Oleh: Arfan, S.S (Anggota Ke-LDK-an PP Lidmi)
Pembahasan cadar sejatinya telah tuntas. Para ulama termasuk empat mazhab sepakat bahwa ia adalah bagian dari syariat. Ikhtilaf yang tersisa hanya pada pembahasan: apakah ia sunnah (anjuran) atau wajib? Namun belakangan ini ada pihak yang masih menganggapnya bukan bagian dari agama alias budaya belaka, sehingga pemakaiannya – menurutnya – tidak ada sangkut pautnya dengan ketakwaan seseorang. Uraian fikih yang panjang lagi mendetail telah ada, silakan merujuk buku-buku fikih, tidak perlu mengulangi semuanya di sini hanya untuk menjawab tuduhan yang nampak amat dipaksakan agar masuk ke dalam tema radikalisme, logika sederhana pun sudah cukup.
Cadar adalah Syariat, Bukan Budaya.
Jika para ulama telah menjelaskan bahwa niqab (cadar) adalah perintah agama – entah sebagai sunnah atau kewajiban dengan berbagai nash – maka dengan sendirinya ini telah menjadi keterangan yang jelas bahwa ia bukan budaya semata. Masyarakat tidak membutuhkan dalil untuk menerapkan sebuah budaya, selama tidak bertentangan dengan syariat itu sendiri. Allah berfirman tentang para wanita:
وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَـٰهِلِيةِ ٱلۡأُولَىٰۖ وَأَقِمۡنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ
“Jangan kalian ber-tabarruj seperti tabarruj-nya orang-orang jahiliyah sebelumnya, dan dirikanlah shalat!” (QS. al-Ahzab: 33)
Allah melarang tabarruj, sedang tabarruj adalah kebiasaan para wanita untuk memamerkan kecantikan di khalayak umum. Jika cadar adalah budaya Arab saat itu, maka bagaimana cara mereka menunjukkan kecantikan jika mereka menutupi wajah dengan kain cadar? Maka tidak mungkin. Yang benar adalah bahwa mereka terbiasa berpakaian terbuka, mendandani wajah, menghiasi rambut, dll. – itulah budaya Arab yang sesungguhnya – hingga Islam datang dan mengoreksi.
Di samping itu, perhatikan susunan ayat di atas! Allah menyandingkan, bahkan mendahulukan, larangan tabarruj – yang sebaliknya bermakna perintah berpakaian dengan baik – dengan perintah shalat yang merupakan rukun kedua agama. Kedua klausa tersebut disambung dengan konjungsi aditif “dan” – huruf waw dalam Bahasa Arab – menunjukkan bahwa keduanya berkedudukan sama dalam kalimat. Jika shalat pada kalimat kedua adalah perintah, maka kalimat pertama juga bermakna perintah, tidak mungkin adat istiadat.
Cadar Indikasi Takwa
Definisi takwa yang paling sederhana adalah mengerjakan semua perintah dan meninggalkan seluruh larangan Allah. Jika cadar adalah syariat – sebagaimana disebutkan sebelumnya, antara sunnah dan wajib – maka pemakaiannya menjadi bagian dari ketakwaan. Seorang muslimah yang berpendapat ia sunnah, apabila ia mengenakannya maka bertambah nilai ketakwaannya karena ia melakukan sebuah anjuran, dan jika ia meninggalkannya maka tidak bertambah nilai ketakwaannya karena ia menyia-nyiakan sebuah amal, meskipun tidak menjadikannya berdosa karena hal itu sunnah. Bagi yang berpendapat bahwa cadar adalah wajib, maka melakukannya menunjukkan takwa karena ia telah patuh pada sebuah perintah, jika ia meninggalkannya – padahal ia meyakini keharusannya – maka berkurang pula nilai ketakwaannya.
Maka benar, cadar adalah indikasi ketakwaan antara satu orang dengan lainnya, selama terbatas dalam ranah tersebut. Contohnya, dua muslimah yang sama-sama berpendapat bahwa cadar adalah sunnah sedangkan wajah keduanya relatif sama dalam hal kecantikan – yang mana kecantikan menjadi faktor dianjurkan tidaknya seorang wanita mengenakan cadar – maka yang mengenakannya jelas mengungguli yang tidak mengenakannya, mengunggulinya dalam hal kebaikan pakaian. Begitu pula dua muslimah yang berpegang pada pendapat wajibnya cadar, maka yang mengenakannya mengungguli yang tidak mengenakannya karena yang pertama telah patuh pada aturan sedangkan yang kedua telah melanggar kewajiban.
Adapun yang tidak seharusnya dilakukan adalah menghukumi secara mutlak ketakwaan seseorang “hanya” berdasarkan cadar. Misalnya, seorang muslimah bercadar dan berpendapat wajibnya cadar belum tentu “akumulasi” ketakwaannya mengungguli muslimah yang tidak bercadar. Bisa saja yang kedua lebih unggul pada sisi lain, misalnya pada sisi shalat, sedekah, akhlak, dst.. Begitu pula tidak boleh bagi yang meyakini wajibnya bercadar merasa lebih baik dibanding mereka yang meyakininya sebagai sunnah, karena masing-masing memiliki dalil. Akan tetapi solusi untuk masalah-masalah ini sebenarnya juga telah dijalankan oleh ulama yakni penanaman sikap toleransi terhadap perbedaan pendapat dan tidak bersifat judgemental (gampang memvonis) terhadap tindakan-tindakan orang lain. Jadi, memang pembahasan ini jauh hari telah rampung sehingga disayangkan muncul lagi pihak-pihak yang mempermasalahkannya. []
Wallahu a’lam.