Oleh: dr. Syukri Mawardi (Departemen Kajian Strategis PP Lidmi)
Pendahuluan
Beberapa hari terakhir, pidato presiden Joko Widodo yang menjelaskan tentang peningkatan kualitas pendidikan UEA yang “mengimpor” rektor asing memunculkan kontroversi. Masalah ini lalu dikonfirmasi langsung kepada Menteri Riset, Teknologi dan Pendidkan Tinggi, M. Nasir. Beliau selaku menteri yang berwenang kemudian membenarkan hal tersebut. “Presiden sampaikan kepada saya jalan terus pak Menteri, era kita era kompetisi”. Begitu kata beliau sambil memberikan isyarat bahwa presiden pun juga mendukung program tersebut (Kompas, 5 Agustus 2019)
Isu ini kemudian menyebar dengan cepat. Praktisi pendidikan, pihak kampus secara kelembagaan, aktivis pendidikan, hingga organisasi mahasiwa juga ikut memberikan pandangan dengan wacana tersebut. Ada yang pro tapi tentu tidak sedikit yang kontra. Ditengah kualitas pendidikan kita yang masih minim, anggaran pendidikan tinggi yang terbatas, anggaran penelitian dan akses yang terbatas hingga kualitas luaran (output) pendidikan tinggi kita yang masih jauh dari harapan akhirnya kembali memunculkan dialektika baru, apakah kebijakan “mengimpor” rektor asing adalah solusi untuk pendidikan Indonesia yang lebih berkualitas?
Latar belakang Masalah
Dalam harian kompas tanggal 30 juli 2019, Menteri Riset, teknologi dan Pendidkan tinggi, M Nasir menyebutkan setidaknya ada empat alasan mengapa “impor” rektor asing itu perlu dilakukan. Alasan tersebut adalah
- Merupakan hal yang lumrah dilakukan di perguruan tinggi negeri. Dia mencontohkan perguruan tinggi di Eropa dan Singapura yang terdekat menurutnya.
- Impor rektor asing itu dilakukan untuk akselerasi rangking dunia
- Pendidikan kualitas dunia. Nasir menyampaikan bahwa dengan rektor luar negeri dan dosen luar negeri akan meningkatkan rangking perguruan tinggi Indonesia.
- Peringkat 100 dunia. Menurut Nasir, ini adalah target yang harus diberikan kepada rektor asing tersebut, jadi bukan sekedar datang ke Indonesia lalu tidak memiliki target apapun.
Analisis Masalah
Dari pembacaan kita dan wawancara di beberapa media televisi, kita paling tidak bisa menyimpulkan bahwa ada beberapa alasan utama mengapa rektor asing itu harus didatangkan ke Indonesia. Dari alasan itulah kita akan coba memberikan tanggapan kritis sehingga wacana yang rencana akan dilaksanakan 2020 ini bisa dipertimbangkan atau bahkan dibatalkan jika tidak sesuai dengan semangat pendidikan kita di Indonesia.
Menurut M. Nasir, “impor” rektor asing adalah hal lumrah dilakukan diluar negeri. Sebenarnya ini adalah alasan yang tidak fundamental untuk diajukan karena hal yang lumrah diluar negeri belum tentu juga bisa kita terapkan dalam sistem pendidikan kita di Indonesia.
Akselerasi Rangking Dunia
Alasan ini sangat esensi dan perlu kita eksplore lebih jauh karena terkait kualitas pendidikan dan juga tentu terkait dengan masa depan suatu bangsa. Akan tetapi pertanyaan kritisnya adalah apakah dengan mengganti rektor maka penerbitan buku, jurnal, penelitian terapan, kualitas lulusan dan fasilitas akan semakin baik? Kita semua tahu jawabannya, tentu tidak.
Kita sepertinya masih terjebak dengan banyak kepentingan dalam kebijakan ini. Bukti kecil saja, wacana ini diajukan baru kemudian dianalisis, menunggu respon, dipelajari. Jadi hanya melempar isu saja. Kalau banyak yang protes ditunda, kalau tidak ada yang protes maka dilanjutkan. Semuanya mengalir tanpa hasil riset dan analisis mendalam khas Universitas.
Sebagai contoh dalam hal penerbitan jurnal. Kita semua sangat mengetahui (atau mungkin kita berpura-pura tidak amnesia) bahwa yang paling berperan penting dalam penerbitan jurnal adalah dosen atau mahasiswanya, bukan rektornya. Kenapa? Ya jelas karena pelaksana teknisnya adalah mereka (dosen dan mahasiswa). Kalau begitu, bukan daya saing rektornya yang harus diupgrade akan tetapi kulitas dosen dan mahasiswanya untuk menerbitkan jurnal yang berkala dan berkualitas.
