Muhammad Amirullah
(Koordinator Departemen PSDM Pimpinan Pusat Lidmi 2020-2022)
Bangsa yang besar adalah bangsa yang senantiasa ditopang oleh “kebesaran” pribadi-pribadi berkualitas di dalamnya. Ada korelasi yang kuat dan gerak arah yang lurus antara keduanya (kualitas manusia dan kualitas bangsa). Ketersediaan sumber daya alam yang melimpah tidak akan memberikan dampak dan nilai tambah yang berarti jika tidak ditopang oleh kualitas manusia yang memadai. Oleh karena itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan kualitas manusia menjadi hal yang penting untuk diupayakan.
Peningkatan kualitas manusia akan meningkatkan berbagai taraf kehidupan suatu bangsa dalam berbagai aspek. Tanpa manusia berkualitas, visi yang hebat, misi yang terperinci, dan target yang jelas tidak akan tercapai. Proses menuju hal tersebut juga tidak dapat berjalan efektif dan fungsional.[1] Pertanyaan selanjutnya, kualitas manusia seperti apa yang ingin kita bentuk? Jawaban dari hal ini akan sangat bergantung dengan dua hal, yakni starting point kita dalam melangkah serta goals apa yang ingin kita raih. Keduanya akan mempengaruhi gerak langkah yang akan kita tempuh untuk mewujudkannya. Salah satu konsep kunci dalam Islam untuk mewujudkan manusia-manusia istimewa adalah adab.
Adab dan Keistimewaannya
Adab dalam kosa kata percakapan masyarakat Indonesia bukan sesuatu yang asing karena kata adab sering hadir pada teks bacaan maupun konteks pembicaraan di berbagai kesempatan. Dalam wacana kebangsaan, kata adab bahkan tersurat pada poin pancasila yang kedua, “kemanusiaan yang adil dan beradab.” Hal ini menunjukkan bahwa kata adab menempati posisi yang penting dalam konstelasi filosofis berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dalam Islam adab menempati posisi yang istimewa, terdapat banyak ungkapan dari para alim tentang adab yang mempertegas istimewanya kedudukan adab. Ungkapan dan mutiara nasehat dari lisan para ulama tentang adab sekaligus menunjukkan tingginya perhatian mereka terhadap adab.
Ibn Mubarak menyatakan bahwa “Siapa saja yang meremehkan adab, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan [amalan] sunah. Siapa saja yang meremehkan amalan sunah, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan [amalan] fardhu. Siapa saja yang meremehkan amalah fardhu, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan makrifat.” [2]
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah bertutur bahwa “Adab seseorang itu adalah alamat kebahagiaan dan keberuntungannya. Sedangkan minimnya adab merupakan alamat kenestapaan dan kerugiaannya. Tidak ada kebaikan di dunia dan akhirat yang diharapkan untuk diperoleh seperti memperoleh adab. Begitu juga, tak ada yang sudi mendapatkan keburukan di dunia dan akhirat sebagaimana minimnya adab.”[3]
Menurut Ibn Mubarak, kualitas adab berpengaruh panjang terhadap kualitas amalan yang dilakukan oleh seseorang. Demikian juga dengan Ibn Qayyim yang menitikberatkan pada pengaruh adab terhadap kelapangan hidup seseorang. Orang-orang yang memberikan perhatian terhadap adab lebih dekat terhadap kebahagiaan dan keberuntungan dalam hidup, demikian sebaliknya. Kedua nasehat dari alim tersebut, tentu cukup bagi kita untuk memberikan perhatian besar terhadap adab.
