Oleh : Sayyid Fadhlillah
(Koordinator Departemen Kajian Strategis PP LIDMI)
Senin (2/3/2020) lalu, secara resmi Bapak Presiden Joko Widodo mengumumkan pasien perdana terpapar COVID-19 atau lebih popular dengan Virus Corona. Selang beberapa hari, tindak lanjut Pemerintah menemukan pasien-pasien lainya, baik yang diduga maupun yang telah positif terpapar virus tersebut setelah beberapa rangkaian tes.
Sebagai Manusia terkhusus seorang Muslim kita tentu merasakan keprihatinan dan kekhawatiran, baik terhadap pasien-pasien terpapar COVID-19 yang ada di berbagai Negara, juga ratusan pasien sementara yang masih dalam perawatan intensif dibeberapa rumah sakit rujukan di Tanah air.
Dalam tataran individu, sebagian masyarakat cenderung cuek terhadap penyebaran COVID-19, diantara alasannya mungkin karena kebutuhan-kebutuhan mendesak dibidang ekonomi, profesi, atau bahkan sekedar memanfaatkan waktu untuk rekreasi, nongkrong, dsb. Mengingat kebijakan administratif beberapa instansi yang memungkinkan mereka tetap dirumah.
Dari sisi yang lain, sifat cuek masyarakat datang dari kepercayaan diri yang tinggi, bahwa fenomena atau musibah demikian bagian dari kuasa ke-Tuhanan yang tidak dapat dicegah dan semua akibat setelah itu tidaklah membahayakan, mengingat Takdir berada di luar kuasa Manusia.
Sebaliknya, kesadaran yang dilandasi kekhawatiran, dengan akumulasi analisis dampak baik terhadap Negara dan masyarakat, mendorong beberapa Negara memberlakukan lockdown, sebagai langkah preventif tidak adanya penyebaran massif virus corona melalui para wisatawan dan tenaga kerja asing, demikian juga dengan warga negaranya yang sementara tidak dibolehkan bepergian keluar Negeri.
kekhawatiran yang sama terhadap penyebaran virus corona juga mendorong masyarakat untuk mengakses berbagai tips pencegahan, penanganan dan pemulihan yang dipublish oleh para pakar kesehatan resmi maupun tidak resmi, dan menggantungkan seutuhnya informasi dan penaganan pada para pakar sekaligus praktisi kesehatan tersebut, mengingat kasus ini dianggap sebagai tragedi medis yang bersifat empirik biasa.
Dengan segala langkah antisipasi serta penanganan para pakar dan ahli tentu patut diapresiasi, namun sebagai seorang Muslim, bagaimana seharusnya kita menyikapi wabah ini, benarkah bergantung sepenuhnya kepada takdir Tuhan, lantas mengabaikan rambu-rambu otoritas pemerintah dan ahli medis merupakan tindakan yang dibenarkan dalam Islam ?
Bagaimana lagi bagi orang yang sepenuhnya bergantung pada otoritas medis serta cenderung meremehkan adanya campur tangan takdir Tuhan dalam peristiwa COVID-19 ini ? ditulisan ini kami mengajak masyarakat khususnya umat Islam, bagaimana kita menyikapi Pandemi Virus Corona ini secara adil dan beradab.
Telah maklum dikalangan umat Islam, bahwa Khabar Shadiq (Al Qur’an dan Sunnah), beserta bekal epistemologi berupa akal dan panca indera, bukanlah sesuatu yang bertentangan, sebab Al Qur’an dan Sunnah hanya bisa dipahami dengan akal yang sehat dan syariat baru sepenuhnya berlaku bagi seorang Muslim yang telah cukup akalnya (Baligh).
Maka dari itu, akal dan panca indera yang tidak dipandu dan dibatasi oleh Khabar Shadiq, bagaikan bayi yang diberi pisau. Sebagai alat, pisau dibuat dengan serangkaian fungsi yang diharapkan mendatangkan ragam manfaat bagi manusia oleh si pembuat, namun bagi seorang bayi yang belum cukup akal, besar kemungkinan ia mencelakakan dirinya sendiri.
Sebaliknya, orang dewasa walau sudah cukup akal dan mengetahui fungsi asli sebilah pisau, tetapi karena akal menjadi rujukan utama dan mengabaikan Khabar Shadiq sebagai panduan, akalnya justru menemukan fungsi lain dari pisau tersebut, sebilah pisau ternyata bisa diancamkan pada manusia lain yang melahirkan ketakutan, ketakutan yang diiringi kerelaan memberikan harta benda, juga jika terdesak dan terjadi perlawanan, ternyata akal menemukan fungsi lain dari pisau tersebut, yaitu untuk melumpuhkan perlawanan.