Selain itu, kekurangan fasilitas dan kesediaan dana penelitian yang terbatas di pusat-puasat penelitian kampus di Indonesia sudah menjadi rahasia umum. Itu juga salah satu alasan utama para peneliti dan akademisi handal kita di luar negeri berpikir-pikir untuk kembali ke Indonesia. Mengapa kurang? Ya tentu kementrian Ristekdikti yang paling mengetahui jawabannya.
Jadi, sebenarnya untuk hal ini justru pemerintah sendiri (kementrian Ristekdikti) yang harus “introspeksi diri dalam menyiapkan seluruh fasilitas dan akses dana yang dibutuhkan untuk peneliatian advenced atau terapan bukan rektornya yang harus impor.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah tidak ada SDM kita yang qualified untuk memimpin kampus tempat dimana SDM unggulan itu dicetak? Kita punya banyak dan kita tidak bisa memungkiri itu. Kita harus dengan sangat jujur mengakui bahwa sumber daya manusia kita berkualitas kita tidak bertahan di dalam negeri karena budaya politik kita yang tidak memberikan kesempatan kepeda SDM unggulan untuk berdaya saing di negeri sendiri, tapi faktor politik (nepotisme) akhirnya menjadikan mereka tak berdaya saing di negeri sendiri. Ini rahasia umum dan ini harus kita bongkar paradigmanya. Sekali lagi, jawabannya bukan dengan mengimpor rektor asin
Dari pada kita sibuk mengimpor rektor alangkah lebih baik jika memenggil seluruh SDM kita yang berkarir di luar negeri dengan mentereng. Memanfaatkan dan memberdayakan diaspora akan lebih baik dari pada memberdayakan “barang asing (lagi).
Terakhir, untuk menentukan kualitas pendidikan harusnya kita bukan hanya berkaca pada rangking dunia dimana kriterianya hanya berlandaskan kepada kriteria empirik. Dalam tujuan pendidikan kita dalam UUD disebutkan bahwa tujuan pendidikan kita adalah untuk menciptakan manusia unggulan yang bertqwa dan beriman kepada Tuhan yang Maha Esa. Inilah tujuan esensi pendidikan kita, sangat mulia.
Tujuan pendidikan nasional dalam UUD 1945 (amandemen) pasal 31 ayat 3 menyebutkan “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimananan dan ketakwaan serta akhlaq mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang”. Kemudian dalam UU no.12 tahun 2012 pasal 5 yang menyebutkan empat tujuan pendidikan tinggi yang semuanya tidak hanya mengakselerasi anak didik dikampus yang berilmu tapi berharap bahwa tujuan pendidikan kita bisa melahirkan mahasiswa yang beriman dan bertakwa, berilmu yang diamalkan, ilmiah dan berakhlak yang baik. Tentu menyedihkan bahwa Menristekdikti tidak memasukkan poin ini sebagai bahan evaluasi utama mengapa perlu rektor asing itu di “impor”. Ataukah memang kita sadar bahwa rektor asing tak mampu memenuhi tujuan utama penddidikan kita yang berdasarkan UUD? Sekali lagi, impor rektor asing bukanlahlah solusi tepat.
Kesimpulan
- Dari hasil kajian yang kami paparkan diatas, maka kami PP LIDMI menyatakan bahwa menolak wacana “impor” rektor asing ke sistem pendidikan tinggi kita karena alasan yang telah kami sampaikan. Menurut kami, kebijakan itu tidak akan menyelesaikan masalah pendidikan kita yang paling fundamental tapi justru hanya akan menambah masalah baru.
- Jika pemerintah serius ingin meningkatkan kualitas pendidikan tinggi bangsa kita yang berdaya saing global, pemerintah harusnya introspeksi diri melihat ke lapangan bahwa betapa fasilitas penelitian dan akses kita sangat minim dan terbatas. Jadi, jawaban dari masalahnya jelas bukan mendatangkan rektor asing
- Jika pemerintah ingin meningkatkan kualitas pendidikan tinggi maka kami memberikan masukan yaitu dengan memberikan akses sekolah kepada dosen-dosen dan mahasiswa lebih banyak untuk menimba ilmu di tempat-tempat terbaik sesuai jurusan masing-masing (walaupun memerlukan dana yang sangat besar). selain itu, menciptkan suasana pendidikan kita yang jauh dan bebas dari intervensi, dinamika politik praktis yang hari ini begitu banyak merusak tatanan berbangsa dan bernegara kita
- Paling penting dari usulan ini adalah bahwa kami mengingatkan pemerintah untuk kembali kepada tujuan awal dan paling asas pendidikan itu dilaksanakan. Bukan hanya melihat hasil diatas kertas tapi sesuai denagan amanat UUD kita, pendidikan yang harus kita perjuangankan adalah pendidikan tinggi yang mampu melahirkan manusia-manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berkualitas daya saing tinggi dan berakhlak luhur.