SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Istilah ini semakin sering didengar seiring perkembangan pengetahuan serta penerapan nilai-nilai HAM di republik kita tercinta. Istilah manjur yang digunakan untuk “meng-counter” serangan-serangan kelompok yang dianggap fundamental atau yang marak hari ini dicap sebagai dengan kelompok-kelompok intoleran. Kelompok yang anti-toleransi dan anti sosial, katanya.
Suku dalam KBBI berarati golongan orang-orang (keluarga) yang seturunan atau golongan bangsa sebagai bagian dari bangsa yang besar atau golongan orang sebagian dari kaum yang seketurunan. Dengan merujuk definisi diatas, kita akan mudah mengetahui bahwa suku biasanya berasal dari tempat yang sama, yang memiliki hubungan seturunan (keluarga). Ini tentu mengisyarakatkan secara eksplisit bahwa suku itu adalah “pilihan” Allah kepada kita. Sebagai contoh sederhana, ketika suatu saat saya mendapat kesempatan belajar di Jepang, maka status suku saya tidak dapat berubah. Saya tidak serta merta menjadi orang dari suku di Jepang. Suku saya tetap sama, Makassar. Saya lahir dan besar di Gowa, orang tua dan para pendahulu dalam keluarga saya asli orang Makassar Gowa. Maka dimanapun saya berpijak bahkan meninggal seumpamanya, maka status kesukuan saya tidak berubah. Dia tetap Makassar.
Begitu pula dengan ras. Ras secara definisi adalah golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik, rumpun bangsa. Definisi ini juga memiliki konsekuensi yang tidak jauh beda dengan suku. Dia memiliki beberapa kesamaan fenotipe dan tentu berasal dari pewarisan genotipe yang tidak jauh. Sifat dasar dengan suku tentu hampir sama. Ras adalah “pemberian” dari Allah Subhanawata’ala. Ketika ras teman-teman saya waktu coass dulu yang berasal dari Malaysia adalah Melayu, selama apapun mereka menepuh pendidikan di Indonesia, ras mereka tetaplah Melayu, tidak serta-merta berubah menjadi Makassar. Kenapa? Karena status ras seseorang sifatnya tetap, atau dalam bahasa agama sifatnya qat’I.
Antar golongan lebih longgar lagi. Didefinisikan sebagai kumpulan manusia yang merupakan kesatuan beridentitas dengan adat istiadat dan sistem norma yang mengatur pola-pola interaksi antar manusia itu. Berbeda dengan kedua istilah sebelumnya, kali ini antar golongan ikatannya lebih bebas dan tidak mengikat dengan status. Kadang statusnya berbatas waktu, tempat, kondisi. Mungkin salah satu contohnya adalah kebebasan bagi setiap individu untuk masuk dan keluar partai dan atau organisaasi tertentu.
Agama. Saya masih ingat pelajaran sejarah SMP saya yang memberikan definisi agama berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya A=tidak, Gama= kacau; tidak kacau. Dalam KBBI, agama didefinisikan sebagai ajaran, sistem yang mengatur tata Keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergulatan manusia serta lingkungannya. Dalam definisi ini, sama seperti antar golongan tadi, Agama sifatnya TIDAK mengikat dalam statusnya, dia kondisi dengan status mobile, dapat berpindah dari satu agama ke agama yang lain. Dengan kata lain, status keberagamaan seseorang dapat dengan bebas dia peroleh atau dia lepaskan, tergantung kondisi dan lingkungan orang tersebut.
Lalu, apa masalahnya? Dalam pergulatan pemikiran di Indonesia beberapa puluh tahun terakhir, sikap intoleransi yang terjadi menjadi bias dengan kebebasan beragama dan kebebasan menista agama.
Tiga komponen yang harusnya dipisah menurut pembahasan dan kejadiannya masing-masing. Namun sayang, sebagian manusia modern Indonesia nampaknya membuat fusion 3 masalah diatas kemudian secara sederhana dan “ekspress” memberikan justifikasinya dengan menggunakan istilah SARA. Akhirnya, SARA menjadi terdakwa, dia dihukum dan dilarang untuk dibicarakan diarea umum walaupun area umum terbatas. Dia divonis sebagai “bahan makanan” dan yang memakannya akan di judge sebagai seorang intoleran.
