Oleh Andi Muh. Akhyar, S.Pd., M.Sc.*
(Diterbitkan di Harian Amanah edisi Jum’at, 22 Desember 2017)
Musim Hujan
Jika dilihat dari letak astronomis, maka wilayah Indonesia terletak pada daerah tropis. Daerah tropis terletak diantara 0LU – 23½LU dan 0Ls – 23½LS. Di daerah tropis, kita hanya mengenal dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Untuk musim penghujan terutama terjadi pada saat angin bertiup muson barat, sedangkan untuk musim kemarau terjadi saat angin bertiup muson timur.
Pada waktu bulan September sampai Desember matahari bergerak ke bagian selatan, maka wilayah selatan relatif bertemperatur udara tinggi, tekanan udara menjadi rendah. Akibatnya terjadilah aliran udara dari Asia ke wilayah tropis. Pergerakan angin dari Asia membawa massa udara dengan uap air jenuh berasal dari lautan pasifik dan lautan hindia. Pergerakan angi barat itulah yang menyebabkan musim penghujan. Sebaliknya pada bulan Maret sampai Juni ketika Matahari berada di wilayah utara, berganti angin bertiup dari wilayah Australia menuju Kepulauan Indonesia. Angin yang datang dari Benua Australia yang kering tidak banyak membawa banyak uap air sehingga tidak menimbulkan hujan.
(Sumber:http://www.gurupendidikan.co.id/penjelasan-perubahan-musim-di-indonesia-menurut-ahli-meteorologi)
Hujan itu sendiri terjadi karena adanya proses penyinaran oleh matahari yang membuat perairan-perairan yang ada di bumi mengalami penguapan. Mulai dari sungai, danau, hamparan air laut, hingga tubuh manusia. Kumpulan uap air yang terangkat ke udara dan mencapai area yang memiliki suhu rendah tersebut akan berubah menjadi sebuah gumpalan uap air yang sering kita sebut dengan awan.
Dengan adanya bantuan angin, ukuran awan bertambah besar, warnanya berubah menjadi semakin gelap sehingga dari bawah akan nampak berwarna kelabu yang disebut mendung. Ketika awan mencapai ukuran maksimal dan memiliki massa yang semakin berat, awan tersebut akan luruh dan jatuh ke bumi dengan bentuk tetesan-tetesan air atau kita sebut dengan air hujan. Air yang sampai ke bumi kembali akan mengalami proses terjadinya hujan.
(Sumber:http://www.eventzero.org/proses-terjadinya-hujan)
Islamisasi Sains
Musim hujan terjadi karena adanya evolusi bumi dan hujan turun karena adanya proses penguapan air dari bumi oleh sinar matahari. Bagi ilmuan sekuler, pembahasan mengenai musim hujan dicukupkan sampai di sini saja. Titik. Ilmuan sekular menganggap tidak ada hubungan antara peristiwa alam dan Tuhan. Hamid Fahmi Zarkasyi dalam bukunya, “Misykat” mengibaratkan bahwa jika mereka ke sekolah, kantor, atau laboratorium, Tuhannya di simpan dulu di bagasi mobil sebelum masuk. Sehingga apapun hasil kerjaannya di sekolah, kantor, atau laboratorium, tidak ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Netral. Parahnya lagi, karena minimnya ilmu, banyak muslim yang juga terpengaruh paham sekularistik: memaknai proses musim hujan juga hanya sebagai peristiwa alam biasa.
Bagi kita, ilmuan muslim, tidak cukup sampai disitu. Sebagai kebenaran ilmiah, kita meyakini bahwa musim hujan terjadi sebagai akibat evolusi bumi. Kita meyakini bahwa proses turunnya hujan karena adanya penguapan air di bumi akibat panas matahari. Namun lebih dari itu, kita pun meyakini bahwa musim hujan dan turunnya hujan terjadi atas izin Allah. Tidak ada satu bayi pun yang lahir atau satu daun pun yang jatuh, kecuali terjadi atas izin Allah. Allah telah menuliskan semua takdir makhluk di dunia ini:siapa, apa, kapan, dimana, dan bagaimana proses terjadinya sejak lima puluh ribu tahun yang lalu sebelum langit dan bumi diciptakan (HR. Muslim).
Seorang muslim yang memahami hakekat penciptaannya adalah untuk beribdah kepada Allah (Qs. Adz Zariat:56), tentu akan menjadikan setiap detik fase hidupnya sebagai bagian dari ibadah. Demikian pula dengan hadirnya musim hujan ini. Bagi seorang muslim, ini tidak hanya sekedar sebagai peritiwa alam namun ia akan menjadikannya sebagai lahan untuk beribadah, mendekatkan diri kepada Allah.
Sebagai agama yang sempurna, Islam telah memberikan arahan yang lengkap kaitannya dengan hujan agar musim hujan ini dapat bernilai ibadah.
