A. Pendahuluan
Ratusan ribu ummat Islam mengekspresikan kemarahannya dengan dengan ‘aksi bela Islam’ untuk penjarakan Ahok, pada hari Jum’at (14/10/2016) dan kembali didengungkan seruan nasional ‘Aksi Bela Qur’an’ 4 November 2016 di Jakarta.
Sebagai anak muda muslim, tentu saja saya merasa terpanggil untuk menjwab seruan ini. Terpanggil untuk ikut membela al-Qur’an yang telah dipermainkan. Jika pribadi yang dihina, maka kami harus berlapang dada untuk memaafkan. Tapi jika kitab suci yang kami jadikan pedoman hidup dihina, maka hati mana yang tidak bergetar untuk marah. Ya, kami wajib untuk marah ketika agama kami yang diperolok-olokkan. Tapi tentu saja setiap muslim punya cara tersendiri untuk mengekspresikan kemarahannya.
Saya sebagai mahasiswa muslim yang sedang mendapat kesempatan belajar di negeri para Nabi dan Rasul ini harus marah pada kebodohan, kemalasan dan kemaksiatan yang telah saya perbuat. Saya harus marah untuk bangkit, belajar lebih giat lagi.
Melalui tulisan ini, menjadi salah satu cara saya untuk mengekspresikan kemarahan. Karena tidak bisa ikut berjuang di ibu kota, maka saya menyeru anak muda seluruh penjuru negeri untuk bangkit. Bangkit dari kelalaian, karena kita terlalu asyik dengan gemerlap dunia sehingga sebagian kita telah menggadaikan waktu dan agama demi hawa nafsu. Menyeru adinda para aktivis dakwah untuk semakin giat menyerukan gerakan penyadaran generasi muda dengan ‘tarbiyah islamiyah’.
Jika seluruh elemen ummat Islam benar-benar telah bersatu di tanah air untuk melawan setiap kedzaliman. Melawan ketidakadilan hukum, maka wajarlah jika pakar hukum Prof. Yusril Ihza Mahendra mengingatkan kalau situasi tersebut tidak dikelola dengan baik bisa mengarah kemana-mana dan tidak terkontrol. Bahkan bukan tidak mungkin bisa bermuara ke Presiden.
“Sebagai salah seorang yang berada di pusat pusaran krisis 1998, saya memahami situasi yang kita hadapi sekarang ini serius sehingga perlu ditangani dan disikapi dengan ekstra hati-hati. Namun tetap tenang dan kepala dingin,” ungkap penulis pidato pengunduran diri mantan Presiden Soeharto ini.
“Ini imbauan saya kepada Pemerintah dan siapa saja yang mencintai bangsa ini dan bertekad untuk menjaga serta mempertahankan keutuhannya,” kata Yusril.[1]
- Pengaruh Agama dalam Perkembangan Hukum
Fakta sejarah telah mencatat bahwa agama mempengaruhi perkembangan hukum. Jika agama dan hukum tidak lagi bisa ditegakkan dalam suatu negara maka yang terjadi adalah kekacauan. Ataukah negeri yang kita cintai ini hendak mengikuti kiblat mereka yang ingin memisahkan antara agama dan negara?
اعطوا اذا ما لقيصر لقيصر واعطوا ما لله لله
“Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Injil Markus 12:17)
Perkataan Yesus ini menjadi salah satu faktor utama munculnya pemikiran pemisahan kekuasaan Raja dan otoritas gereja, antara Agama dan Negara. Agama tidak ikut campur dalam urusan politik atau pemerintahan. Sekali lagi, apa kita menghendaki negeri yang tercinta ini menjadi sekular?
