama yang dulu dikira sudah bubar : Akatsuki. Tapi Akatsuki yang ini bukan berbaju hitam dengan awan merah. Mereka pakai jas rapi, dasi mahal, dan datang dengan proposal investasi.
Misi mereka sederhana : bukan menguasai bijuu, tapi menguasai tambang. Kenapa tambang? Karena mereka tahu, di dalam tanah ada pohon, dan bukan sembarang pohon.
Pohon Cakra. Bukan yang bercahaya seperti di cerita lama, tapi pohon yang bisa mereka ubah jadi tumpukan uang. Semakin banyak pohon yang ditebang, semakin besar kekuatan mereka. Bukan chakra yang bertambah, tapi saldo.
Madara Uchiha sebenarnya hanya pion. Dia digerakkan oleh dalang sesungguhnya: Kaguya Otsutsuki.
Kaguya punya misi lama yaitu menguasai seluruh chakra dunia dan kini berubah bentuk menjadi menguasai seluruh kekayaan desa-desa dengan tambang sebagai medianya.
Jutsu Hitam dilancarkan dalam bentuk dokumen-dokumen izin, laporan AMDAL palsu, janji CSR, dan proposal reklamasi yang hanya sebatas brosur.
Obito awalnya percaya bahwa ini adalah jalan menuju “Perdamaian Besar.” Tapi akhirnya dia sadar. Yang terjadi bukan perdamaian, tapi penghancuran perlahan.
Bukit-bukit diratakan. Sungai-sungai dikotori. Udara yang dulu bersih kini penuh debu. Obito akhirnya berkata pelan, “Ini bukan Dunia Impian. Ini Dunia Galian.”
Para petani, warga biasa, mereka semua hidup dalam genjutsu tingkat tinggi. Mereka dijanjikan pembangunan, dijanjikan kesejahteraan, padahal yang datang hanya truk-truk besar dengan roda berlumpur.
Di tengah kekacauan itu, muncul perlawanan kecil. Mereka bukan anggota Anbu, bukan pasukan khusus Konoha, tapi kelompok warga biasa.
Mereka membawa gulungan-gulungan data, dokumen-dokumen tua, laporan-laporan yang disembunyikan oleh para birokrat.
Dengan mata tajam seperti Sharingan, mereka menelusuri setiap izin yang berantakan, mencari celah dari genjutsu hitam para elite tambang.
Namun kekuatan Akatsuki Baru terlalu besar. Mereka sudah menguasai pejabat, memanipulasi Kage-Kage lokal, bahkan mempengaruhi keputusan dari atas meja Hokage.
Semua demi satu tujuan : mengubah tanah menjadi kekayaan pribadi. Pohon-pohon ditebang. Bukit diratakan. Yang tumbuh bukan lagi padi, bukan lagi hutan, tapi lubang-lubang besar seolah dunia ini memang disiapkan untuk menjadi neraka sebelum waktunya.
Tapi seperti semua kisah shinobi, harapan selalu muncul dari tempat paling tidak terduga. Bukan dari pertemuan antar Kage. Bukan dari bantuan desa-desa sekutu.
Tapi dari seorang bocah kecil di pinggir jalan, dengan kaki kotor penuh debu tambang, yang berkata:
“Aku tidak mau jadi Hokage untuk perang. Aku mau jadi Hokage untuk menanam pohon lagi.”
Bocah itu tidak tahu apa itu Akatsuki. Tidak paham apa itu proyek tambang multinasional. Tapi dia tahu, sebelum semuanya berubah, di tempat itu pernah ada hijau. Dan dia ingin hijau itu kembali.
Jika Akatsuki Tambang dan Kaguya terus berkuasa, kelak anak cucu kita akan duduk di atas tanah keras penuh debu, lalu bertanya : “Benarkah dulu kampung ini hijau?”
Dan kita hanya bisa menjawab : “Iya… dulu. Sebelum Akatsuki datang.”
Ini bukan fiksi. Ini bukan genjutsu. Ini nyata. Dan kita semua hidup di dalamnya
Ketua PD Lidmi Sinjai