Hampir semua rambut di kepala dan wajahnya telah memutih. Umurnya yang sudah udzur diabdikannya menjadi pelayan rumah Allah, masjid. Masjid al-Istiqomah, adalah nama masjidnya. Terletak di Kabupaten Labuhan Batu, Kota Rantau Prapat, Sumatera Utara. Berjarak 6 jam perjalanan dengan kereta api dari kota medan.
Beliau memutuskan menjadi marbot masjid setelah umur dan fisik yang tidak memungkinkan lagi untuk bekerja sebagaimana umumnya. Anak beliau yang berjumlah delapan orang telah menikah semua dan telah dikaruniai 20-an cucu.
Ia bernama Pak Ginto. Begitu ia akrab disapa. Lahir 66 Tahun yang lalu dan kemudian mendapat hidayah untuk bergabung dalam jamaah dakwah di PERSIS Rantau Prapat di awal-awal tahun 90-an. Beliau bukan siapa-siapa, bukan orang yang berpengaruh secara secara ekonomi dan status sosial. Satu-satunya penghasilan beliau adalah gaji Marbot yang diistilahkan dengan Nazir Masjid sebanyak 900 Ribu Rupiah setiap bulannya.
Dalam satu kesempatan beliau menceritakan bagaimana dakwah di Kota Rantau Prapat berkembang. Bahkan beliau merasakan bagaimana Jam’iyyah PERSIS Labuhan Batu di tahun 1990-an sangat berkembang. Pengajian-pengajian ramai dimana-mana, hingga beliau menikmati masa mudanya menuntut ilmu dengan bersepeda ke majelis-majelis ilmu. Jarak yang jauh tak menghentikan langkah beliau, meski puluhan kilometer.
Lahir dari keluarga yang tidak punya status sosial-ekonomi yang mapan di awal-awal masa kemerdekaan, beliau menjadi pen-deres karet di Kampung Serambingan. Dengan pekerjaan itu ia menafkahi empat anak dan seorang istri. Namun, sekitar 12 Tahun lalu ia kehilangan istrinya, Sania, karena penyakit diabetes dan sempat menduda. Tak lama, ia kembali menikah dengan seorang janda yang bernama Supiah. Bersamanyalah ia saat ini mengurus masjid. Ia kemudian berpindah untuk mencari penghidupan yang lebih layak ke Sungai Piandang dengan membuka hutan. Disana ia bertani. Setelah 10 tahun, ia memutuskan untuk pindah ke Rantau Prapat hingga memiliki lahan 4 rantai (1 rantai 400 m2 ) yang kemudian dibagi-bagi menjadi rumah anak-anaknya yang telah menikah di Gang Kenari, Rantau Prapat.
Diantara Ustadz-Ustad yang dikenal dizaman itu adalah Ust. Bustami Nasution, Ust. Daud Bulungan (Allahu Yarham), Ust. Suroto Hambali, dan Ust. Mitra Siddiq. Sebagaimana dakwah sunnah yang lain. Bersama para da’i yang gencar mendakwahkan kemurnian islam, jam’iyyah PERSIS kerap mendapatkan perlawanan dari masyarakat. Tak jarang insiden pelemparan rumah, terror atau hinaan dan cercaan bagi para da’i dapatkan. “Rumahnya Pak Suroto yang depan Masjid itu Pernah dilempari, waktu pengajian”, tutur Pak Ginto bernostalgia. Meski demikian, sunnah semakin berkembang dan dikenal oleh masyarakat hingga tidak lagi begitu asing.
Akan tetapi seiring waktu, beliau juga mengakui bahwa layaknya jantung pisang, dakwah juga akan mengalami fase penurunan. Lambat laun, para dai tersebut mulai berumur bahkan meninggal, namun karena proses kaderisasi yang tidak berlanjut menyebabkan krisis da’i. Para muballigh mulail bekrurang, dan akhirnya jam’iyyah PERSIS di kota ini pun mulai mengalami surut. Yang ada adalah generasi-generasi binaan yang berlatar belakang pendidikan umum, sehingga kepakarannya dalam ilmu agama tidak begitu mumpuni. Pak Ginto menyebutkan, “Kita disini seperti anak ayam yang kehilangan induknya”. Masih ada beberapa jamaah dan pengurus, namun yang mereka butuhkan adalah sosok da’i yang memiliki kafa’ah keilmuwan agama yang memadai.
Tersangkut Pinjaman Bank
Sebagaimana dakwah yang lain. Berdakwah dikalangan masyarakat awwam yang banyak melakukan ritual-ritual tertentu membuat para dai tidak begitu direspon. Apalagi sebagian besar mereka tidak punya pekerjaan tetap. “Hidup di PERSIS itu miskin”, ucap beliau sambil tersenyum. Sebab kebanyakan ritual-ritual di masyarakat dianggap ‘bernilai ekonomis’. “Habis ceramah, tahlilan, takziyah dapat amplop lah..”, dalam logak Medan, Pak Ginto bertutur. Berbeda dengan dai PERSIS, mereka sangat menghindari acara-acara seperti demikian, bahkan mendidik masyarakat untuk lebih mencintai amalan wajib seperti shalat berjamaah disbanding ritual-ritual yang sekedar formalitas tersebut. Akibatnya mereka banyak yang hidup pas-pasan.
Mungkin salah satunya adalah Pak Ginto sendiri. Selain alasan fisik dan usia, yang membuat beliau tidak mampu lagi bekerja keras, beliau pun tidak melakukan beberapa ritual yang ramai di masyrakat Rantau Prapat.
Hal tersebut kemudian berdampak pada kondisi rumah beliau. Dibangun puluhan tahun yang lalu dan tanpa pernah direhabilitasi membuat rumah beliau terlihat kumuh. Atap-atap yang bocor setiap hujan. Bahkan menurutnya sudah seperti saringan. “Kalau di dalam rumah kita nengok ke atas, langit itu keliatan ustadz”, ungkap pak Ginto. Sehingga beliau berinisiatif untuk memperbaiki rumahnya. “saya terkadang malu ustadz kalau liat rumah, ada tamu datang”, kata Pak Ginto.
Namun keinginan untuk memperbaiki rumah itu harus kandas karena kondisi ekonomi yang tidak memadai. Ingin meminjam uang masjid pun, kas masjid tidak begitu banyak untuk mencukupi biaya perbaikan rumah beliau yang dianggarkan sekitar 10 jutaan.
Kenyataan yang membuat beliau tidak punya pilihan lain, kecuali berhutang di Bank Konvensional. Ia kemudian meminjam di bank dan mencicil 500 ribu setiap bulannya. Sehingga honor nazir yang beliau terima bersihnya hanya 400 ribu yang diberikannya kepada istrinya, Supiah. “Ya yang dimakan Cuma 400 ribu itu ustadz, tidak ada yang lain”, tutur pak Ginto. Bahkan biaya perbaikan dari Bank pun tersebut belum termasuk biaya pengerjaan. Sehingga beliau sendiri yang harus mengerjakan perbaikan rumahnya bersama dengan anak-anaknya. “Nanti panggil anak-anak saja ustadz”, ucapnya sambil tersenyum.
(Syamsuar Hamka, Dai Atase KBSA di Rantau Prapat, Kab. Labuhan Batu, SUMUT. Bagi yang ingin berdonasi untuk beliau silakan hubungi WA 085343995377)