Oleh : Sayyid Fadhlillah
(Ketua Dept. Kajian Strategis PD Lidmi Makassar)
Tidak terasa Ramadhan telah melepas 12 hari kenikmatannya yang tidak lagi akan terulang. Satu kenikmatan tersendiri melaksanakan puasa Ramadhan ditengah sekitar 207,2 juta umat Islam di Negara yang memang menjadi Negara dengan data penduduk Muslim terbesar di Dunia.
Ramadhan, dengan berbagai keutamaannya bak jawaban rindu seorang Ibu yang ditinggal rantau anak satu-satunya. Selain karena rutinitas ibadah yang dijanjikan ganjaran pahala belipat oleh Allah Ta’ala, mungkin juga karena datangnya Bulan suci Ramadhan dengan cara pandang tertentu, itu erat kaitannya dengan hari libur, bazar pakaian murah, live music, dan berbagai jenis makanan yang jarang ditemui di bulan-bulan lainnya.
Terlepas dari dua cara pandang diatas, juga ada fenomena aneh di bulan Ramadhan yang menjamur di masyarakat, khususnya generasi milenial yang penuh euforia dan bangga diri terhadap sikap ikut-ikutan yang membabi buta terhadap life style budaya tertentu yang tidak sekedar kesia-siaan, bahkan sampai pada kemaksiatan. Terasa aneh mungkin karena adanya hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan,
“Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan dibelenggu.” (HR. Bukhari).
Lantas mengapa budaya tidak bertanggung jawab seperti free sex, pacaran, begal, penipuan, berkata kotor atau bahkan tidak berpuasa tanpa halangan yang dibenarkan masih marak ?
Lebih dari itu, bukan sekedar tidak merasa bersalah, tapi juga tanpa malu-malu dan bangga, karena telah berlaku di luar tata nilai Muslimin secara umum.
Lantas setan manakah yang bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan itu ? Apa benar mereka terbelenggu ?
Memang dalam Al Qur’an Allah Ta’ala telah membagi jenis setan menjadi dua, yaitu setan jin dan manusia (lihat Surah An-Naas ayat 4-6).
Di ayat yang lain dijelaskan, “Dan demikianlah Kami jadikan untuk setiap nabi musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan.” (Terjemahan Surah Al-An’am ayat 112), yang menurut Ibnu Qayyim Rahimahullah,
“Maka dalam hal ini setan membisikkan kepada manusia sebuah kebatilan, lalu manusia tersebut membisikkan kebatilan ini kepada manusia yang lain, maka setan-setan dari jenis manusia dan jin keduanya ikut andil dalam menebarkan pengaruh setan dan keduanya ikut serta dalam memberikan bisikan-bisikan. Ayat di atas menganjurkan agar berlindung dari kejahatan dua jenis setan tersebut, yaitu setan dari golongan manusia dan setan dari golongan jin.”
Jika dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam di atas mengindikasikan terbelenggunya setan, namun dengan fakta di lapangan tidak ada orang yang terkenal fasik serta-merta terbelenggu ketika masuk satu Ramadhan, maka teranglah Setan yang tak belenggu itu tetap berkeliaran bebas menebar pengaruh dengan tanpa rasa bersalah dan penuh rasa bangga. Mungkin mereka inilah yang disebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dengan sebutan kaum Mujahir, sebagaimana sabda beliau,
”Setiap umatku akan mendapat ampunan, kecuali Mujahirin (orang-orang yang terang-terangan berbuat dosa). Dan yang termasuk terang-terangan berbuat dosa adalah seseorang berbuat (dosa) pada malam hari, kemudian pada pagi hari dia menceritakannya, padahal Allah telah menutupi perbuatannya tersebut, yang mana dia berkata, ‘Hai Fulan, tadi malam aku telah berbuat begini dan begitu.’ Sebenarnya pada malam hari Rabb-nya telah menutupi perbuatannya itu, tetapi pada pagi harinya dia menyingkap perbuatannya sendiri yang telah ditutupi oleh Allah tersebut”. (H.R. Bukhari 6069).
Maka ketika Ramadhan telah tiba, sementara hasrat bermaksiat itu tetap sama, bahkan serasa peluang semakin besar, maka patut dikhawatirkan bisa jadi setannya adalah kita. []