MAKASSAR – Pakar Hukum Tata Negara Dr. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M. menyatakan bahwa tidak ada perubahan perbaikan pada pemilu selama UU no. 7 tahun 2017 belum diubah. Dia menilai undang-undang tersebut minim akan substansi.
“Tidak ada ruang lagi untuk memperbaiki instrumen kepemiluan kita. Karena uu 7 tahun 2017 yang digunakan pada pemilu serentak tahun 2019 itu tidak diubah satu pasal pun. Padahal undang-undang itu sendiri berisi ketentuan yang menurut saya membuat pemilu kita kaya dengan birokrasi dan administrasi tapi minim substansi,” katanya.
Hal tersebut disampaikan Refly Harun pada Lidmi Intelektual Forum yang mengangkat tema “Wajah Demokrasi dan Konsolidasi Pemilu ditahun Politik: Resolusi Awal Tahun,” pada Jum’at, (06/01/2023).
Bung RH sebagaimana sapaan akrabnya memaparkan bahwa upaya untuk menghilangkan Presidensial Threshold sekarang gagal karena diyakini sebagai alat oligarki. Presidensial Threshold juga digunakan untuk memastikan bahwa oligarki tetap menguasai dunia perpolitikan di Indonesia . Antara lain dengan menjamin calon-calon presiden berasal dari saringan mereka.
“Itu aturan mengenai Presidensial Threshold yang jelas-jelas sangat tidak demokratis , diskriminatif, menghindarkan fair competition, yang paling penting juga aturan ini menghalangi munculnya bibit-bibit pemimpin bangsa,” ujarnya
Bung RH menambahkan bahwa saat ini masyarakat hanya terjebak pada nama-nama beberapa calon saja. Seolah-olah tidak ada calon pemimpin lain selain nama-nama yang sudah beredar karena secara politik memang tidak mungkin memunculkan nama lain kalau Presidensial Threshold tidak dihilangkan.
Bung RH lanjut memaparkan bahwa rekrutmen anggota KPU dan Bawaslu yang bermasalah.
“Hal lain yang jadi masalah ialah rekruitmen anggota KPU dan bawaslu yang dari awal dicurigai tidak independen. Dan ternyata betul ketika ada gonjang-ganjing verifikasi partai politik itu membuktikan ada masalah di sana,” ucapnya.
Bung RH juga menerangkan soal penyelesaian sengketa pemilu yang apabila terjadi kecurangan besar-besaran di dalamnya mekanisme Mahkamah Konstitusi tidak akan sanggup mengoreksinya.
“Saya tidak yakin, karena hukum acara di MK untuk penyelesaian kasus ini adalah sangat terbatas. Bagaimana mungkin misalnya saat tahun 2019 membuktikan kecurangan dari Sabang sampai Merauke cuma dikasih waktu sehari untuk pembuktian. Karena itu tidak heran bahwa setiap permohonan ke MK walaupun curang sekali pemilu itu, pasti akan ditolak dalam konteks pilpres,” terangnya.
Bung RH merasa pesimis pada tahapan post election akan menghasilkan sebuah proses yang makin menjamin demokrasi kita. Bung RH menganggap bahwa pemilu Indonesia masih demokratif prosedural sifatnya belum demokratif substantif dan partisipatif. Bung RH menilai orang-orang terpilih bukan karena dipilih oleh rakyat, bisa jadi karena main curang. Bisa jadi karena money politic, vote buying, mempengaruhi panitia penghitung suara, dan bisa jadi ada permainan dalam internal parpol.
“Dan dari situlah muncul pemimpin-pemimpin yang berasal dari pemilu comberan, pemilu comberan itu pemilu yang banyak kecurangan dan kekurangannya tapi kemudian kita melantik Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR,
Anggota DPD dari pemilu comberan tersebut,” katanya.
Namun, Bung RH berharap walaupun ini pemilu comberan akan tetap muncul enlightened leader. Walaupun sistemnya saat ini sangat elitis oligarki , penuh dengan trik tetapi pemimpin ini bisa tercerahkan untuk membawa bangsa kita ke arah yang lebih baik.
Reporter: Muhas K. Japur
Editor: Tim LMCnewsroom