Oleh: Muh. Arfan, S.Si.
(Staff Departemen Ke-LDK-an PP Lidmi Periode 1439-1441 H/ 2017-2019 M)
Sedekat laut merupakan salah satu adat yang terbilang lestari di banyak tempat di Indonesia. Nama yang disematkan di setiap daerah bervariasi sesuai dengan bahasa yang digunakan warga lokal, akan tetapi subtansi acara ini kurang lebih sama antar satu dengan yang lainnya. Orang-orang – umumnya masyarakat pesisir – melakukan ritual tersebut dengan melarung sesajen ke tengah laut dengan berbagai motif kepercayaan, dua di antaranya yang paling banyak adalah penambahan rezeki dan tolak bala. Akan tetapi, tradisi ini tidak lepas dari kontroversi di mana ia dianggap sebagai praktek syirik sedang sebagian menggapnya adat belaka, tidak merusak agama, bahkan kebaikan yang sepatutnya diwariskan.
Orang-orang yang menggelar sedekah laut sebagiannya meyakini bahwa hal tersebut bukanlah kesyirikan, melainkan upaya berdialog dengan alam dalam rangka mensyukuri Tuhan dengan cara berterima kasih kepada laut atas kekayaan melimpah yang telah dipersembahkannya untuk manusia. Ini didasarkan atas pemahaman pada sebuah dalil dalam Islam bahwa siapa yang tidak berterima kasih kepada sesama makhluk maka dia tidak dianggap bersyukur pada Tuhan. Apakah memang demikian halnya sehingga benar bahwa sedekah laut bukanlah sebuah ritual kesyirikan?
Rasulullah bersabda, “Tidak (dikatakan) bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia.”[1] Hadis inilah yang digunakan oleh penyelenggara sedekah laut sebagai dalih bahwa acara tersebut diajurkan oleh agama. Akan tetapi, teks hadis tersebut menyebutkan ‘manusia’, bukan makhluk secara umum. Apakah kata ‘manusia’ di dalam hadis tersebut hanya simbol yang mewakili seluruh jenis makhluk, atau memang hanya pada manusia kita dianjurkan berterima kasih?
Manusia dalam setiap tindakannya selalu berada di antara dua pilihan, yaitu berbuat baik atau berbuat jahat, termasuk kepada sesamanya. Inilah yang disebut dengan istilah free will atau ‘kehendak bebas’, tentang ini Allah berfirman, “Maka kami ilhamkan padanya (jiwa manusia potensi) keburukan dan (potensi) ketakwaan,” [QS. al-Syams: 8] Oleh karena itu, ketika seseorang berbuat baik kepada orang lain (misal dengan menolong atau memberikan hadia) maka orang tersebut seharusnya berterima kasih padanya atas pilihan tersebut (menolong atau memberikan hadiah) di saat yang sama ia bisa saja memilih untuk tidak melakukannya atau bahkan melakukan sebaliknya (menyakiti, merampas hak atau semisalnya). Di sisi lain, telah dipahami bahwa kebaikan yang diperoleh dari seseorang sejatinya adalah nikmat Allah yang dihantarkan melalui tangannya, maka Allah mempersyaratkan ucapan terima kasih padanya sebagai kesempurnaan syukur atas karunia-Nya
Adapun makhluk lain di bumi ini, tidak ada yang memiliki kebebasan seperti manusia. Semuanya bergerak dalam satu sistem yang dirancang oleh Allah untuk kemasalahatan penghuninya. Samudra sebagai penyedia sumber daya alam raksasa, pegunungan menjadi pancang peredam gempa, dan pepohonan sebagai sumber oksigen adalah beberapa dari tak terhingga elemen di planet ini yang telah ditundukkan untuk kepentingan manusia. Allah berfirman, “Apakah kamu belum melihat bahwa Allah menundukkan segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi untuk kalian, dan mencurahkan atas kalian nikmat-nikmat-Nya yang lahir (terlihat) dan batin (tak terlihat)? [QS. Lukman: 20]
Dengan demikian, dipahami bahwa alam ini bekerja memproduksi kebaikan untuk manusia atas perintah langsung dari Allah, mereka tidak punya pilihan, sehingga tidak perlu berterima kasih pada mereka, melainkan langusng pada Zat yang menundukkan mereka. Laut menyediakan ikan, tetapi tidak perlu berterima kasih pada laut, karena baik ikan maupun laut itu sendiri merupakan hadiah langsung dari Allah, maka jangan berterima kasih pada hadiah, tapi bersyukurlah pada Sang Pemberi hadiah! Ungkapan ‘tidak perlu berterima kasih pada alam’ maksudnya tidak perlu berterima kasih dengan upacara ritual, karena bentuk terima kasih yang sebenar-benarnya pada alam adalah dengan merawat dan menjaga kelestariannya.
Berdasarkan beberapa poin penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa penyebutan ‘manusia’ dalam hadis tersebut bukanlah sebagai simbol yang mewakili seluruh makhluk, melainkan kekhususan untuk manusia. Para ulama juga mengisyaratkan hal yang sama ketika mengomentari hal ini.
