Salah satu tantangan da’wah umat Islam ialah pemurtadan, terutama dari kalangan umat Kristen. Sejak gerakan missionaris dicetuskan oleh Peter de Venerable, kegiatan-kegiatan misi berjalan kian massif. Di Indonesia, para misionaris tidak segan-segan meninggalkan kehidupan kota. Mereka rela menetap di kampung-kampung terpencil demi ‘mengabarkan firman Tuhan’. Dana ‘pewartaan injil’ juga sangat tidak sedikit. Oleh karena itu, masing-masing gereja, baik gereja-gereja mainstream maupun gereja sesat, berpacu memperbanyak jemaat. Sebagai negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim, ‘domba-domba tersesat’ yang akan mereka ‘tuntun ke jalan Tuhan’, sebagian besar tentu saja umat Islam.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih akrab dengan sebutan Buya HAMKA, seorang ulama kenamaan negeri kita, telah mewanti-mewanti upaya pemurtadan ini. Dalam karya monumentalnya, Tafsir Al-Azhar, HAMKA menjelaskan maksud ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) untuk mengkafirkan kembali orang-orang yang telah beriman sekaligus menerangkan solusinya. Berikut ini akan kami salinkan tafsir Buya HAMKA, yaitu ayat 109 dan 110 surah Al-Baqarah. Mudah-mudahan kita dapat mengambil ibrah dalam rangka menjaga aqidah umat dan membendung arus pemurtadan.
“Sukalah kebanyakan dari Ahlul Kitab itu kalau (dapat) mereka mengembalikan kamu sesudah iman menjadi kafir, karena dengki dari dalam diri mereka sesudah nyata kepada mereka kebenaran. Maka beri maaflah mereka dan biarkanlah, sehingga Allah menunjukkan kuasa-Nya. Sesungguhnya, Allah atas tiap sesuatu adalah Mahakuasa.”
“Dan dirikanlah oleh shalat dan keluarkanlh olehmu akan zakat; dan apa pun yang kamu daulukan untuk dirimu dari kebaikan, niscaya akan kamu dapatlah dia di sisi Allah; sesungguhnya Allah adalah melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 109-110)
Sekarang, karena belum lepas dari rangka peringatan kepada kaum yang beriman tentang sikap menghadapi Ahlul Kitab, datang lagi ayat untuk menjelaskan lagi.
Tadi di ayat 105 sudah dijelaskan bahwa Ahlul Kitab dan musyrikin tidaklah bersenang hati kalau Allah menurunkan kebaikan kepada kaum yang beriman. Kalau mereka tidak senang, atau tidak suka kaum beriman dianugerahi Allah kebaikan, apakah kiranya yang mereka senangi?
“Sukalah kebanyakan Ahlul Kitab itu kalau (dapat) mereka mengembalikan kamu sesudah iman menjadi kafir, karena dengki dari dalam diri mereka, sesudah nyata kepada mereka kebenaran”. (pangkal ayat 109)
Maka, kalau baru tidak suka jika kaum beriman beroleh kebaikan, belumlah begitu berbahaya. Tetapi kalau mereka telah mulai berusaha gar kamu kembali menjadi kafir, ini sudah lebih berbahaya. Kalau semata-mata tidak suka kaum beriman mendapat kebaikan, itu namanya masih pasif. Tetapi kalau sudah berusaha menarikmu kembali ke dalam suasana kekafiran, itu namanya sudah mulai aktif. Artinya, sudah mulai dijadikan usaha. Perasaaan hati mereka tidak mereka benamkan lagi, tetapi telah dijadikan rencana. Yang menjeadi sebab yang pokok ialah karena dengki. Hal itu wajib, sewajib-wajibnya oleh kaum yang beriman, supaya tetap awas dan waspada. Dan hendaklah senantiasa kamu perdalam imanmu, perkuat agamamu. Kalau imanmu bertambah kuat, uasaha mereka itu tidaklah akan berhasil. Hanya orang yang bodoh yang akan suka mengganti kembali Allah Yang Maha Esa dengan berhala atau dengan kemegahan dunia yang fana. “Maka beri maaflah mereka dan biarkanlah, sehingga Allah menunjukkan kuasa-Nya”
Sebab, orang yang beriman sejati tidaklah akan mempan oleh usaha Ahlul Kitab itu mengkafirkan mereka kembali. Iman kepada Allah adalah nur, sedangkan pendirian yang mereka ajak kembali supaya dipakai itu ialah zhulumat (gelap). Cobalah perhatikan nanti bagaimana Allah memperlibatkan kuasa-Nya; bagaimana gagalnya usaha mereka. Dengan sikap mereka mengajak kembali kepada yang gelap itu, mereka sebenarnya telah menentang kehendak Allah, yaitu Allah yang menguasai seluruh langit dan bumi. Mereka yang kafir itu hanya memandang yang di sekliling mereka saja. Mereka tidak memandang jauh dan tidak mau insaf bahwasanya pendirian yang salah dan batil yang mereka pertahankan itu akan hancur. Dan itu hanyalah soal waktu belaka. Orang yang beriman dierpintahkan Tuhan supaya membiarkan mereka, artinya jangan gelisah. Tuhan memesankan, “Beri maaf mereka!” Sebab mereka itu bodoh; jangan kamu lekas marah. “Dan biarkanlah mereka.”