Perhatian para alim terhadap adab sangat besar sebagaimana perhatian mereka terhadap ilmu. Bahkan, beberapa ungkapan para alim menunjukkan bahwa perhatian terhadap adab adalah gerbang pembuka menuju jalan kelapangan ilmu dalam diri seseorang. Yusuf bin Al Husain berkata, “Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.” Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimin juga berkata, “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan. Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy, “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.” Demikian halnya dengan Ibn Mubarok yang berkata, “Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.” Oleh karenanya, para alim ulama sangat perhatian dalam mempelahari adab.”[4]
Suatu ketika Imam Syafii pernah ditanya oleh seseorang: ”Sejauh manakah perhatianmu terhadap adab? Beliau menjawab: Setiap kali telingaku menyimak suatu pengajaran budi pekerti meski hanya satu huruf, maka seluruh organ tubuhku akan ikut merasakan (mendengarnya) seolah-olah setiap organ itu memiliki alat pendengaran (telinga). Demikianlah perumpamaan hasrat dan kecintaanku terhadap pengajaran budi pekerti.” Beliau ditanya lagi, ”Lalu bagaimanakah usaha-usaha dalam mencari adab itu?” Beliau menjawab, ”Aku akan senantiasa mencarinya laksana usaha seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.”[5]
Memahami Makna Adab
Secara etimologi, kata adab dimaknai sebagai kehalusan dan kebaikan budi pekerti; kesopanan; akhlak. Adapun “beradab” berarti mempunyai adab, mempunyai budi bahasa yg baik, berlaku sopan (kbbi daring). Dalam bahasa Arab, kata adab merupakan bentuk kata benda dari kata kerja adaba yang berarti kesopanan, sopan santun, tata krama, moral, nilai-nilai, yang dianggap baik oleh masyarakat.[6] Makna ini sejalan dengan makna yang umum dipahami oleh masyarakat tentang adab. Ketika seseorang menyebutkan atau membicarakan persoalan adab, maka lintasan pikiran yang muncul adalah berbagai etika kebaikan seperti sopan santun, penghormatan, karakter positif, dsb.
Sejatinya, pemaknaan terhadap adab yang benar adalah dengan menelusuri makna adab dalam perspektif Islam. Mengapa demikian? Menurut Dr. Adian Husaini, Adab adalah istilah khas yang berasal dari Islam sehingga pemaknaan yang tepat hanya akan diperoleh jika dikembalikan kepada makna adab yang dimaksud oleh Islam. Makna adab dalam kamus atau pemaknaan umum di masyarakat memberikan highlights yang dominan terhadap interaksi antar sesama (sopan santun, tatakrama, nilai moral, dll), hal ini tidaklah keliru namun tentu saja kurang sempurna, mengingat adab dalam perspektif Islam merupakan konsep yang komprehensif.
Menurut Firda Inayah, dosen Universitas Darussalam Gontor, adab tidak boleh diartikan sempit sebatas sopan santun. Karena jika demikian, maka perbuatan Nabi Ibrahim yang menentang Ayahnya, sebagaimana yang termaktub dalam Qs. Al-Anbiya’: 54 yang mengatakan; “Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata”, dapat dikatakan sebagai perbuatan yang tidak beradab.[7] K.H. M. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, dalam bukunya berjudul Aadabul ‘Aalim wal-Muta’allim (edisi Indonesia: Etika Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titian Wacana, 2007) dapat memberikan pemahaman yang lebih terang. Buku tersebut membahas masalah adab secara luas dan dalam yang bermuara pada kesimpulan berharga tentang adab. Beliau menyimpulkan bahwa:[8]
”Kaitannya dengan masalah adab ini, sebagian ulama lain menjelaskan, ”Konsekuensi dari pernyataan tauhid yang telah diikrarkan seseorang adalah mengharuskannya beriman kepada Allah (yakni dengan membenarkan dan meyakini Allah tanpa sedikit pun keraguan). Karena, apabila ia tidak memiliki keimanan itu, tauhidnya dianggap tidak sah. Demikian pula keimanan, jika keimanan tidak dibarengi dengan pengamalan syariat (hukum-hukum Islam) dengan baik, maka sesungguhnya ia belum memiliki keimanan dan tauhid yang benar. Begitupun dengan pengamalan syariat, apabila ia mengamalkannya tanpa dilandasi adab, maka pada hakikatnya ia belum mengamalkan syariat, dan belum dianggap beriman serta bertauhid kepada Allah.
