Oleh: Abdul Kahar*
Berbuat baik dalam Islam adalah fardu ’ain bagi setiap muslim. Ia adalah kewajiban yang harus diamalkan setiap saat tanpa mengenal waktu, tempat dan keadaan. Karenanya, seluruh sifat – sifat baik seperti berkasih sayang, peduli, tolong menolong dan lain sebagainya harus terkumpul dalam diri pribadi seorang muslim.
Kasih sayang merupakan identitas wajib seorang muslim. Tanpa kasih sayang maka keindahan agama ini tidak akan mampu menyentuh kehidupan manusia seluruhnya. Hal ini dapat kita lihat dari dalil – dalil naqli dan aqli yang menjadi rujukan mutlak dalam mengeluarkan hukum Islam.
Menanggapi tulisan yang diposting Elastica__ lewat akun instagramnya, dimana Ia mengisahkan seorang wanita muslimah bernama Hesti Sutrisno sedang memelihara 11 ekor Anjing yang ia selamatkan di jalan. Dalam tulisan tersebut, dengan nada halus, Penulis mencoba mengait pembaca melalui interpretasi kasih sayang seorang Hesti kepada Anjing yang ia pelihara dengan dalih bahwa Islam mengajarkan para pemeluknya untuk merawat semua makhluk.
Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama terhadap pemeliharaan Anjing, kami mencoba membedah worldview Hesti Sutrisno dalam memahami dalil yang ia gunakan sebagai alasan dalam memelihara Anjing yang ia dapatkan di jalanan.
Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah subhana wa ta’ala dengan sempurna. Seluruh konsep dalam tataran kehidupan sudah diatur dengan baik. Hanya saja, untuk sampai pada kesempurnaan tersebut, seorang muslim harus memahami dalil – dalil yang ada secara sempurna dengan mengumpulkan dan membandingkan dalil – dalil yang berkaitan pada setiap permasalahan yang ia hadapi.
Contoh kasus pada apa yang dialami oleh Hesti Sutrisno dalam memahami dalil kasih sayang dalam agama. Hesti memelihara Anjing dengan alasan bahwa Islam mengajarkan kita untuk berbuat baik kepada semua makhluk. Mungkin saja, salah satu dalil yang dimaksudkan oleh Hesti adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam At – Tarmidzi rahimahullahu bahwa Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya,
“Kasihanilah siapa yang ada di bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh yang ada dilangit.”
Pada beberapa paragraf sebelumnya, kami sempat menyebutkan bahwa kesempurnaan Islam dapat kita rasakan dengan memahami dalil secara menyeluruh dan mengumpulkan serta membandingkan dalil – dalil yang berkaitan pada setiap permasalahan yang dihadapi.
Apa yang dilakukan oleh Hesti untuk berkasih sayang terhadap hewan peliharaanya mungkin sudah benar. Hanya saja, ada beberapa hal yang terlalu berlebihan dari postingan tersebut. Seperti pada postingan gambar – gambar yang menampakkan tidak adanya batasan muamalah antara dirinya dengan Anjing peliharaannya.
Di dalam Islam, ada dua syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan suatu amalan yang dianggap sebagai ibadah. Pertama, ikhlas dan yang kedua adalah Ittiba’ (mengikuti sunnah nabi). Jadi, setiap kebaikan yang dilakukan oleh seseorang harus disertai dengan keikhlasan dan Ittiba’ kepada sunnah Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa sallam.
Hesti melakukan kebaikan terhadap Anjing peliharaannya dengan ikhlas. Hanya saja, seorang muslim perlu melihat contoh dari Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa sallam sebagai upaya Ittiba’ terhadap sunnahnya. Jadi alangkah baiknya, Sebelum Hesti mengambil hadits tentang kasih sayang, Ia juga harus membaca dalil – dalil terhadap hukum pemeliharaan Anjing. seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi Shallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya,
“Barangsiapa memanfaatkan Anjing, bukan untuk maksud menjaga hewan ternak atau bukan maksud dilatih sebagai Anjing untuk berburu, maka setiap hari pahala amalannya berkurang sebesar dua qirath.” (HR. Bukhari no. 5480 dan Muslim no. 1574)
Pada paragraf sebelumnya kami menyebutkan dalil umum terhadap perintah berbuat baik kepada semua makhluk, sementara dalil kedua adalah pelarangan memelihara Anjing yang tidak bertujuan untuk berburu atau menjaga hewan ternak. Bukankah Anjing termasuk makhluk? Namun, bagaimana dengan dalil yang melarang pemeliharaannya?.
Pada hakikatnya, tidak ada satu pun dalil yang bertentangan di dalam Islam. Hanya saja kita perlu memahami konteks yang dimaksudkan dalam hadits. Apabila seorang muslim diperhadapkan dengan pertentangan dalil maka maka kita perlu menempuh tiga langkah sebelum sampai pada kesimpulan akhir dari dalil tersebut.
Pertama kita perlu mencari tahu mana dalil umum dan mana dalil khusus agar kita tidak salah dalam menempatkan dalil yang kita baca. Seperti pada kasus yang dialami oleh Hesti dimana ia menggunakan dalil umum kemudian melupakan dalil khusus yang menjadi pengecualian dari dalil umum tersebut.
Jadi dalam kasus tersebut, kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada semua makhluk. Namun ada batasan – batasan yang perlu untuk kita lihat dalam berinteraksi kepada orang lain, apalagi terhadap hewan yang sudah jelas kenajisannya.
Cara yang kedua adalah dengan menganalisa mana dalil yang pertama datang dan terakhir datang. Karena dalil yang terakhir akan menghapuskan hukum dari dalil yang datang lebih awal jika kita dapati adanya pertentangan. Metode ini disebut sebagai metode nasakh wal mansukh.
Ketika cara kedua belum bisa dilakukan maka cara yang terakhir adalah mentarjih salah satu dari keduanya melalui proses analisa derajat keshohihan dan kekuatan riwayat dengan teliti dari masing – masing dalil.
Ketiga cara inilah yang harus dilakukan seseorang ketika diperhadapkan dengan dua dalil yang nampak bertentangan secara tekstual. Namun ketika itu sulit untuk kita lakukan maka hendaknya kita menanyakan kepada para Asatidz yang punya otoritas dalam bidang tersebut dan tidak berijtihad pribadi dalam mengerjakan amalan. Karena pemahaman yang keliru terhadap nash – nash yang ada akan berimplikasi pada benar salahnya atau diterima tidaknya setiap amalan. Wallahu A’lam Bishshawab.
*Mahasiswa Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA) Makassar.
Masya Allah artikelnya sangat bermanfaat akhi