Sebab di dalam perjuangan menegakkan kebenaran di hadapan kebatilah, yang akan memang ialah barangsiapa yang lebih panjang nafasnya. Biarkanlah mereka sebab segera mereka akan kehabisan tenaga dan aka lalu berhenti dengan sendirinya. Pada waktu itu, kamu akan melihat betapa Allah memperlihatkan kuasa-Nya. Jangan kamu terpesona oleh gelagak buih ketika hari banjir! Banjir akan segera reda dan buih akan hilang disirnakan angin.
“Sesungguhnya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Mahakuasa.”
Tuhan Allah yang menguasai langit dan bumi yang begitu besar dan luas pada pandangan kita manusia. Maka bagi tuhan Allah yang kafir itu hanyalah sekelumit soal kecil saja.mudah sajalah bagi-Nya memutarkan keadaan. Kadang-kadang daripada yang tidak disangka-sangka. Dan, itu selalu terjadi dan telah beberapa kali dialami oleh Rasul saw. Dan setiap orang yang beriman. Ingatlah bagaimana orang Quiraisy berusaha hendak mengepung Rasul dan hendak membunuhnya. Ingatlah kisah kejadian-kejadian kecil yang terjadi seketika beliau bersembunyi di dalam gua. Kekuasaan siapa yang menghambat mata mereka sehingga mereka tidak merungkukkan kepala di pintu gua sehingga mereka tidak melihat Rasul dan sahabatnya Abu Bakar yang tengah sembunyi, sedangkan Rasul dan Abu Bakar melihat kaki-kaki mereka hingga lutut? Oleh sebab itu, yang amat penting ialah memperteguh hati sebab benteng keIslaman dan keimanan itu wajib diperteguh. Maka untuk memperteguhkannya ialah,
“Dan dirikanlah shalat.” (pangkal ayat 110)
Selama ibadah shalatmu masih tegak, selama suara adzan masih berdengung memenuhi udara, shalat jamaah masih berdiri, jumat masih rama dikunjungi dengan shafnya yang teratur, tidaklah ada satu usaha Ahlul Kitab itu yang berhasil sebab shaf umat beriman itu rapat dan teguh. “Dan keluarkanlah akan zakat.” Artinya, janganlah bakhil Mu’min yang kaya, mengeluarkan harta membantu orang yang miskin, sebab miskin itu adalah pintu kepada kufur. Asal perut berisi kadang-kadang orang tidak keberatan menjual agamanya. Bukan saja zakat yang wajib, malahan segala sedekah, hadiah, dan hibah tandanya hati murah, demikian juga memberikan harta benda untuk pembangunan segala usaha menegakkan agama, jangan ditahan-tahan, “Dan apapun yang kamu dahulukan untuk dirimu dari kebaikan, niscaya akan kamu dapatilah dia di sisi Allah.”
Artinya, jika diberi Allah rezeki di zaman sekarang ini, keluarkan terlebih dahulu sekarang juga. Ini namanya telah dikirimkan terlebih dahulu untuk persiapan diri sendiri di hadapan hadhrat Allah; semuanya tidak akan hilang sia-sia. Semuanya kelak akan engkau dapati kembali di sisi Allah. Lebih baik kirimkan harta itu terlebih dahulu dari sekarang sebab hartamu yang sebenarnya ialah telah engkau belanjakan. Kalau engkau bakhil, engkau tahan-tahan harta itu sementara engkau hidup ini, kelak jika engkau mati, tidaklah ada faedahnya buat kamu sama sekali. Maka kekuatan beribadah shalat, mengeluarkan zakat dan kemudian mengeluarkan harta benda, itulah dia pokok penting di dalam menangkis serangan Ahlul Kitab yang selalu berusaha keras memutar haluan hidupmudari Islam kembali menjadi kafir itu.
“Sesungguhnya, Allah adalah melihat apa yang kamu kerjakan.” (ujung ayat 110)
Dengan berusaha terus dan bergiat terus menunjukkan dan mengamalkan iman, merapatkan hubungan dengan Allah dengan mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat bagi merapatkan hubungan sesama sendiri, maka usaha mereka hendak mengkafirkan kamu kembali niscaya akan gagal. Allah selalu melihat bagaimana kegiatan kamu.