Ada juga sebagian orang yang meyakini bahwa sedekah laut hanya salah sarana untuk mengungkapkan syukur pada Tuhan semesta alam sehingga ia adalah ibadah dan bukan syirik. Kesyukuran memang merupakan sebuah bentuk ibadah berdasarkan pengertian Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah bahwa, “Ibadah adalah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun batin.”[2] Oleh karena itu, jika sedekah laut dianggap sebagai ungkapan syukur sedangkan syukur adalah bagian dari ibadah, maka ada setidaknya dua hal besar yang mesti diperhatikan, antara lain:
Pertama, sebuah ibadah harus diungkapkan dengan cara yang tepat sesuai tuntunan syariat. Bahkan sampai ibadah hati semisal mengagungkan Allah pun harus direalisasikan menurut kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya, “Agar Engkau mengagungkan Allah dengan apa yang Dia tunjukkan pada kalian.” [QS. al-Hajj: 37] Begitu pula perihal syukur, atas nikmat laut misalnya, semestinya diungkapkan dengan cara yang benar yakni dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas amal saleh dan memanfaatkan hasil laut pada jalan yang semakin mendekatkan diri pada kecintaan Allah. Adapun menghanyutkan lauk pauk, maka tidak ada contoh maupun isyarat tentangnya sama sekali dalam syariat ini.
Kedua, sebuah ibadah untuk Allah tidak boleh melalui perantara – hal ini telah diuraiakan dalam kitab-kitab aqidah, tidak perlu diulangi – termasuk ungkapan syukur. Oleh karena itu, ungkapan syukur dapat disampaikan langsung kepada Allah tanpa perlu melalui perantara. Dengan demikian, sesajen yang dikirim ke tengah laut sebagai perantara syukur pada Allah yang ada di langit masuk ke dalam kategori syirik, tidak sampai pada Allah malah sampai kepada ‘entitas lain’ sebagaimana firman Allah,
Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami.” Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu. [QS. al-An’am: 136]
Adapun ketika seseorang mendapatkan nikmat kemudian mengungkapkan syukurnya dengan bersedakah pada manusia maka ini sangat berbeda. Bersedakah dengan model tersebut merupakan ibadah mulia karena disamping dianjurkan oleh agama, ia mengandung berbagai nilai kebaikan semisal memberikan manfaat dan menimbulkan kebahagiaan pada diri orang yang disedekahi. Ia juga berbeda dengan ibadah kurban yang agung yang memang telah dicontohkan, bahkan oleh Nabi Ibrahim. Hewan ternak disembelih sebagai wujud ketundukan pada Allah untuk mengorbankan ‘sebagian dunia’ yang dimiliki, kemudian hasilnya dibagikan kepada para fakir untuk dinikmati.
Adapun melarung kepala kerbau, nasi, dan buah-buahan ke samudra sama sekali tidak mengandung kebaikan, tidak bermanfaat bagi laut maupun satwanya, tidak kepada masyarakat, apalagi kepada Allah. Sesajen tersebut justru mencemari air sehingga dapat merusak ekosistem yang ada di dalamnya. Ini termasuk maksiat menurut larangan Allah dalam firman-Nya, “Jangan membuat kerusakan di bumi!” [Qs. al-A’raf: 56] Hal ini juga bahkan termasuk tabdzir atau pemborosan (pelakunya disebut mubazir), salah satu perbuatan tercela menurut firman Allah, “Jangan berbuat tabdzir, karena sesungguhnya orang-orang yang mubazir itu saudara-saudara syaitan” [QS. al-Isra: 27]
Adapun jika seseorang melakukan ritual ini dengan memahami bahwa sesajen itu memang tidak sampai kepada Allah karena memang bukan untuk-Nya melainkan untuk arwah yang ada di laut dengan harapan agar mereka senang sehingga sudih meneruskan pemberiannya dan khawatir mereka murka sehingga menimpakan mereka bala, maka ini syirik akbar yang nyata dengan dalil yang tidak terhitung jumlahnya dalam Quran dan hadis.
Dengan demikian, seyogyanya setiap muslim memanfaatkan dua modal besar – yakni umur dan harta – pada tempat yang memang telah jelas diinginkan oleh Allah. Kewajiban amatlah banyak, bahkan dengan menghabiskan umur pada kebaikan pun belum tentu seluruh kewajiban tertunaikan. Ladang sedekah juga begitu luas, bahkan dengan menyedakahkan seluruh harta pada jalan yang benar pun belum tentu seluruhnya tertutupi. Maka jangan merugikan diri dengan malah menghabiskan umur dan harta pada sesuatu yang tidak bermanfaat bahkan mengandung kesyirikan yang merupakan dosa terbesar. Begitu pula, alasan budaya turun temurun dan atau kekhawatiran akan pengucilan masyarakat tidak sepatutnya menjadi alasan untuk menghalalkan apa yang Allah haramkan sehingga memicu murka-Nya! Allah berfirman tentang bagaimana seharusnya seorang muslim berkehidupan dan mengedukasi orang-orang yang ada di sekitarnya,
Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” Katakanlah: sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (kepada Allah).” [QS. al-An’am: 161-163]
Wallahu a’lam.
[1] HR. Abu Daud dari sahabat Abu Hurairah
2 Al-Ubudiyah, cet. Maktabah Darul Balagh hal. 6