Dikalangan ilmuan modern, penempatan akal dan panca indera sebagai tujuan dan rujukan utama, selain mendatangkan manfaat dari ragam penemuan sains dan teknologi, juga membuat mereka terlantar dari keyakinan menuju kebenaran yang serba relatif, serta sukses melakukan eksploitasi terhadap alam yang merusak udara, tanah, lautan, dan moralitas manusia sekaligus.
Oleh karena itu Imam Al Ghazali Rahimahullah mengatakan, “orang yang menafikan akal dan mencukupkan dirinya dengan cahaya Al Qur’an, ibaratnya seperti orang yang condong kepada cahaya matahari tapi menutup kelopak matanya. Maka tidak ada bedanya dia dan orang buta. oleh karena itu, akal bersama wahyu adalah cahaya di atas cahaya”.
Maka, semoga kita tidak termasuk golongan yang disifati Allah Ta’ala, “Tetapi mereka dalam keraguan, mereka bermain-main”(Ad-Dukhan 44:9), dan dengannya menjadikan kita kafir secara diam-diam karena meragukan kemaha kuasaan-Nya, “Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam” (At-Taubah 9:74)
Syaikh Bin Bâz rahimahullah memberikan contoh perkataan yang bisa menyeret seseorang ke dalam jurang kekufuran yaitu mencela Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, seperti mengatakan, “…Allah Azza wa Jalla tidak mengetahui sebagian masalah, Allah Azza wa Jalla tidak mampu dalam sebagian masalah. (Majmû’ Fatâwâ Wa Maqalât Mutanawwi’ah, 8/15)
Selanjutnya, bagaimana seharusnya kita menempatkan ikhtiar, tawakkal, dan Takdir secara proporsional dalam menyikapi Pandemi Virus Corona ini ?
Korelasi antara Ikhtiar dan ketetapan Takdir Allah Ta’ala termaktub dalam statemen Umar bin Khathab Radhiyallahu ‘anhu, saat negeri Syam yang dipimpin oleh sahabat Abu Ubaidah bin Al Jarrah Radhiyallahu ‘anhu terkena wabah menular dan mematikan, saat mengetahui keadaan negeri tersebut beliau mengurungkan niatnya memasuki Syam, sehingga dituduh hendak melarikan diri dari takdir Allah ta’ala, kemudian beliau menjawab “Kita lari dari Takdir Allah, menuju Takdir Allah yang lain” (Ihya Ulumuddin, 201)
Maka dari itu Allah Ta’ala menegaskan, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’d: 11). Semoga kita tidak termasuk golongan yang cacat Aqidahnya karena meyakini “Manusia sama sekali tidak mempunyai kekuatan, tidak mempunyai pengaruh dan berkuasa atas perbuatannya” (Al Jurjani, Mu’jam Al Ta’rifat, 72), mereka inilah golongan Jahmiyah yang disepakati kesesatannya oleh rujukan-rujukan Ulama yang otoritatif.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam sendiri senantiasa mengarahkan umatnya untuk menyerahkan segala sesuatu pada ahlinya. Jika generasi terdahulu umat ini, merupakan generasi-generasi yang mampu memadukan ilmu Syar’i sekaligus pakar dalam bidang kedokteran seperti Aisyah Radhiyallahu ‘anha, Fakhruddin Al Razi, Ibnu Al Qayyim Al Jauziyah, dll.
Maka berkaitan dengan wabah COVID-19, kita dihadapkan pada dua otoritas yang kurang terintegrasi secara praktis, berbeda dalam praktik para ulama dan ahli medis dimasa keemasan peradaban Islam yang sangat teritegrasi sebagai konsekuensi cara pandang Islam yang bersifat Tauhidik dalam arti tidak mempetentangkan antara kebenaran Qauliyah (Wahyu) dan kebenaran Qauniyah (Empirik), sehingga tidak terjadi dikotomi yang kedua-duanya terakomodir dalam Syari’at Islam yang sempurna dan paripurna.
Walhasil, sebagai seorang Muslim kita wajib taat, menyambut baik, dan mensosialisasikan segala arahan dari pihak-pihak yang otoritatif, baik dari ototritas keagamaan, dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI), maupun dari otoritas Ahli Medis, dalam hal ini Kementrian Kesehatan dan jajarannya, sebagai konsekuensi cara pandang yang Tauhidik terhadap persoalan yang ada.
Maka dengan adanya wabah COVID-19 ini, sebagai seorang muslim harusnya kita melakukan muhasabah mendalam, menahan akal dan lisan dari apa-apa yang tidak jelas bagi kita, diperlukan kedewasaan dan ketahu dirian yang tinggi, sebagai pembuktian bahwa kita benar adalah umat terbaik, berperadaban, dan diatas argumentasi yang berlandaskan ilmu yang benar (Bashirah), maka semua itu dapat kita buktikan dengan bersandarnya kita pada pihak-pihak yang otoritatif baik kepada para Ulama dan ahli Medis yang menjadi rujukan bersama.
Wallahu a’lam Bish-Showab