Itulah tafsir Buya HAMKA atas ayat 109 dan 110 surah Al-Baqarah. Tafsir dua ayat ini jelas menunjukkan solusi atas berbagai gerakan pemurtadan. Penting dicatat, ternyata upaya mengkafirkan umat Islam tidak dimulai pada zaman kita. Gerakan missionaris tidak bermula setelah era perang salib. Memang benar, pada kurun moderen, gerakan missionaris bermula tatkala umat Kristiani menyadari kelemahan mereka dalam berhadap-hadapan dengan umat Islam secara militer. Akan tetapi, tetap penting diketahui bahwa makar mereka sudah bermula sejak kurun awal Islam, sejak Rasulullah masih ada di tengah-tengah umat Islam, saat peradaban Islam masih sedang dibina.
Jika kita mencermati pemaparan HAMKA atas dua ayat ini, nampak jelas bahwa beliau sangat menaruh perhatian pada upaya merapatkan barisan umat Islam sendiri. Buya menekankan, jika adzan masih terus memenuhi udara, jika shalat masih tetap ditegakkan, jika shaf kaum Muslimin tetap rapat, jika umat Islam masih saling bahu-membahu, menginfakkan harta dan tidak bakhil, maka segala upaya mereka untuk mengkafirkan umat Islam tidak akan pernah berhasil. Selama umat Islam memperbaiki hubungan dengan Allah dengan cara mendirikan shalat, selama umat Islam merapatkan hubungan dengan sesama dengan cara menginfakkan harta, maka selama itu pula shaf mereka tetap rapat, benteng pertahanan mereka tetap kokoh, tidak akan pernah mampu dijebol oleh siapapun.
Dalam tafsirnya di atas, Buya menyebutkan kata ‘shaf’. Ternyata shaf ini bukan hanya dapat dipahami sebagai shaf dalam kehidupan, yaitu sikap tolong-menolong di antara umat Islam. Shaf juga dapat dipahami sebagai shaf shalat. Jadi umat Islam harus merapatkan shaf shalat. Artinya, umat Islam harus menggalakkan shalat berjamaah. Shalat berjamaah tidak boleh terputus, tidak boleh dilalaikan. Sebab shalat berjamaah inilah simbol dari persatuan umat. Jika kaum Muslimin sudah dapat menegakkan shalat secara berjamaah, kita harapkan urusan lain pun dapat dikerjakan secara berjamaah, bahu-membahu, saling menguatkan satu sama lain, bukan saling melemahkan.
Satu hadist yang patut menjadi pelajaran bagi kita semua, yaitu pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap mengimami para sahabat radhiallahu ‘anhum. Rasulullah senantiasa berpesan, la takhtalifu fa takhtalifa quluubakum. Janganlah kalian bercerai-berai, maka Allah akan mencerai-beraikan hati-hati kalian. Maka pemahaman sebaliknya ialah, hendaknya jamaah merapatkan shaf. Hendaknya umat Islam mempertemukan kaki dengan kaki, lengan dengan lengan, pundak dengan pundak. Jangan sampai shaf shalat kita jarang-jarang dan bengkok agar hati kita tetap satu dan barisan kita tetap lurus. Dan memang terbukti, kalau seorang diantara kita memiliki sedikit rasa permusuhan dengan saudara kita, hendaknya kita shalat tepat di sampingnya. Sentuhkan kaki kita dengan kakinya, lengan kita dengan lengannya, dan pundak kita dengan pundaknya. Setelah shalat, jangan lupa menyalaminya meski tanpa berkata-kata. Insya Allah tidak akan ada seorang Muslim, sesedikit apapun kadar keIslamannya dan sebesar apapun kebenciannya pada kita, yang menolak kita shalat di sebelahnya.
Hikmah dari shaf shalat berjamaah di dalam masjid, jika mampu kita bawa keluar Masjid, niscaya kita akan tetap tahan terhadap segala makar. Demikian pula zakat yang berulang kali disandingkan dengan perintah shalat, jika diamalkan, umat kita akan mampu keluar dari kemelaratan hidup. Kaum dhuafa di kalangan kita tidak perlu lagi menukar agama hanya karena persoalan perut dan kebutuhan uang lainnya. Jika dua hal ini kita amalkan, seperti nasehat Buya HAMKA, kita tidak akan goyah sedikit pun. Layar bahtera tetap terkembang, samudera kita arungi, gelombang kita lalui, dan suatu saat kita akan berlabuh dengan selamat. Dengan shalat dan zakat, iman umat Islam akan tetap terjaga sampai akhir menutup mata. Insya Allah.
Karangnyar, 23 Februari 2016
Penulis : Wahyudi Husain (Anggota Departemen Kajian Strategis PP Lingkar Da’wah Mahasiswa Indonesia)