Oleh : Sayyid Fadhlillah
(Koord. Dept. Kajian Strategis PD Lidmi Makassar)
Indonesia sebagai Negara majemuk, memang menuntut adanya kesepakatan nilai untuk mengakomodir keragaman yang hidup di masyarakat.
Narasi keberagaman memang senantiasa menjadi narasi yang sifatnya debatable. Jikapun ditanya, maka standar nilai Pancasila adalah standar aman dari segala tata nilai yang dianggap menyimpang, baik dari nilai radikalisme maupun konservatisisme.
Namun, Pancasila sampai saat ini pun belum memiliki tafsir yang disepakati bersama, entah benar netral Agama (sekuler), ataukah berdasarkan fakta sejarah, teryata tidak lepas dari nilai-nilai agama. Lebih dari itu, kita juga dihadapkan dengan istilah populer sebagaimana pancasila yaitu toleransi.
Secara faktual, nilai agama adalah nilai yang berakar kuat dihati sanubari dan kebudayaan Indonesia. Maka wajar jika istilah toleransi dijadikan Kontrol penerapan nilai sebagai hak dari keberagaman.
Namun, kembali pertanyaannya adalah, siapa yang harus bertoleransi dengan siapa? ataukah kita harusnya saling bertoleransi? ataukan toleransi hanya alat untuk melanggengkan nilai-nilai yang sebenarnya anti agama dan tidak mengambil manfaat dari sejarah?
Sebagai suatu keharusan, Islam sejatinya tidak memiliki embel-embel yang menegasikan praktik penerapan syariat Islam baik ibadah, muamalah, dan praktek kebudayaan yang tidak bertentangan dengan syariat.
Maka embel-embel seperti Islam Nusantara, Islam Fundamentalis, Islam Rahmatan lil ‘alamin, Islam Kiri dan embel-embel lainya tidaklah dibutuhkan.
Karena jika benar memperjuangkan dan percaya dengan kesakralan suatu nilai keberagamaan, barang tentu konsep saling mengisi (komplementer) lebih dibutuhkan, apatah lagi dengan paham Tauhiidi sebagai representasi dari persatuan Nilai-nilai kebaikan yang menghasilkan Ukhuwah Islamiyah.
Embel-embel yang disematkan oleh tokoh-tokoh di nusantara dalam praktek keberislaman, jika ditelisik, justru banyak mengadopsi pandangan-pandangan yang notabene dari barat, yang cenderung subyektif dalam memandang Islam.
Istilah Islam Fundamentalis adalah istilah yang sering digunakan oleh para orientalis, juga pemikir-pemikir sayap kanan (konservatif) di Barat seperti Bernard lewis, S.P Huntington, dan Francis Fukuyama.
S.P Huntington dalam bukunya The clash of civilization mengatakan, “Retorika perang ideologis Amerika dengan komunisme militan telah dipindahkan ke perang agama dan budaya dengan Islam Fundamentalis.”
Entah bagaimana standar Huntington mengklaim kelompok Islam tertentu sebagai Islam Fundamentalis, dijelaskan dibagian lain dalam buku yang sama dengan mengatakan, “Bangsa Amerika memandang kelompok-kelompok fundamentalis Islam, atau lebih luas Islam politik, sebagai musuh…”.
Standar seperti ini tentu sangat tidak adil, mengingat Islam sebagai Diin telah lengkap panduannya dalam segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan politik, yang erat kaitannya dengan tujuan-tujuan syariat (maqashid syari’ah), yaitu penjagaan terhadap darah, harta, nasab, kehormatan dan keamanan masyarakat.
Menurut Syed M. Naquib Al Attas, bagi barat kebenaran fundamental dari agama dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relative diterima. Tidak ada suatu kepastian. Konsekuensinya adalah penegasian Tuhan dan akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan dimanusiakan
Jika standar nilai Pancasila dan Toleransi yang ditawarkan, justru menjadi alat kontrol praktik keberislaman agar sesuai dengan nilai-nilai sekularistik, maka secara aposteriori dapat disimpulkan bahwa cara pandang sebagian tokoh cendekiawan terhadap praktek keberislaman yang dinilai radikal adalah cara pandang netral agama (sekuler) yang justu bertentangan dengan Nilai-nilai pancasila yang menjunjung tinggi nilai ketuhanan, serta mengikat nilai-nilai kemanusiaannya dengan nilai adab dan keadilan, dan bukan nilai-nilai universal sekuleristik. []