Luar biasa mengejutkannya, ketika beredar berita pembatalan acara shalat Tabligh Akbar yang diadakan oleh Majelis Pelayan Jakarta (MPJ) yang bekerjasama denga berbagai Ormas Islam di Masjid Istiqlal. Pihak Pengurus Harian Masjid Istiqlal menolak pelaksanaan acara tersebut karena dianggap berbedanya pemberitaan yang diperoleh pengurus dengan berita yang beredar di masyarakat.
Salah satu hal yang mendasar dari penolakan tersebut adalah kehati-hatian pengurus untuk menghindarkan masjid dan manajemen yang terkait dengan isu-isu Pilkada Jakarta 2017 nanti. Apalagi jika ternyata, ada unsur promosi dan propaganda terhadap satu nama calon tertentu. Sebab Masjid tidak boleh terlalu dicampurkan dengan politik praktis. Masjid adalah tempat suci, tempat ibadah dan shalat. Bukan tempat fitnah, apalagi berbicara tentang keduniaan.
Hal itu, kurang lebih sama dengan pandangan sebagian pengurus masjid yang dikelola independen oleh masyarakat. Apakah masjid kompleks, lorong, atau gang. Yang kepengelolaannya lebih umum, tanpa ada fikrah tertentu yang mendominasi.
Pandangan tersebut juga diperkuat oleh pendapat yang mendukung politik, tidak boleh masuk di tempat ibadah. Bahwa politik tetaplah politik. Tidak boleh dibawa dengan atas nama agama. Politik itu tipu daya, sangat erat kaitannya dengan kelicikan dan dekat dengan kejahatan. Karena itu, politik sama sekali tidak boleh dikaiteratkan dengan agama. Sebab agama, bersih dan suci, sedangkan politik kotor dan mengotori.
Memang betul, bahwa jika kita melihat sekarang, bagaimana praktik perpolitikan di negeri kita, semuanya sarat dengan berbagai hal yang cenderung memburukkan nama politik itu sendiri. Sebab Politik, pada tataran praktiknya menjadi rahasia umum, bahwa politik selalu identik dengan money politic. Selain itu, kegaduhan, perilaku ‘menjilat’, umbar janji, khianat dan ‘untung sendiri’ sepertinya sudah melekat dengan politik itu sendiri.
Akhirnya, masyarakat yang cenderung pragmatis akan melihat bahwa siapa yang masuk politik, jika mau bertahan mustahil akan tetap jujur dan bersih. Sebab jika demikian, politikus yang jujur akan mudah dipermainkan. Mudah dibaca strategi dan perilakunya. Yang pada akhirnya, akan mudah ditumbangkan.
Apa yang menjadi konsepsi tersebut bukan sesuatu yang tidak didukung. Sebab beberapa dari kalangan cendekiawan pun konsisten untuk menekankan bahwa agama tidak boleh dikotori dengan politik. Akhirnya kita pernah mendengar slogan, “Iislam yes, partai Islam no!”. Seperti ungkapan Nurcholis Madjid. Ungkapan yang menunjukkan komitmen total akan pemisahan agama dan kekuasaan. Bahwa agama tetaplah urusan pribadi, sedangkan kekuasaan, biarlah diatur oleh konsensus-konsensus kenegaraan.
Kenyataan itu pun diperparah dengan realitas keberadaan parta-partai islam. Yang sangat jarang mendapatkan suara dominan dalam konstelasi politik bahkan di negara-negara mayoritas muslim. Jika pun ada, tidak banyak yang bisa bertahan lama. Sehingga doktrin pemisahan agama dan kekuasaan, masjid dan kantor pemerintahan adalah dua hal yang secara substansi dan orientasi berbeda. Masjid dan pasar adalah dua hal yang juga berbeda. Maka dua institusi tersebut haruslah dijalankan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Tidak boleh dicampur-adukkan.
Pemikiran tersebut (pemisahan agama dan kekuasaan) tersebar di kalangan umat islam. Termasuk seperti yang disebutkan di awal. Akhirnya masjid tidak boleh menjadi tempat kampanye politik. Apalagi propaganda. Yang boleh adalah, tempat di luar masjid. Silakan berorasi sebesar-besarnya mendukung calon tertentu, yang penting, unsur masjid tidak boleh dilekatkan.
Meski terkadang ada paradoks yang cukup membuat dahi kita berkenyit. Sumbangan dari tokoh tertentu, pada musim-musim kampanye tetap diterima oleh pengurus masjid. “Kenapa kita mesti menolak kebaikan orang yang mencari pahala?”, kata pengurus masjid.
Sehingga konstruksi berpikir tersebut semakin lama semakin diamini dan diyakini sebagai sebuah konsep yang benar. Kehidupan masjid harus dijauhkan dari kehidupan politik umat.
Lalu, bagaimana jika ternyata ada calon yang kemungkinan besar akan merugikan umat islam jika terpilih ?. Nantikan postingan berikutnya. (Wallohu a’lam bi ash-showab).
Syamsuar Hamka,