Oleh : Sayyid Fadhlillah (Ketua Departemen Kajian Strategis (Kastra) Lidmi Makassar)
Syaikh Abul Waqthi Abdul Awwal (1065-1160 M) pernah menceritakan, bahwa ketika umurnya belum genap sepuluh tahun, ia menempuh perjalanan dengan jalan kaki mencari hadits shahih bersama ayahnya, Syaikh Isa bin Syu’aib Rahimahullah Ajma’in, dalam perjalanan itu para petani dan orang-orang yang bertemu dengan mereka mengatakan “Wahai syaikh, biarkan kami membonceng anak kecil itu dan juga anda sekalian” Syaikh Isa menjawab, “Aku berlindung kepada Allah, jika harus berkendaraan dalam mencari Hadits-hadits Rasulullah SAW. Tidak, biarkan kami berjalan saja, jika anak ini lelah, aku akan meletakkannya di atas kepalaku demi memuliakan hadits Rasulullah…”
Kisah singkat di atas, mencerminkan betapa tingginya dedikasi generasi pendahulu umat Islam terhadap cabang ilmu Hadits, bukannya para ilmuan hadits ini tidak memiliki kendaraan, namun karena berwibawahnya tujuan yang hendak mereka capai, sehingga membuat mereka malu dan merasa sepantasnya tidak mengambil jalan mudah untuk tujuan mulia tersebut.
Tidak sampai hanya penghormatan akan tujuan tersebut, para Ulama hadits juga tidak serta merta membenarkan Hadits-hadits yang mereka dapatkan dalam perjalanan-perjalanan penuh dedikasi tersebut.
Pengkategorian hadits Dhoif misalnya, jika ia maudu’, maka orang itu terindikasi pernah melakukan rekayasa atas nama Rasulullah SAW, entah itu untuk tujuan kebaikan ataupun keburukan, atau Hadits yang diriwayatkan mengalami kontradiksi dengan Al Qur’an dan Indra Manusia atau karena alasan lainnya.
Begitupula Hadits Dhoif yang martuk, ia dinyatakan hadits yang ditinggalkan, karena dicurigai orang tersebut seorang pendusta, dikarenakan perbuatan kesehariannya, sebagaimana Imam Bukhari Rahimahullah, ketika melemahkan hadits seorang rawi, hanya dikarenakan rawi tersebut memanggil kuda kepunyaannya dengan wadah makanan yang kosong.
Mengingat motivasi awal tersusunnya cabang keilmuan yang super rumit ini, yang termaktub dalam Qs. Al Hujurat 49:6 “Wahai orang-orang beriman, jika ada seorang faasiq datang membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menyesal atas perlakuan kalian”
Bahaya dalam arti salah menimpakan keburukan dalam bentuk fisik dan lisan, adalah sama bahayanya dengan salah dalam memuji, meneladani dan mencintai sesuatu secara berlebihan tanpa penelitian secara sehat.
Tidak berhenti pada cabang Ilmu Hadits, metodologi Tabayyun juga dipergunakan untuk meriwayatkan sejarah (syajarah), Biografi Tokoh, dan cabang keilmuan lainnya. Ini sangat berbeda dengan metodologi penyusunan sejarah (History) di barat, yang hanya mengandalkan pendekatan filologi dan justifikasi filosofis.
Kecenderungan ini, membuat generasi terdahulu menjadi generasi yang penuh dedikasi dan keseriusan dalam menuntut ilmu, serta berkesadaran penuh dalam menerjemahkan realitas kehidupan yang senantiasa membutuhkan kemampuan para Ulama, pemimpin dan cendekiawan dalam pengelolaan masyarakat yang dipandu oleh Wahyu.
Dengan realitas berbeda yang tergambar dari umat Islam hari ini, tentu menghadirkan pertanyaan, apa yang membedakan kita dengan para pendahulu kita, sebagai mahasiswa, peduli atau tidak peduli, sadar atau tidak sadar, kita akan terpapar banyak persepsi tentang realitas, entah itu yang sifatnya terburu-buru penuh semangat, emosional membara, skeptik, ataupun model bijak cari aman.
Sebab kekacauan individu dan kelompok umat Islam dalam menyikapi realitas, serta langkah strategis yang dipilih, salah satunya mungkin diakibatkan oleh hilangnya budaya Tabayyun (penelitian mendalam).
Kemungkinan juga karena keterburu-buruan yang mengakibatkan keinginan instan mengetahui, mengomentari, dan mempublish informasi, berita, dan analisis para pakar. Iya, sebelum Viralitasnya mendingin dan nilai popularitas generasi haus apresiasi ini tidak lagi tercapai.
Apakah budaya Viralisme ini sepenuhnya buruk ? seharusnya tidak, karena budaya Viralisme ini juga memiliki dampak yang sangat besar terhadap persoalan yang membutuhkan tanggapan serta penanganan cepat, seperti bencana alam, keterdesakan individu atau kelompok, penistaan Agama, dan hal-hal pokok yang wajib diketahui umat Islam terkait masalah-masalah Aqidah, ibadah dan Mu’amalah yang dibutuhkan saat itu juga ketika telah berstatus baligh.
Apakah demi alasan menghindar dari keragu-raguan (terindikasi syubhat) kita meninggalkan realitas yang eksis melancarkan pengaruhnya ? Apakah tragedi ini merupakan fenomena sosial biasa ? Lantas bagaimana kita menyikapi budaya Viralisme ini secara adil dan beradab ?
