Salah satu hal yang paling mendasar dalam hidup secara sosial adalah kepemimpinan. Urusan-urusan masyarakat perlu ditentukan oleh seorang pemimpin. Karena itu Nabi Shallallahu alaihi wasallam begitu mementingkan adanya kepemimpinan dalam jamaah. Hal tersebut bisa kita lihat dari hadits beliau tentang safar.
إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَكُمْ.
Jika tiga orang (keluar) untuk bepergian, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai ketua rombongan. (HR. Abu Dawud).
Dari hadits tersebut bisa dilihat bagaimana pentingnya urusan kepemimpinan. Dalam safar saja yang mungkin tidak begitu urgen, namun Nabi Shallallahu alaihi wasallam memerintahkan pentingnya mengangkat kepemimpinan. Tentu saja apalagi dalam persoalan yang lebih besar dari itu.
Saat ini kita diperhadapkan dengan berbagai macam Pemilihan Umum. Baik kepala Daerah atau pun mungkin tingkat Desa. Karena itu, kita sebagai muslim hendaknya mengetahui bagaimana syarat-syarat pemimpin yang bisa dipilih. Terlepas bagaimana sikap kita terhadap sistem.
Dalam memilih pemimpin, tentunya islam punya panduan yang jelas siapa yang sepantasnya diangkat menjadi pelayan umat. Karena dalam sebuah riwayat disebutkan, Sayyidu al-qaum, khaadimuhu, pemimin dari sebuah kaum adalah pelayan mereka. Bahwa seorang pemimpin jauh berbeda dengan penguasa. Penguasa hanya duduk memangku jabatan dan memerintah sekehendak hati. Sedangkan pemimpin adalah pengayom yang mencintai orang-orang yang dipimpinnya. Dan mereka pun mencintainya.
Sebaik-baiknya pemimpin kalian ialah orang-orang yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian, juga yang kalian mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendoakan kebaikan untuk kalian. Sedangkan seburuk-buruk pemimpin kalian ialah orang-orang yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga yang kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian. (HR. Muslim)
Oleh karena itu, setiap pemimpin meiliki tanggung jawab yang berat dalam amanahnya. Hingga Nabi Shallallahu alaihi wasallam mendoakan kesukaran bagi mereka yang senang mempersulit urusan umatnya.
‘Aisyah RA berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda di rumahku ini : ya Allah siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku, lalu mempersukar pada mereka, maka persukarlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku lalu berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah baginya. (HR. Muslim)
Sehingga dalam al-Qur’an disebutkan ada dua kriteria pemimpin yang penting, yaitu Sabar dan Yakin. Sebab menghadapi sekian banyak manusia dengna karakter yang berbeda akan meniscayakan gesekan-gesekan yang tidak diinginkan. Seorang pemimpin akan mendapatkan kesusahan dalam pilihan dan keputusan atau kebijakannya. Oleh karena itu seorang pemimpin harus memiliki kesabaran yang ekstra. Namun di sisi yang lain, ia tidak boleh putus asa. Ia tidak boleh putus keyakinan. Bahwa setiap yang ia ambil sebagai ketetapan, adalah hal yang paling tepat dan terbaik diantara pilihan yang ada.
Karena itu dalam QS. As-Sajdah ayat 24 disebutkan, Waja’alna minhum a’immatan yahduuna bi amrinaa lamma shabaru, wakaanu bi aayaatina yuqinunn. Sabar dan yakin, kunci kesuksesan seorang pemimpin.
Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa seorang muslim hendaknya menentukan siapa pemimpinnya dengan pertimbangan sebaik-baiknya. Ia tidak boleh sekedar memberi suara pada yang tidak layak baginya. Apalagi jika ternyata begitu banyak permainan politik yang bisa memperdaya. Informasi dari media, pencitraan, serta rayuan-rayuan materi berupa uang dan jabatan.
Seorang muslim harus punya prinsip yang jelas dalam sikapnya. Ia tidak boleh pragmatis. Sekedar menilai dari nukilan-nukilan berita di warung kopi, atau mungkin cerita yang tidak diketahui dari mana sumber dan keabsahannya. Seorang muslim harus mencari tahu dengan benar, agar suara yang ia berikan, ditujukan kepada orang yang benar.
Sebab tidak lain, penulis banyak mendapati ungkapan-ungkapan yang beredar di masyarakat. Bahwa “Terima saja uangnya, sebab kalau sudah di atas, pasti kita tidak akan dapat lagi”. Sebuah ungkapan yang menunjukkan keputus-asa-an. Seakan-akan nasib bangsa dan negara ini, hanya terletak pada lembaran-lembaran rupiah yang dibagi-bagikan di hari kampanye.
Banyak pula yang mungkin sudah tidak perduli lagi. Sebab ia beranggapan, bahwa siapa pun yang memimpin, tidak akan merubah keadannya. Kondisi tetap akan sama, atau malah tambah parah. Sehingga di hari promosi, mereka tidak lagi mencari tahu siapa yang tepat untuk memimpin mereka.
Tentu semua itu adalah keliru. Sebab seorang pemilih yang cerdas, tidak akan menjatuhkan hak pilihnya kepada calon yang tidak punya kapasitas. Ia harus mengerti betul, siapa yang ia pilih. Bagaimana akhlaknya. Bagaimana agama, serta integritas dan kepribadiannya.
Realitas dunia perpolitikan memang demikian adanya. Sudah menjadi kesepatakan tanpa ada pembicaraan. Bahwa yang menang adalah mereka yang punya basis finansial yang kuat. Yang tidak punya apa-apa, mustahil akan memperoleh dukungan.
Namun kita harus sabar dan yakin bahwa jika Allah berkehendak memberikan kita pemimpin yang baik dan shalih, maka tidak ada yang bisa menghalanginya. Yang perlu adalah usaha untuk mencari atau jika memang masih jauh adalah berusaha menyiapkannya dari sekarang (wallohu ta’ala a’lam).