Oleh: Arfan S.S (Ke-LDK-an PP Lidmi)
Suatu bangsa dalam jumlah yang sangat besar ditindas terus menerus dalam waktu lama, benar-benar akan tiba pada titik mereka bersatu untuk melawan. Tidak akan ada yang kuasa menghalangi mereka untuk merongrong penguasa yang umumnya hanya berjumlah segelintir, meskipun mereka kaya raya. Ini sangat logis dan amat mudah dipahami raja zalim semisal Firaun. Kekhawatiran ini bertambah kuat dengan sebuah mimpi, ia menyaksikan api melahap kerajaan Mesir yang takwilnya adalah seorang pemuda Bani Israil akan lahir membawa keruntuhan dominasi orang-orang Qibthi.
Demi melanggengkan kuasa, dia menempuh setidaknya dua hal: Pertama, menyembelih setiap bayi laki-laki demi mencegar resiko sejak dini. Para tentara memotong urat leher mereka namun sama sekali tidak mampu memotong takdir Allah. Musa lahir juga bahkan diasuh oleh keluarga Firaun sendiri dalam kisah yang telah masyhur. Kedua – dan inilah bahasan kita – dia memecah belah Bani Israil demi mencegah mereka bersatu menggalang kekuatan.
اِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِى الْاَرْضِ وَجَعَلَ اَهْلَهَا شِيَعًا
“Sungguh, Fir‘aun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah” [QS. al-Qashash: 4]
Ibnu Jarir dalam tafsirnya tentang ayat ini meriwayatkan dari Mujahid bahwa, “Berpecah-belah artinya berkelompok-kelompok.” Maka mereka tidak berdaya apa-apa hingga akhirnya Musa mempersatukan dan Allah meruntuhkan Firaun dengan cara-Nya sendiri.
Pada dasarnya perpecahan umat terjadi secara alami lantaran hawa nafsu berupa perebutan kedudukan, beranak pinak dengki, hasad, dan saudara-saudaranya. Tidak ada yang menikmati hasilnya melebihi pengusung kezaliman. Mereka – orang-orang zhalim – kebal dari serangan apapun kecuali dari para ulama yang menyuarakan kebenaran. Namun bagaimana halnya jika ulama yang diharapkan tersebut malah sibuk menyerang satu sama lain?
Setelah hawa nafsu – faktor pertama dan internal perpecahan – ditundukkan dengan kelapangan dada dalam berkompromi, muncullah secercah harapan untuk bersatu. Tentu orang-orang zalim tidak akan diam membiarkan, mereka akan hadir – sebagai faktor kedua dan eksternal – untuk menyulut sumbu dan meledakkan apa saja yang bisa mereka ledakkan, berupa isu, fitnah, dan aneka syubhat (kesamaran), ledakan yang kepulan asapnya membuat mata perih sehingga sulit menikmati indahnya persatuan, domba-domba siap diadu. Maka kembalilah umat seperti sediakala: menyangka gurunya saja yang benar sehingga yang lain tidak boleh di dengar, manhajnya sendiri yang lurus sehingga haram bagi seorang penuntut ilmu keluar ke pengajian lain. Mereka berkuasa penuh di masjid masing-masing dan merasa nyaman di dalamnya, kemudian kezaliman berkuasa penuh di jalan, sekolah, kampus, pasar, serta gedung parlemen dan istana pemerintahan, dan merasa nyaman di dalamnya.
Maka secerdas-cerdas alim adalah yang sanggup mendetailkan ikhtilaf mazhab namun mampu merangkum bahwa Islam adalah satu jua. Sehebat-hebat penceramah adalah yang mengupas fikih dan menambal ukhuwah. Sebaik-baik dai adalah yang matanya melek akan perbedaan namun lisannya tak pernah bosan pada seru persatuan.