Oleh : Sayyid Fadhlillah
(Kadept. Kajian Strategis PD LIDMI Makassar)
Anak Negeri, telah lenyap senyuman mu terganti oleh tatap manis nan serius pada kawan baru mu yang berlayar dan menyenangkan. Tidak lagi ada tanya jawab imajimu tentang cita-cita, tidak terdengar lagi ungkap sayang dan gambar belepotan cerminan rasa terima kasih kepada kedua orang tuamu.
Apa sebenarnya yang salah darimu ? Benarkah engkau yang salah ? Lantas di mana letak kesalahanmu wahai anak negeri ? Orang tuamu, telah terlontar nasehat lembut menurut pengalaman alam tempatmu dibesarkan, terlibat pula insting pembelaan diri pribadinya dengan sentuhan kurang lembut agar engkau jera dengan perbuatanmu, telah dibayar gedung yang dikelola oleh beberapa pekerja untuk mendidikmu, lantas apa yang salah denganmu ? Benarkah engkau yang salah ? Atau pantaskah engkau disalahkan wahai anak negeri?
Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, persentase anak Indonesia mencapai angka 32,24 % dari total 258 juta penduduk negeri ini, atau setara dengan jumlah 83 Juta lebih. Tentu ini bukan angka yang kecil untuk diabaikan.
Dalam Islam sendiri Anak dikategorikan sebagai salah satu investasi paling besar seorang muslim pasca kematiannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam,
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim).
Bahkan dengan anak yang tumbuh, berpikir, berperilaku baik dan benar sebagai hamba Allah dalam diri dan bermasyarakat, kedua orang tuanya akan menempati tempat lebih tinggi dari yang seharusnya di sisi Allah yang menguasai setiap keinginan dan takdir manusia.
Dengan realita telanjang yang terjadi hari ini, di mana pendidikan secara umum telah mudah diakses oleh berbagai strata sosial, lantas benarkah dengan rentetan data bertabel atas prestasi pendidikan di negeri ini mampu menenangkan hati yang peka, akal yang sehat, dan kejernihan pandangan mata setiap kita yang menjadi bagian dari rentetan data bertabel yang disuguhkan untuk menegaskan generasi kita baik-baik saja ?
Salah satu hal yang diminta oleh Allah Ta’ala terhadap orang tua adalah memberi perhatian lebih atas anak hasil karya teladan adab. Ilmu yang membentuk cara pandang anak-anak mereka terhadap Allah, Rasulullah, Ad-Diinul Islam, serta cara pandang mereka terhadap sukses dan kebahagiaan. Rezeki yang halal yang mereka makan dan pakai.
Allah Ta’ala telah mengingatkan,
“Dan hendaklah orang-orang takut kepada Allah, bila seandainya mereka meninggalkan anak-anaknya, yang dalam keadaan lemah, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar”. (Terjemahan Qs. An-Nisa’: 9)
Masa kecil adalah masa emas dimana orang tua memiliki peran sentral untuk menentukan arah karakter, kesuksesan, dan kualitas bakti mereka dimasa depan. Maka orang tua memang berkewajiban untuk berkesiapan secara mental, pemikiran, dan Ilmu untuk menjadi orang tua. Bahkan sebelum itu, juga dituntut untuk berilmu atas fungsinya sebagai suami dan istri.
Tidak heran maka Abu Aswad Ad-Du’ali, seorang alim yang juga berkontribusi merumuskan kaidah ilmu nahwu. Ia berkata kepada anaknya, “Wahai anak-anakku, aku telah berlaku baik terhadap kalian pada saat kalian masih kecil sampai besar, bahkan sebelum kalian dilahirkan”. Anak-anaknya pun berkata, “Bagaimana ayah berbuat baik sebelum kami lahir? Ad-Duali menjawab, “Aku telah mencarikan untukmu sosok seorang wanita yang dapat merawat, menjaga dan tidak membuat kesulitan bagimu”.
Sosok Ibu memang merupakan unsur terpenting sebuah generasi, bahkan arah perbaikan sebuah bangsa. Saking sentralnya sosok seorang ibu bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam menekankan bahwa bakti seorang anak kepada ibunya adalah tiga kali lipat atas ayahnya, dan berlipat-lipat dari guru, sanak keluarga lainnya, dan teman-temannya.
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari).
Maka dari keistimewaan di atas sejalan dengan tanggung jawab besar seorang ibu. Muhammad Qutb Rahimahullah mengatakan,
“Dalam anggapan Islam, wanita bukanlah sekadar sarana untuk melahirkan, mengasuh, dan menyusui. Kalau hanya sekedar begitu, Islam tidak perlu bersusah payah mendidik, mengajar, menguatkan iman, dan menyediakan jaminan hidup, jaminan hukum dan segala soal psikologis untuk menguatkan keberadaannya… Kami katakan mengapa ‘mendidik’, bukan sekedar melahirkan, membela dan menyusui yang setiap kucing dan sapi subur pun mampu melakukannya”. Karena menurut beliau lebih lanjut, “Seorang anak yang rusak masih bisa menjadi baik asal ia pernah mendapatkan pengasuhan seorang ibu yang baik. Sebaliknya, seorang ibu yang rusak akhlaknya, / memiliki karakter yang buruk hanya akan melahirkan generasi yang rusak pula akhlaknya”.
