MAKASSAR – Ketua Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI) Indonesia Timur, KH M Said Abd Shamad, sangat mengkhawatirkan paham sesat semacam Syiah kian merasuk dan merusak pemahaman mahasiswa di setiap perguruan tinggi.
“Apa jadinya kalau semua kampus sudah dimasuki Syiah. Mahasiswa kita mau jadi apa? Astagfirullah!” ujar Kyai Said dari atas panggung seusai pelaksanaan Diskusi Ilmiah “Syiah Dalam Kajian” yang bertempat di lantai 5 gedung Fakultas Kedokteran Kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI), Jalan Urip Sumoharjo, Kota Makassar, Ahad (22/1/2018).
Acara yang diselenggarakan UMI bekerjasama dengan Asosiasi Profesor Indonesia (API), Asosiasi Dosen Indonesia (ADI), dan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) Sulawesi Selatan, itu menghadirkan Ketua Komisi Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Profesor Mohammad Baharun; Sekretaris Umum MUI Sulsel, Profesor Muhammad Galib, dan Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Profesor Ahmad M. Sewang.
Rektor UMI Makassar, Profesor Masrurah Mokhtar, dalam sambutannya, mengatakan diskusi bertema Syiah sengaja dihadirkan melihat fenomena dan kian maraknya pembicaraan seputar Syiah.
Kendati demikian, ia menyadari bahwasanya membahas masalah Syiah sangat sensitif, sehingga butuh kehati-hatian.
“Menetapkan tema saja dalam acara ini pun mengalami perubahan berkali-kali karena kami terlalu berhati-hati,” kata Masrurah.
Sementara itu, Ahmad M Sewang, dalam pemaparannya, dengan mengutip pernyataan Ketua Umum PB NU Said Aqil Siraj dan mendiang mantan Presiden Indonesia, Gusdur, menyebut ajaran Syiah tidak sesat dan termasuk Islam sebagaimana halnya Sunni. Lalu, dianggapnya, NU dan Syiah terlalu banyak persamaan.
“NU itu Syiah minus Imamah, dan Syiah itu NU plus Imamah,” tuturnya, yang mengutip pendapat Gusdur.
Ahmad Sewang mengatakan, setiap persamaan ada perbedaan.
Begitu pula sebaliknya, setiap perbedaan pasti ada persamaan.
Dia mencontohkan mengenai paham Syiah dan Sunni, serta ormas Islam NU dan Muhammadiyah.
“Dari sini, saya ingin mengatakan; saya bukan NU, juga bukan Muhammadiyah. Juga bukan Syiah dan Sunni. Tetapi saya adalah Islam,” ucap Ahmad Sewang.
Adapun Mohammad Baharun mengamini apa yang disebut Ahmad Sewang sebagai perbedaan.
Namun, ia menegaskan bahwa perbedaan dalam hal aqidah tidak bisa ditolerir dan harus diamputasi.
Dalam kesempatan itu, ia memaparkan secara gamblang perbedaan mendasar antara aqidah ahlus sunnah dengan penganut paham Syiah, termasuk soal keimamahan dan perbedaan pokok di dalam ajaran Islam.
“MUI membawahi cukup banyak ormas Islam yang penekanannya pada persatuan dan meninggalkan perbedaaan yang sifatnya furu’ (cabang). Perbedaan itu suatu keniscayaan. Tapi untuk perbedaan yang sifatnya mengarah kepada kesesatan, itu harus diamputasi,” tegas Mohammad Baharun.
Muhammad Galib sendiri menekankan tentang perlunya membangun ukhuwah Islamiyah.
Dia mengatakan, jika ummat Islam yang beraqidah ahlus sunnah tidak bisa membangun ukhuwah Islamiyah dengan penganut Syiah, maka bisa dengan ukhuwah basyariyah dan ukhuwah wathaniyah.
Dialog yang awalnya dipandu Guru Besar UIN Alauddin Profesor Hamdan Juhannis itu, berlangsung cukup alot dalam sesi tanya jawab.
Misalnya saja saat DR Andi Aladin, yang merupakan pengurus ADI Pusat dan DDII Sulawesi Selatan, dan sekaligus dosen UMI, yang menyoroti Ahmad Sewang lantaran kebanyakan mengutip pernyataan tokoh dan tidak berbicara tentang sejarah Syiah sesuai dengan judul materi yang seharusnya ia bawakan.
Kepala Laboratorium Riset Teknologi Kimia Fakultas Teknik Industri UMI tersebut juga secara gamblang menyebutkan bahwa empat imam mazhab; Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali, sangat menentang ajaran Syiah.
“Bahkan Imam Malik mengatakan jika Syiah disebutkan orang yang ada keimanan dalam dirinya semestinya bersikap jengkel,” ucap Andi Aladin.
Dia melanjutkan, munculnya Syiah tidak lepas dari peranan seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba menyusup ke Islam.
Di antara agenda Syiah, kata Andi Aladin, membangkitkan sentimen kepada para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wassalam, seperti Abubakar, Umar, Utsman, dan seolah membela Ali bin Abi Thalib serta ahlul bait berlebih dan sangat tidak masuk akal.
Di sesi tanya jawab itu, seorang dosen UMI lainnya, yang mengaku pengagum karya-karya pentolan Syiah, Jalaluddin Rakhmat, menyampaikan Syiah tidak jauh berbeda dengan ahlus sunnah.
Sehingga, kata dia, tidak seharusnya terjadi saling salah menyalahkan dan kafir mengkafirkan.
Pada akhir diskusi, bergemuruh harapan peserta diskusi agar UMI menjadi benteng kokoh kampus yang bermanhaj Ahlusunnah Wal Jamaah (ASWAJA).
Sumber: Forum Penggiat Media Islam (Forpemi) Sulsel