Umur kita yang singkat memang akan terasa kesingkatannya jika kita mengetahui fungsi kita yang utama untuk beribadah (Qs. Adz Dzariat : 56) dan menjadi pemakmur dimuka bumi (Khalifah, Qs. Al Baqarah : 30), tanpa kesadaran ini, kita akan ekstrim pada satu sisi dan meninggalkan sisi yang lain, dan yang lebih parah, adalah saling mencurigai dan menghujat satu-sama lain, sebagai sesama muslim yang meninggalkan keseimbangannya.
Mengafirmasi kemalasan untuk menuntut ilmu secara serius dan sistematis, dengan menjustifikasi sesuatu itu syubhat atau bukan, tetapi mengambil peran aktif menshare keinstanan headline berita online, ragam artikel, dan meme potongan ayat dan hadits tanpa penjelasan dari ulama yang otoritatif, jelas adalah kontradiksi pribadi yang sebenarnya ingin berilmu dengan tempo yang sesingkat-singkatnya.
Disisi lain, kecendrungan untuk meninggalkan dakwah individu atau berkelompok untuk kepentingan menghindari fitnah, memang merupakan suatu anjuran pada keadaan tertentu, namun justru tajam terhadap para da’i dan aktivis yang terjun untuk melakukan kewajiban Dakwah atau membentengi pemikiran umat dari penyimpangan yang eksis secara kolektif, kiranya juga tindakan yang tidak jujur, jika alasannya hendak menghindari fitnah.
Selanjutnya, apakah budaya Viralisme ini merupakan fenomena sosial biasa ? Ternyata tidak, perpindahan masyarakat dari ketergantungan pada ulama/akademisi/Sastrawan dan buku-buku karangan mereka, ke pemanfaatan media sosial, aneka film/sinetron/FTV dan Fashion tidak lepas dari kritik panjang para akademisi Postmodern terhadap pola hidup modern, ditambah kepentingan luar negeri negara yang mengambil keuntungan melalui budaya POP seperti Korea Selatan.
Terkait budaya KPOP misalnya, Geun Lee dari Universitas Nasional Seoul berpendapat bahwa “setidaknya ada lima jenis soft power yang dibedakan berdasarkan tujuan penerapannya. Kelimanya adalah soft power untuk menciptakan gambaran negara yang aman, untuk mendorong bantuan keamanan dari negara lain, untuk memanipulasi cara berpikir masyarakat, untuk memelihara persatuan negara, dan untuk meningkatkan dukungan terhadap pemerintah. Semua jenis di atas menggunakan cara-cara yang halus dan simbolik untuk menguatkan posisi suatu negara di dunia internasional, seperti pemikiran, budaya, pendidikan, dan simbol nasional” (Geun Lee, A Theory of Soft Power and Korea’s Soft Power Strategy, hlm. 4)
Apa yang akan hadir di benak Anda ketika mendengar istilah “Korea Selatan”? Jika pertanyaan itu diajukan sebelum tahun 2000-an, mungkin jawaban yang paling banyak diberikan terkait dengan Perang Korea 1950 dan perseteruannya dengan Korea Utara. Sebelumnya, tidak banyak orang yang mengenal negara itu meskipun Korea Selatan terus tumbuh menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia (Regina Kim, South Korean Cultural Diplomacy and Efforts to Promote the ROK’s Brand Image in the United States and Around the World (Summer 2011), hlm. 124)
Pengenalan image lewat serial drama dan K-Pop tersebut tentu saja berimbas pada meningkatnya minat terhadap Korea Selatan. Semakin menjamurnya studi Bahasa Korea di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, penyelenggaraan beberapa konser penyanyi K-Pop yang penontonnya selalu membludak di Indonesia dan meningkatnya wisatawan dari Indonesia yang berkunjung ke Korea Selatan (http://kto.visitkorea.or.kr/…/…/keyFacts/visitorArrivals.kto (diakses pada 17 Juni 2014 pukul 23.10)
Budaya KPOP hanya salah satu bentuk dari hegemoni pemikiran Postmodern, dimana “Postmodern unik karena ia menjangkau bukan kelas elite saja, tetapi kelas masyarakat biasa, masyarakat yang terbiasa dengan budaya pop dan media massa” (Stanley J. Grenz, Etos Postmodernisme, 36)
Postmodernisme merupakan “Pemilik konsep pengetahuan dan konstruksi sosial atas selera dan gaya. Tidak perlu berpikir keras untuk menyadari pentingnya manipulasi media dalam pembentukan konsep tentang apa yang gaya dan tidak dalam pikiran konsumen…” (Dr Zaprulkhan, Epistemologi Postmodernisme, 308)
Jelas, untuk mengambil langkah proposional dizaman penuh fitnah ini, dibutuhkan pemetaan ideal antara peran dan fungsi para Ulama’, kurra (pembaca), pemikir/intelektual, para orator (khatib), pemberi nasehat (Ustadz), dan Pemimpin (Fiqh Tamkin, Dr Ali M. As Shalabi, 346) Kolaborasi apik dan saling menyadari peran dan fungsi masing-masing, semoga menjadi arus deras perbaikan umat secara kolektif.
Wallahu a’lam Bish Showab