Tentu ada masa-masa di mana seorang anak akan mengenali eksistensi kedewasaannya, bahkan kadang kala terpuruk karena pergaulan yang ia pilih, namun hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan karena “Pendidikan Islami yang terinternalisasi dengan baik, akan membuat sang anak lekas bangkit dari keterpurukannya mengingat petuah-petuah rabbani yang pernah terekam dalam memorinya.” (Muhammad Qutb Rahimahullah).
Itulah mengapa yang dihancurkan pertama kali oleh Barat adalah wanita Muslimah,”Mungkin terasa ganjil bagi kita, mengapa Yahudi sebagai bangsa yang pongah begitu takut dengan perempuan? Jawabannya sederhana: membiarkan seorang wanita tumbuh menjadi solihah adalah alamat “kiamat” bagi mereka. Jika seorang ibu yang solehah bisa mengasuh 5 anak muslim di keluarganya untuk tumbuh menjadi generasi mujahid. Kita bisa hitung berapa banyak generasi yang bisa dihasilkan dari 800 juta perempuan muslim saat ini ? (Muhammad Qutb Rahimahullah).
Lantas di mana peran seorang Ayah ?
Dalam Al Qur’an telah dijelaskan bahwa posisi seorang Ayah atas Istri dan anak-anaknya adalah sebagai Qawwamah (Lihat Qs. An-Nisa:34), pembagian fungsi Qawwamah mencakup 5 aspek :
Pertama adalah Tiang. Semua orang tentu sudah paham apa itu dari fungsi tiang. Fungsi tiang yakni sebagai tempat untuk menyokong, menyanggah, memperkuat, atau bahkan tempat untuk bersandar jika anda lelah. Kurang lebih seperti itulah fungsi suami bagi istrinya. Jika sebuah keluarga dikatakan kuat tentu tiangnya ( ayah / suami ) pun pasti kokoh.
Kedua adalah Penolong, Pengurus. Seorang pemimpin memang harus mengurusi semua urusan yang terjadi dalam wilayah kepemimpinannya, meskipun tidak terjun secara langsung, paling tidak pemimpin tersebut tahu apa yang terjadi dalam wilayahnya.
Ketiga Pencari nafkah. Bahwasannya seorang suami wajib menafkahkan sebagian rezekinya. Dalam ini disebutkan hanya sebagian, tidak seluruhnya. Adapun jika istri terpaksa harus bekerja karena kebutuhan ekonomi, maka hal itu hanyalah sebagai amal sholih dari istri dan bukan menjadi kewajiban bagi istri. Untuk itulah diperlukan pembagian tugas antara suami-istri. Karena menurut hadist, sebaik-baik amalan yang dilakukan wanita adalah yang didalam rumah.
Keempat mengayomi, Melindungi,Mengasihi.
Kelima Adil dan harus Stabil. Adil dan stabil yang dimaksudkan adalah dalam pemutusan suatu perkara. Dalam suatu riwayat, Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu adalah sahabat yang paling ahli dalam perkara memutuskan hanya dengan ilmu. Putuskanlah masalah jika sudah mendengar dari kedua belah pihak.( QS Annisa : 35 ).ˡ
Maka dengan peringatan hari anak sedunia 23 Juli, sudah sepatutnya kita merenungi kembali fungsi-fungsi strategis orang tua dalam Islam sebagaimana di atas, karena miris rasanya ketika Negeri dengan mayoritas Muslim ini justru kehilangan kebanggaan dan kepercayaan dirinya atas karunia anak-anak yang di amanahkan Allah Ta’ala kepada kedua orang tuanya.
Telah sering kita mendengar tragedi durhakanya seorang anak terhadap kedua orang Tuanya. Namun jarang kita mengangkat, kedurhakaan orang tua atas anaknya, yaitu seberapa benar dalam pandangan syariat kedua orang tua itu menjalankan amanahnya sebagai orang tua.
Karena baik saja tidak cukup, tetapi ia juga harus benar, sementara kebenaran dalam hal ini hanya terpancar dari mata air Ilmu. Terdengar sulit, namun kesulitan itu justru sebagai bukti betapa jauhnya umat Islam dari pengenalan utuh atas agamanya, maka dari itu tidak ada satu agama pun yang mewajibkan setiap penganutnya untuk menuntut Ilmu selain Islam. “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah).
ˡ Kutipan ceramah Ustadz Budi Ashari “Rumah ku Madrasah ku”