Dimana konsep sekular tidaklah dikenal dan sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an.[2]
Syed Muhammad Naquib al-Attas berpendapat bahwa sekularisasi tidak berakar dari ajaran Bibel, tetapi terdapat dalam penafsiran orang Barat terhadap Bibel; It is not the fruit of the Gospel, but is the fruit of the long history of philosophical and metaphysical conflict in the religious and purely rationalistic worldview of Western man.[3]
Sebagai mantan ketua Lembaga Dakwah Kampus di salah satu kampus negeri di Indonesia, kami turut berduka cita jika ada yang mengaku aktivis Islam tapi mulai mempermainkan tafsir al-Qur’an berdasarkan kepentingan hawa nafsu. Tentu dalam tulisan ini kami tidak berkapasitas untuk merinci tafsir al-Qur’an, tapi sekedar menyampaikan kembali bebarapa catatan penting yang telah kami pelajari; Mitwalli Abdel Moemen Mohamed[4] menyebutkan bahwa agama Masehi telah menyisakan pengaruh yang nyata dalam sistem hukum Barat, seperti; Hukum Romawi dan Hukum Inggris.[5] Pengaruhnya baik dalam hukum publik maupun dalam hukum privat.[6]
Tidak bisa dipungkiri bahwa agama mempengaruhi 3 sistem hukum yang berkembang di dunia saat ini; yaitu, hukum Islam/ Syariah (tersebar di negara-negara jazirah arab, Afrika Timur dan Asia Tenggara), hukum Romawi/ Civil Law (dianut dan berkembang di negara-negara Eropa Kontinental; Jerman, Belanda, Prancis, Italia, Amerika Latin dan lain-lain) dan hukum Anglo-Saxon/ Common Law (dianut oleh Inggris beserta jajahannya dan Amerika Serikat -sebagai bekas jajahan Inggris mengembangkan system yang berbeda dari yang berlaku di Inggris meskipun masih dalam kerangka Common Law– ).
2. Pengaruh Agama Islam dalam Perkembangan Masyarakat Arab
Islam itu tidak memisahkan agama dan negara. Islam datang menjadi cahaya penerang bagi masyarakat Arab dan dunia, baik dari sisi akhlak maupun dari sisi hukum. Islam telah membatalkan tradisi dan adat istiadat yang bertentangan dengan prinsip-prinsip agama; seperti system jual beli gharar (mengandung ketidakjelasan, pertaruhan atau perjudian), Riba dan beberapa bentuk pernikahan. Islam juga tetap menyisakan beberapa prinsip-prinsip hukum yang telah berlaku di kalangan Arab sebelum Islam dan tidak bertentangan dengan syariat Islam; seperti beberapa bentuk jual beli, sanksi/hukuman dan diyat/denda. Islam memperkenalkan aturan hukum yang belum pernah ada di kalangangan Arab sebelum Islam datang; seperti warisan perempuan dan system pemerintahan).[7]
Berikut penjelasan sekilas mengenai pengaruh agama Islam dalam masyarakat Arab[8];
- Ilghaa/ Membatalkan segala yang bertentangan dengan syariat Islam; seperti: bentuk-bentuk pernikahan yang sudah lazim di kalangan Arab sebelum datangnya Islam.
- al-Ibqaa/ Menyisakan apa-apa yang tidak bertentangan dengan syariat Islam; seperti: perkawinan seseorang berdasarkan keridhoan bersama, begitupun penampilan sikap ksatria dan akhlak-akhlak yang terpuji.
- Istahdats/ Memperkenalkan hukum yang belum pernah ada di kalangan masyarakat Arab sebelum Islam; seperti: warisan perempuan dan konstruksi teori dan praktik sistem pemerintahan.
3. Pengaruh Agama Masehi dalam Perkembangan Hukum Barat
Agama Masehi mempengaruhi cabang-cabang hukum publik Romawi khususnya pada hukum pidana. Misalnya; menghukum para pelaku ateisme dan murtad, sanksi berat dalam beberapa tindak kejahatan; hukuman eksekusi bagi pelaku incest (hubungan seksual dengan mahram), penjara seumur hidup bagi pelaku zina. Hal itu dikarenakan bertentangan dengan ruh agama Masehi yang datang untuk menebarkan kebaikan diantara manusia. Begitupun agama Masehi berpengaruh dalam hukum privat Romawi. Misalnya; kekuasaan mutlak ayah dalam keluarganya, putusan mengenai perlunya subordinasi perempuan beberapa waktu setelah suaminya wafat dan lain-lain.[9]
Adapun pengaruh agama Masehi dalam hukum Inggris terbatas pada batasan terntetu; meskipun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa hukum agama dan pengadilan gereja mempengaruhi hukum Inggris. Fakta juga menunjukkan bahwa gereja berpengaruh terhadap perkembangan hukum Inggris yang disebut Equity Law. Prinsip-prinsip hukum alam adalah sumber paling penting dari hukum ini, dan hukum alam pada waktu itu becampur dengan prinsip-prinsip hukum gereja.[10]
Dosen kami menjelaskan bahwa Inggris menyangkal pengaruh hukum gereja dalam perkembangan hukum mereka. Mungkin hal itu disebabkan karena rasa takut terhadap pengaruh dan kekuatan para pejuang agama. Mereka juga membantah bahwa telah terpengaruh dengan hukum Romawi dan filsafat Yunani.
