Oleh: Mahardy Purnama, Penulis dan Pemerhati Sejarah Islam
Kristen salah satu agama yang paling banyak mengalami pergeseran dari ajaran sebenarnya yang dibawa oleh Nabi Isa ‘Alaihissalam. Pada mulanya, ajaran ini lahir di Timur Tengah. Sebab, Isa (Yesus versi Kristen) dilahirkan di Nazareth, satu perkampungan di Palestina. Dan semula, Nabi Isa menyebarkan dakwah ini hanya di lingkungan tertentu, Bani Israel.
Allah memerintahkan Nabi Isa ‘Alaihissalam untuk meluruskan umat Yahudi yang yang banyak menyimpang dari ajaran Nabi Musa ‘Alaihissalam. Tidak kepada selain Yahudi (Bani Israel).
“Kedua belas murid itu diutus oleh Yesus dan ia berpesan kepada mereka, janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria, melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.” (Matius 10: 5-6).
Juga dalam kisah perempuan Kanaan yang memohon pada Yesus. Maka Yesus menjawab, “Aku diutus hanya kepada domba-dobmba yang hilang dari umat Israel.” (Matius 15: 25)
Al-Qur’an yang merupakan kitab yang banyak menyinggung penyimpangan orang-orang Yahudi dan Kristen, juga menyebutkan bahwa Nabi Isa hanyalah diutus kepada Bani Israel saja. Tidak selainnya.
“Dan (ingatlah) ketika Isa bin Maryam berkata, ‘Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)’…” (QS. Ash-Shaff: 6)
Lalu siapa yang pertama kali menyerukan keyakinan ini kepada bangsa selain Bani Israel?
Paulus (St. Paul) tokohnya. Ia seorang Yahudi dari Tarsus, Kilikia (Turki hari ini). Bukan hanya menyebarkan agama Kristen kepada seluruh manusia di luar Bani Israel, tetapi juga Paulus banyak menambahkan ajaran-ajaran yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh Yesus.
Paulus-lah yang merumuskan dasar keyakinan Kristen dan yang menulis sebagian besar Kitab Perjanjian Baru. Dialah orang yang paling bertanggung jawab atas ajaran teologi Kristen pada hari ini. Bukan Nabi Isa atau kedua belas muridnya yang dikenal dengan sebutan Hawariyyun.
Pemahaman Kristen versi Paulus kemudian menyebar sampai ke Istana Kerajaan Romawi. Pada tahun 313 M, Kaisar Konstantin yang bisa jadi dengan alasan politis memeluk agama Kristen dan menjadikan Kristen sebagai agama Kekaisaran. Agama negara. Masuknya Kaisar Konstantin ke dalam Kristen diikuti pula seluruh masyarakat Romawi.
Romawi merupakan kerajaan besar, adidaya, penguasa dunia saat itu. Satu-satunya kerajaan yang menjadi saingannya hanyalah Kerajaan Persia. Adapun Islam (kekhalifahan) belum lahir ketika itu.
Sebelum menjadi Kristen, Kerajaan Romawi adalah kerajaan pagan. Mereka menyembah dewa-dewa, layaknya dewa-dewa dalam mitologi orang-orang Yunani. Maka, dijadikanlah ajaran Kristen sejalan dengan keyakinan pagan mereka. Dibuatkan pula patung-patung ‘tuhan’ Yesus dan bunda Maria sebagaimana patung-patung dewa yang mereka sembah sebelumnya. Maka, jangan heran jika melihat patung Yesus berambut pirang gondrong, berkulit putih, dan bermata biru yang lebih mirip orang Eropa ketimbang wajah orang Timur Tengah (Yesus lahir di Jerusalem, orang Eropa). Bisa jadi wajah Yesus yang disembah itu adalah visualisasi dari Kaisar Konstantin? Bukankah hal itu menunjukkan penyembahan kepada Konstantin?
