Oleh: Hidayatullah Wirasandha, S.Si*
Kita mungkin sering mendengar istilah “quick count” saat pemilu, entah pemilu DPD, DPRD, DPRD, Presiden, Walikota, Gubernur, dan lain-lain. Pernahkan kita bertanya mengenai apa itu “quick count”? Mengapa harus ada “quick count”? Mengapa “quick count” kadang menjadi masalah saat pemilu?
Quick count pertama kali dilakukan oleh NAMFREL (National Citizen Movement for Free Elections) di Philipina pada pemilu tahun 1986 dimana pada saat itu dilakukan untuk mengetahui hasil cepat antara dua kandidat presiden yaitu Ferdinand Marcos dan Corazon Aquino. Sedangkan Di Indonesia, quick count telah diterapkan pertama kali oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) untuk mengetahui hasil penghitungan cepat Pemilu Tahun 1997.
Pengertian Quick count adalah perhitungan secara cepat hasil pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah dengan menggunakan TPS (Tempat Pemungutan Suara) sampel. Dengan quick count, hasil perhitungan suara bisa diketahui dua sampai tiga jam setelah perhitungan suara di TPS ditutup.
Pada UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, pengaturan tentang quick count terdapat dalam pasal 246 tentang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat yang dimaksud dalam pasal tersebut termasuk diantaranya Penghitungan cepat hasil pemilu dilakukan dengan tidak melakukan keberpihakan serta tidak merugikan atau menguntungkan; Tidak menganggu proses penyelenggaraan pemilu; Serta Bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat secara luas serta mendorong terwujudnya suasana kondusif bagi penyelenggaraan pemilu.
Aspek paling penting dalam quick count adalah penarikan sampel TPS. Apabila TPS yang diambil tidak representatif, maka dapat dipastikan prediksi quick count akan gagal dalam memprediksi perolehan suara sesungguhnya dalam Pemilu. Yang mana unit analisis (pengamatan) quick count adalah TPS. Walaupun demikian perhitungan awal didasarkan pada jumlah pemilih. Karena itu penentuan jumlah TPS diawali terlebih dahulu dari perhitungan sampel pemilih. Dari sampel pemilih itu baru bisa diprediksikan beberapa banyak TPS yang akan diambil. Penentuan besar sample berkaitan dengan seberapa jauh kita menginginkan ketelitian dari suatu sampel.
Menentukan besar sampel tergantung kepada hal berikut:
- Keragaman (variasi) dari populasi,
- Batas kesalahan sampel yang dikehendaki (sampling error),
- Interval kepercayaan (confidence interval), dan
- Jumlah populasi.
Permasalahan yang muncul adalah ketika hasil quick count tidak sesuai dengan hasil yang ada di lapangan. Misalnya saat pemilu, hasil quick count menyatakan calon pasangan A menang, sementara hasil di lapangan menyatakan bahwa calon pasangan B yang menang.
Hal ini bisa terjadi karena ada manipulasi yang terjadi pada keempat poin di atas, terutama poin 1. Untuk kasus yang disebutkan sebelumnya, salah satu manipulasi data yang dilakukan adalah mencari sampel di daerah-daerah yang mayoritas mendukung calon pasangan tertentu kemudian menjadikannya sebagai data quick count. Hasil olahan data tersebut tentunya akan memenangkan calon pasangan yang memang mayoritas didukung di daerah-daerah tersebut.
Manipulasi lain yang bisa dilakukan juga terkait dengan batas kesalahan sampel atau sampling error. Sampling error diperlukan agar bisa mengetahui tingkat kesalahan sampel. Makin kecil batas kesalahan sampel, maka semakin tinggi tingkat kepercayaan hasil olahan atau kesimpulan dari data. Hal ini nantinya berhubungan dengan selang kepercayaan dari sampel yang diolah. Biasanya penelitian menggunakan selang kepercayan 90%, 95%, atau 99%. Batas kesalahan sampel yang digunakan biasanya 10%, 5%, bahkan 0,5%.
Sampling error bisa terjadi karena jumlah sampel tidak mewakili populasi, pengumpulan sampel yang bersifat bias, respon yang kurang dari sampel, dan lain-lain. Manipulasi yang bisa dilakukan adalah dengan menganggap sampel yang bias sebagai sampel yang dihitung. Hal ini juga nantinya berpengaruh dengan selang kepercayan yang digunakan, sehingga data yang dihasilkan tidak akurat alias tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Masih banyak lagi manipulasi yang bisa dilakukan sehingga data yang dihasilkan tidak sesuai dengan hasil perhitungan sebenarnya. Jika disebutkan semuanya, maka artikel ini akan panjang dan mengajarkan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah untuk apa seseorang atau sebuah lembaga survey mau capek melakukan manipulasi data? Bukankah lebih baik menampilkan hasil olah data apa adanya? Terkait dengan hal tersebut, penulis teringat dengan perkataan salah seorang dosen yang mengajarkan mata kuliah statistik. Beliau mengatakan bahwa tugas seorang Statistikawan (atau bisa juga untuk lembaga survey) adalah mengolah data dan menarik kesimpulan dari data tersebut, adapun tindakan atau kebijakan yang dilakukan terkait data tersebut maka diserahkan ke yang meminta hasil olahan data tersebut.
Jadi jika ada quick count yang tidak sesuai dengan hasil perhitungan sebenarnya, bahkan ada yang ketika dijumlahkan persentasenya malah lebih dari 100%, maka pasti ada manipulasi data yang dilakukan. Siapakah yang memanipulasi data? Siapa pula yang meminta agar data tersebut dimanipulasi? Kita memohon kepada Allah agar dijauhi dari perbuatan bohong dan menipu.
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. Aamiin.
Wallahu A’lam Bishshawab.
*Anggota Departemen Infokom PP Lidmi, Alumni Jurusan Matematika FMIPA Universitas Hasanuddin
BAGUS . TULISANNYA