B. Agama dan Hukum
Setiap agama berbeda dalam memeberikan pencerahan mengenai kaidah-kaidah yang mengatur hubungan individu dalam pergaulannya. Misalnya dalam agama Kristen, kaidah-kaidah hukum yang ada terbatas pada wilayah pernikahan dan perceraian tanpa ada pengaruh perundang-undangan lainnya dan aturan-aturan muamalah atau transaksi. Oleh karena itu, pendidikan dalam agama Nasrani memberi celupan kasih sayang, harmoni, pertolongan, menghidupkan ruh spiritual dalam hubungan fisik dan perhatian dalam masalah-masalah akhirat tanpa ada aturan hukum mengenai urusan dunia.[11]
Sementara agama Islam dalam perinciannya mengatur hubungan sosial kemasyarakatan yang terjadi antara individu. Di samping itu, memberi perhatian pada kaidah-kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan Rabbnya. Jadi, Islam itu aqidah dan syariah, agama dan aturan hidup. Tidak hanya konsentrasi dalam masalah kaidah-kaidah hukum ibadah saja, tapi juga dalam masalah muamalah seperti masalah finansial. perdagangan, pegadaian, gadai, obligasi, deposito dan lain-lain.[12]
Kaidah syar’iyyah dan kaidah hukum bertujuan untuk mengatur kehidupan individu dalam masyarakat. Akan tetapi, kaidah syar’iyyah jauh lebih kuat, lebih teguh, lebih sempurna sebagaimana kaidah -umum-abstrak- dan mewajibkan individu pada perilaku tertentu. Dalam beberapa aspek, terdapat perbedaan antara kaidah syar’iyyah dan kaidah hukum yaitu[13];
- Aspek sumber
Kaidah syar’iyyah berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla, representasi kemampuan Sang Pencipta dan Kemahasempurnaan-Nya, Keagungan-Nya, Yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Dialah Allah Yang Maha Mulia memberi perintah untuk tidak mengubah atau mengganti dan memang tidak butuh untuk diubah dan diganti meski tempat/negeri dan zaman telah berganti dan terus mengalami perkembangan. Kata Allah ‘Azza wa Jalla:
لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ
“Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah.” (Qs. Yunus: 64)
Sementara hukum bersumber dari pemerintah/ negara/ legislatif dalam rangka perwujudan kemaslahatan dan menghindari mudhorat pada waktu dan tempat tertentu. Tidak bersifat permanen, memungkinkan untuk diubah atau dihapuskan seiring dengan perubahan dan perkembangan di masyarakat. Tentu saja kualitas kesempurnaan buatan Sang Pencipta tidak bisa sama sekali dibandingkan dengan buatan makhluk yang penuh dengan kekurangan.
- Aspek Pelaksanaan
Kaidah syar’iyyah jauh lebih luas cakupannya daripada kaidah hukum, baik itu dari segi subjek, tempat dan waktu. Kaidah syar’iyyah datang untuk seluruh alam tanpa batasan ruang dan waktu. Dapat digunakan oleh seluruh ummat manusia, pada semua zaman dan negara. Sementara hukum dibatasi subjek, waktu dan tempat.
Kaidah hukum itu hanya mengatur hubungan antara manusia dengan yang lainya saja, sementara kaidah syar’iyyah mengatur hubungan manusia dengan Rabbnya begitupun dengan selainnya.
- Aspek Balasan
Balasan dalam kaidah syar’iyyah di dunia dan akhirat dari Allah ‘Azza wa Jalla. Bahkan balasan yang sesungguhnya ada di akhirat. Adapun kaidah hukum hanya menghukumi perilaku dzahir manusia dan tidak bisa menghukum niat semata. Kaidah hukum balasannya hanya di dunia dari negara/ pemerintah.
C. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan singkat di atas, maka sesungguhnya kita bisa menarik kesimpulan bahwa ummat Islam sedang memperjuangkan kemaslahatan besar. Ini sama sekali bukanlah tentang seruan untuk mengubah konstitusi agar negara menetapkan aturan bahwa presiden Republik Indonesia haruslah beragama Islam sebagaimana aturan mayoritas negara-negara muslim yang ada di dunia saat ini. Ini sama sekali bukanlah tentang pemimpin non-muslim yang tidak mungkin memahami kaidah-kaidah syar’iyyah yang menjadi keyakinan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh penduduk mayoritas.
Seruan ini adalah seruan agar agama dan hukum bisa tetap tegak di negeri kita tercinta. Agar penduduk beragama bisa hidup rukun saling menghargai. Indonesia memang bukanlah negara yang menerapkan syariat Islam, tapi Islam telah hidup dan mengalir dalam tubuh Indonesia. Indonesia adalah negara hukum, maka hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu.
Menutup tulisan ini, saya ingin kembali mengenang semangat juang kawan-kawan sekitar 7 tahun lalu waktu masih aktif di kampus di Indonesia menyampaikan peran aktivis dakwah kampus dalam mengawal “cinta, perdamaian dan keadilan” di bumi pertiwi;
Kami Mahasiswa Mahasiswi Indonesia berjanji :
- Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan
- Berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan.
- Berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan.
Hari ini kami aktivis dakwah berjanji; Berjuang mewujudkan tanah air TANPA ADA KEZALIMAN, mewujudkan bangsa yang mampu MENEGAKAN KEADILAN dan ikut berjuang MEMPERSATUKAN UMMAT dengan bahasa tanpa kebohongan apalagi dengan bahasa “dibodoh-bodohi”.
[1] Yusril Ihza Mahendra: Demo Ahok 4 November Bisa Berujung ke Jokowi, Suara Muhammdiyah, diakses dari http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/10/27/yusril-ihza-mahendra-demo-ahok-4-november-bisa-berujung-ke-jokowi/, pada tanggal (27/10/2016 Pukul 10.59)
[2] Penjelasan dari dosen di kelas, mata kuliah “Sejarah Hukum” (24 Muharram 1437)
[3] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: Institute of Islamic Thought and Islamic Civilization (ISTAC), 1414), h. 20.
[4] Salah seorang dosen mata kuliah sejarah hukum yang mengajarkan buku tulisan beliau sendiri “al-Wajiz fi Tarikh al-Qanun” di College of Law and Political Science, King Saud University.
[5] Mitwalli Abdel Moemen Mohamed, al-Wajiz fi Tarikh al-Qanun (Riyadh: College of Law and Political Science – King Saud University, 1437), h. 165.
[6] Sufi Hasan Abu Thalib, Tarikh an-Nadzm al-Qanuniyah wa al-Ijtima’iyyah (Cairo: Dar an-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1420), hh. 178-180.
[7] Mitwalli Abdel Moemen Mohamed, hh. 164-165
[8] Lihat Sufi Hasan Abu Thalib, hh. 161-177
[9] Lihat Musthofa Sayyid Ahmad, al-Ushul at-Tarikhiyah wa Falsafiyah Linadzm al-Ijtima’iyah wa al-Qanuniyah (Cairo: Maktabah al-Jala al-Jadidah bil Manshuroh, 1432), hh. 185
[10] Lihat Sufi Hasan Abu Thalib, h. 180-182
[11] Sulaiman Marqus, al-Madkhal Li al-‘Ulumi al-Qanuniyah (Mesir: Dar an-Nasyr Li al-Jami’at, 1381) hh. 325-326
[12] Khalid bin ‘Abdul ‘Aziz ar-Ruwaisi dan Razak bin Maqbul ar-Rayes, al-Madkhal Lidirasah al-‘Ulum al-Qanuniyah (Riyadh: College of Law and Pollitical Science, 1436) h. 50
[13] Fuad Abdul Mun’im Ahmad, al-Madkhal Li al-Adzimah wa al-Huquq Fi al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’udiyyah (Riyadh: Naif Arab University for Security Sciences, 1425), hh. 18-20