Ketika Ahmadiyah, Lia eden mendeklarasikan ajaran “Islam gaya baru” mereka, sontak timbul respon penolakan keras dari masyarakat. Pelarangan ajaran dan ibadah mereka disuarakan oleh kaum muslimin. Dan celakan nya mereka kelompok yang menolak ajaran sempalan ini dituduh melakukan bentuk intoleransi. Padahal sesungguhnya Ahmadiyah dan Lia Eden sedang menujukkan jalan untuk merusak agama Islam. Kelompok liberal muncul sebagai pahlawan kebingungan, mereka tampil sebagai pembela kelompok minoritas, katanya. Dan setelah itu skenarionya berlanjut, mengkampanyekan kebebasan setiap warga negara untuk berkeyakinan dan beragama. Pada tahap ini tentu tidaklah masalah karena setiap orang memang bebas memilih agamanya masing-masing, masuk dan keluar agama. Musibah muncul ketika kebebasan beragama ini juga berujung kepada “ajaran” dan doktrin “bebas menistakan agama” dengan membela kelompok-kelompok sesat dan menyimpang sesuai ajaran induk yang dipahami bersama. Kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi disalahgunakan dosisnya dan akhirnya overdosis. Kebebasan memilih agama juga ditafsirkan secara bebas dengan mendukung, masuk dan terlibat aktif dalam memilih ajaran-ajaran yang menista agama itu sendiri. Ahmadiyah dan Lia eden lah contohnya.
Apakah para ulama dan masyarakat yang menjaga izzah Islam mereka akan ditersangkakan sebagai kelompok intoleran, fundamentalis karena melarang, memboikot, dan “melawan” kebebasan beragama orang-orang ahmadiyah. Tentu tidak. Mereka berhak membela Islam mereka. Mereka bahkan wajib melakukannya. Tapi faktanya berkata lain. Isu media dan intelektualisme menjudge mereka sebagai orang orang Intoleran. Para kacung-kacung Liberal ini dan pluralisme ini sesungguhnya sedang kebingungan antara kebebasan beragama dan kebebasan menista agama. Kesalahan berpikir yang sering mereka tuangkan dalam bentuk pelanggaran HAM dan selalu mereka menggaungkan jargo-jargon kebebasan “menista agama” melalui jalan pintas. Jalan pintas bernama SARA.
“Kita tidak boleh menganggap agama kita satu-satunya yang benar karena itu adalah SARA, Kita tidak boleh mendakwahkan Tauhid kepada pemeluk agama lain karena itu adalah SARA, Perbedaan adalah cara Tuhan untuk mempersatukan kita, melihat perbedaan adalah SARA.
Itulah beberapa diantara beberapa jargon “kebingungan”. Padahal, dari sifat dasarnya, perbedaan Suku, ras, antar kelompok dan Agama berbeda. Kita tentu boleh-saja menganggap agama kita satu-satunya yang benar dan itu bukan SARA. Larangan memilih pemimpin kafir untuk kaum muslimin dan mensosialisasikannya tentu bukanlah SARA dari kaum bersumbu pendek. Hal ini karena syariat agama diatas konstitusi. Agama juga sifatnya longgar, orang dapat berpindah agama secara bebas. Hal ini tentu sangat berbeda dengan Suku, dan ras. Dia sifatnya tetap. Seseorang tidak boleh (bahkan tidak bisa) berpindah suku dan ras karena sifatnya tetap.
Oleh karena itu, penggunaan istilah SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) adalah keliru jika kita masih mempersepsikan suku, ras itu SETARA DAN SAMA sifatnya dengan agama. Oleh karena itu, penggunaan istilah ini hendaknya di kembalikan sesuai khittahnya. HAM dan SARA itu untuk menjaga harkat dan martabat manusia, bukanlah doktrin kebebasan beragama dan menistakan ajaran agama. Namun, jikalau demikian manusia modern hari ini tetap menganggap demikin, maka saya akan seterusnya Intoleran, berbicara SARA dan menjadi pelanggar HAM yang setia.
Sebuah catatan kecil dari sebuah diskusi kecil bersama seorang yang saya sebut dengan “Guru Bangsa”, Adian Husaini.
Syukri Mawardi,
Wakil Ketua Umum PP LIDMI