1. Ketika mendung
’Aisyah radhiyallahu ’anha berkata dalam hadits riwayat Bukhari no. 3206, ”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam apabila melihat mendung di langit, beliau beranjak ke depan, ke belakang atau beralih masuk atau keluar, dan berubahlah raut wajah beliau. Apabila hujan turun, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam mulai menenangkan hatinya. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan, ”Aku tidak mengetahui apa ini, seakan-akan inilah yang terjadi (pada Kaum ’Aad) sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), ”Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka.” (QS. Al Ahqaf : 24)”
Ibnu Hajar (dalam Fathul Bari Syarh Shohih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al ’Asqolani Asy Syafi’i, 6/301, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H) mengatakan, ”Hadits ini menunjukkan bahwa tatkala mendung seharusnya seseorang menjadi kusut pikirannya jika ia mengingat-ingat apa yang terjadi pada umat terdahulu. Ini sekaligus merupakan peringatan agar ia selalu merasa takut akan adzab sebagaimana ditimpakan kepada umat-umat sebelumnya.”
2. Berdoa ketika turun hujan
Ibnu Qudamah (dalam Al Mughni fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hambal Asy Syaibani, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, 2/294, Darul Fikr, Beirut, cetakan pertama, 1405 H) mengatakan, ”Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan,” sebagaimana terdapat hadits dari Sahl bin Sa’d, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Dua do’a yang tidak akan ditolak: do’a ketika adzan dan do’a ketika ketika turunnya hujan.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shohihul Jaami’ no. 3078). Silakan meminta apapun kepada Allah tatkala turun hujan karena itulah salah satu waktu mustajab untuk berdoa.
Selain doa umum, ada pula doa khusus yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam tatkala turun hujan berdasarkan hadits riwayat Bukhari no. 1032, Ahmad no. 24190, dan An Nasai no. 1523. Dari Ummul Mukminin, ’Aisyah radhiyallahu ’anha, ”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban nafi’an” (Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat)”.
Ibnu Baththol (dalam Syarh Al Bukhari, 5/18, Asy Syamilah) mengatakan, ”Hadits dari Ummul Mukminin ini berisi anjuran untuk berdo’a ketika turun hujan agar kebaikan dan keberkahan semakin bertambah, begitu pula semakin banyak manfaat.”
3. Ketika hujan lebat
Ibnul Qayyim mengatakan (Zaadul Ma’ad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/439, Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-14, tahun 1407 H),”Ketika hujan semakin lebat, para sahabat meminta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam supaya berdo’a agar cuaca kembali menjadi cerah. Akhirnya beliau membaca do’a, “Allahumma haawalaina wa laa ’alaina. Allahumma ’alal aakami wal jibaali, wazh zhiroobi, wa buthunil awdiyati, wa manaabitisy syajari (Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan).” (HR. Bukhari no. 1014)
4. Mengambil berkah dari air hujan
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Kami pernah kehujanan bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Karena hujan ini baru saja Allah ciptakan.”(HR. Muslim no. 898)
An Nawawi (Syarh Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 6/195, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, cetakan kedua, 1392 H) menjelaskan, “Makna hadits ini adalah hujan itu rahmat yaitu rahmat yang baru saja diciptakan oleh Allah Ta’ala. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertabaruk (mengambil berkah) dari hujan tersebut.” Bahkan sahabat ibnu Abbas menyuruh mengeluarkan pelananya agar dapat mengambil berkah (Lihat Adabul Mufrod no. 1228. Syaikh Al Albani mengatakan sanad hadits ini shohih dan hadits ini mauquf [perkataan sahabat]).
5. Janganlah mencela hujan
Dalam sebuah hadits qudsi, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman, “Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.” (HR. Bukhari no. 4826 dan Muslim no. 2246) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,”Janganlah kamu mencela angin.” (HR. Tirmidzi no. 2252, dari Abu Ka’ab. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Larangan Allah untuk mencela waktu dan angin menjadi isyarat tidak bolehnya mencela makhluk Allah, termasuk hujan. “Gara-gara hujan saya terlambat, gara hujan motor saya mati di jalan”, adalah perkataan yang tidak boleh dikeluarkan. Orang yang mencela hujan sama saja dengan mencela Pencipta hujan yaitu Allah Ta’ala. Apapun yang Allah takdirkan, itulah yang terbaik.
6. Berdo’a setelah turunnya hujan
Apabila telah turun hujan, dalam hadits riwayat Bukhari no. 846, Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk membaca doa ’Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah).
Maha Besar Allah yang telah menjadikan Islam sempurna sehingga manusia dapat menjadikan berbagai fenomena alam sebagai lahan ibadah. Jika orang kafir terus bergerak dengan program sekulerisasi sains, maka kita, para ilmuan muslim, pendidik muslim, guru muslim, dosen muslim, juga harus bergerak dengan program islamisasi sains.
Mengisi waktu dengan menulis di masa peristirahatan karena sakit,
Rabu, 13 Desember 2017
Pukul 17.32 WITA
@Pondok Mertua Indah (PMI); Lorong Mukmin 1 no.14, Sungai Saddang Baru, Kota ‘Serambi Madinah’ Makassar
*Magister Ilmu Fisika UGM dan Ketua Pengurus Pusat Lingkar dakwah Mahasiswa Indonesia (LIDMI)