Berdasarkan beberapa hadits Rasulullah saw dan keterangan para ulama di atas, kiranya tidak perlu kita ragukan lagi betapa luhurnya kedudukan adab di dalam ajaran agama Islam. Karena, tanpa adab dan perilaku yang terpuji maka apa pun amal ibadah yang dilakukan seseorang tidak akan diterima di sisi Allah SWT (sebagai satu amal kebaikan), baik menyangkut amal qalbiyah (hati), badaniyah (badan), qauliyah (ucapan), maupun fi’liyah (perbuatan). Dengan demikian, dapat kita maklumi bahwa salah satu indikator amal ibadah seseorang diterima atau tidak di sisi Allah SWT adalah melalui sejauh mana aspek adab disertakan dalam setiap amal perbuatan yang dilakukannya.”
Dr. Adian Husaini mengomentari lebih jauh paparan kesimpulan K.H Hasyim Asyari tentang adab. Menurut Dr. Adian Husaini, penjelasan tersebut menegaskan bahwa adab, tidak bisa tidak, merupakan istilah yang khas maknanya dalam Islam. Adab terkait dengan iman dan ibadah dalam Islam. Adab bukan sekedar ”sopan santun” atau baik budi bahasa atau yang populer hari ini dengan istilah membangun karakter (character building) dalam suatu pendidikan.[9]
Berbagai paparan dan penjelasan para ulama dan intelektual muslim tentang konsep adab akan membawa kita menuju pemahaman yang lebih terang perihal adab. Konsep adab dalam Islam bukan sesuatu yang sempit dan terbatas pada lingkup interaksi antar sesama manusia. Jauh dari pada itu, adab melingkupi interaksi antara manusia dengan Rabbnya pada seluruh aspek keimanan (qobliyah, qauliyah, dan fi’liyah), yang pada akhirnya berkonsekuensi juga terhadap bagaimana penyikapan yang tepat pada seluruh hal yang berkaitan denganNya (NabiNya, KitabNya, sunnah RasulNya, ulamaNya, dsb.). Pemahaman yang tepat yang pada akhirnya membawa seseorang menjadi pribadi yang benar dan sesuai dalam mengimplemntasikan adab di berbagai konteks, situasi, dan interaksi, dalam kaitannya dengan alam (ecological system) maupun kehidupan (living system).
Bersambung … (insyaa Allah)
DAFTAR REFERENSI
[1] Aunur Rofiq, Lc., M.Ag., Ph.D. (2011). Sumber Daya Manusia Berkualitas Perspektif Nabi Syu’aib dalam Al-Qur’an. Research Report. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang.
[2] Al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/80. Oleh KH Hafidz Abdurrahman (Khadim Ma’had Syaraful Haramain). (2019). Adab sebelum Ilmu. Diakses dari https://www.muslimahnews.com/2019/07/04/adab-sebelum-ilmu/
[3] Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madarij as-Salikin, Juz II/368]. Diakses dari http://alukhuwah.com/2018/11/19/adab-tanda-kesuksesan/
[4] Muhammad Abduh Tuasikal. (2014). Pelajarilah Dahulu Adab dan Akhlak. Diakses dari https://muslim.or.id/21107-pelajarilah-dahulu-adab-dan-akhlak.html
[5] Ilham Kadir. (2015). KH. Hasyim Asy’ari dan Pendidikan Adab. Diakses dari https://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2015/03/20/67000/kh-hasyim-asyari-dan-pendidikan-adab-2.html
[6] Redaksi Khazanah Republika. (2019). Memahami Makna Adab. Diakses dari https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/19/02/14/pmw5xr313-memahami-makna-adab
[7] Firda Inayah. (2011). Memahami Makna Adab. Diakses dari http://afi.unida.gontor.ac.id/2019/05/01/memahamii-makna-adab/
[8] Dr. Adian Husaini. (2012). Makna Adab Dalam Perspektif Pendidikan Islam (1). https://insists.id/makna-adab-dalam-perspektif-pendidikan-islam-1/
[9] Tim Redaksi Hidayatullah.com. (2015). Adab. Diakses dari https://www.hidayatullah.com/spesial/hidcompedia/read/2015/06/20/72523/adab.html