Setelah sebelumnya kita telah menyampaikan bagaimana perjuangan Hamka hingga akhirnya Hamka dijebloskan ke dalam tahanan kurang lebih selama 3 tahun, tentunya terdapat hikmah yang bisa didapatkan Hamka selama dalam tahanan. Hikmah yang diperoleh Hamka selama dalam tahanan itu ialah terbitnya beberapa buah buku karyanya oleh penerbit di Malaysia; diantaranya Penerbit Pustaka Antara dan Pustaka Melayu Baru. Sebelum itu, Hamka pernah beberapa kali mengunjungi Malaysia dan mengadakan ceramah, baik atas undangan pihak kerajaan ataupun kalangan swasta; dan dengan beredarnya buku-buku seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tasawuf Modern, dan lain-lain, Hamka dikenali dan terkenal di Tanah baik dari kalangan Sultan, para Menteri dan orang-orang dari kalangan partai pembangkang. Berulang kali Hamka diundang ke Malaysia untuk menyampaikan perkuliahan di Universitas, berkhutbah di Masjid atau menghadiri seminar tentang kebudayaan dan kesusastraan.
Hamka dianugrahi Doktor Kehormatan Persuratan dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) pada 8 Juni 1974, yang disampaikan oleh Tun Razak selaku rector Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Dalam pidatonya, Hamka menyampaikan tentang kebesaran Melayu dan kaitannya dengan Islam.
Pemerintah Orde Baru di Indonesia yang dimpimpin oleh Soeharto, tetap menaruh curiga kepada mubaligh, dengan membiarkan kegiatan Hamka mengadakan ceramah dan menerbitkan majalah Panji Masyarakat yang pernah dilarang pada rezim Soekarno. Hamka tidak melibatkan diri dalam berbagai Partai Politik, walaupun berkali-kali dibujuk untuk masuk Partai dan berkampanye untuk memenangkan partai yang berkuasa pada setiap pemilihan umum.
Namun demikian pada tahun 1975, Hamka menerjunkan diri di bidang politik apabila diminta oleh Menteri Agama, Prof. Mukti Ali supaya mendirikan dan menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam pidato saat peresmian Majelis Ulama Indonesia di depan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama, Hamka mengatakan bahwa beliau menerima permintaan pemerintah, agar para ulama memiliki peran mengisi pembangunan negara dari sisi kerohanian. Akan tetapi hal itu tidak berarti membenarkan segala tindakan yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Majelis Ulama Indonesia bagi Hamka ialah ibarat kue bingka. Beliau harus pandai menjaga jarak, karena bila terlalu dekat dengan pemerintah, niscaya hangus; begitu juga bila terlalu dekat dengan rakyat juga bisa jadi hangus. Dengan sikap seperti itu, Hamka merasa tidak terhalang menyampaikan kritikan kepada pemerintah, termasuk kepada Presiden Soeharto sekalipun. Antara lain Hamka menolak keinginan Soeharto agar membenarkan upacara golongan penganut agama peninggalan nenek moyang Indonesia, yang percaya kepada kubur keramat, memuja pohon beringin dan sebagainya.
Hanya selama lima tahun Hamka bertahan menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia. Pada tahun 1980, beliau meletkakkan jabatannya, berhubung terjadinya perbedaan pendapat antara Majelis Ulama Indonesia dengan Pemerintah (Menteri Agama) perihal “Natal Bersama”.
Pada waktu itu, MUI banyak menerima laporan dari daerah-daerah tentang adanya anjuran dan paksaan kepada para tokoh agama mengadakan peringatan hari besar agama secara bersama. Misalnya, Idul Fitr, hari raya umat Islam dirayakan juga oleh orang Nasrani, dan perayaan Natal juga dirayakan oleh para ulama dan pemimpin Islam di gereja. Tujuannya ialah untuk mewujudkan kerukunan umat antar agama, karena pada waktu itu sering terjadi pertentangan di antara umat Islam dan Kristen.
Majelis Ulama Indonesia yang dipimpin oleh Hamka menolak anjuran itu, dengan mengeluarkan fatwa: “Haram bagi Umat Islam mengikuti perayaan Natal di Gereja”. Menteri Agama yang waktu itu dijabat oleh Alamsyah memanggil Hamka serta pimpinan MUI yang lain meminta supaya fatwa itu ditarik kembali. Hamka menolak permintaan itu. Setelah pertemuan itu selesai, Hamka menulis surat kepada Menteri Agama yang isinya menyatakan pengunduran dirinya sebagai ketua MUI.
Beberapa bulan setelah itu, pada tanggal 24 Juli 1981, bertepatan dengan bulan Ramdhan, selesai sholat tarawih di masjid Al-Azhar, Hamka mendapat serangan jantung dan meninggal dunia dalam usia 73 tahun, seteah dirawat beberapa hari di rumah sakit.
Author:
Muhammad Ammar Naufal, S.Pd. (Ketua Pimpinan Wilayah LIDMI Malaysia, Vice President Postgraduate Student Society Faculty of Education (PGSS-FP) Universiti Teknologi Malaysia)