Ketika Kristen menjadi agama negara, tradisi orang-orang Romawi pagan mulai dimasukkan ke dalam keyakinan Kristen. Tanggal 25 Desember yang dijadikan hari Natal, bukanlah hari kelahiran Yesus (Isa Al-Masih). Natal, tidak pernah dikenal dalam tradisi Kristen awal. Yesus tidak pernah merayakan hari lahirnya, tidak juga murid-muridnya. Bahkan kata “Natal” sendiri tidak terdapat dalam Injil. Ia murni tradisi pagan Romawi yang kemudian dijadikan Hari Raya umat Kristiani.
Tanggal 25 Desember sejatinya adalah tanggal di mana orang-orang Romawi merayakan kelahiran Dewa Matahari yang tak terkalahkan (Sol Invicibillis). Sejak abad ke-4, oleh mereka, perayaan tersebut dikristenkan. Mereka menganggap Yesus sebagai Sang Matahari Sejati. Di kalangan umat Kristen sendiri banyak yang tidak sepakat dengan dijadikannya tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Kristen Ortodoks di Rusia misalnya, merayakannya di tanggal 7 Januari.
Pun hari Minggu (Ahad) dijadikan oleh umat Kristiani sebagai hari kebaktian, sebenarnya tidak dilakukan Yesus dan pengikutnya dari generasi awal di Yerusalem. Yesus menjalankan ajaran-ajaran dan tradisi Yahudi, seperti beribadah di Bait Allah (Sinagog) dan di Hari Sabtu (Sabat).
Akan tetapi, peribadatan pada hari Sabtu, oleh Kaisar Romawi dipindahkan ke hari Minggu (Sunday) dengan dalil bahwa Yesus dibangkitkan pada hari tersebut. Padahal sejatinya, hari itu adalah harinya Dewa Matahari (Sunday).
Tahun Baru Masehi
Orang-orang Romawi Kuno mempunyai dewa yang mereka namakan Janus. Dewa Janus adalah dewa penjaga pintu-pintu langit. Ia dianggap sebagai dewa terbit dan terbenamnya matahari. Janus digambarkan sebagai dewa berwajah dua, satu menghadap ke timur dan satu lagi menghadap ke barat, seolah satu wajah menyambut terbitnya matahari dan satu lagi mengucapkan selamat jalan kepada matahari yang terbenam.
Setiap hendak mengerjakan sesuatu dan selesai dari pekerjaan tersebut, orang-orang Romawi biasa meminta kepada Dewa Janus. Menurut keyakinan mereka, Dewa Janus duduk di pintu masuk tahun baru untuk memberikan kebaikan dan keberuntungan bagi mereka. (Al-Harafi, 2016: 628).
Nama Dewa Janus kemudian dijadikan sebagai nama bulan pertama dalam kalender Gregorian (Kalender Masehi). Dalam bahasa Inggrisnya disebut January (Indonesia: Januari). Kalender Gregorian pertama kali diusulkan oleh Doktor Aloysius Lilius, dari Napoli, dan dituruti oleh Paus Gregory XIII pada tanggal 24 Februari 1582. (Ridyasmara, 2008: 65).
Dalam perayaan Natal (Christmas), sering umat Kristiani mengucapkan “Marry Christmas and happy New Year”, menunjukkan sebenarnya perayaan Tahun Baru Masehi (1 Januari) merupakan kelanjutan dari tradisi Natal.
Perayaan Natal dan Tahun baru, sejatinya tidak pernah diajarkan oleh Yesus dan murid-murid setianya. Ia adalah bid’ah dalam agama Kristen, yang diadopsi dari tradisi pagan Romawi Kuno.
Dalam hadits Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”
Tak syak lagi, hadits di atas menjadi alarm bagi umat Islam yang melakukan suatu amalan yang tidak diajarkan agama Islam, atau dikenal dengan bid’ah, maka amalan tersebut tidak diterima. Nihil pahala. Bahkan pelakunya mendapatkan dosa.
Jadi, sebenarnya, jika ada umat Islam yang merayakan Natal dan Tahun Baru Masehi, apalagi dengan cara menghamburkan uang dengan membakar kembang api, meniup terompet, dan hal mubazir lainnya, hakikatnya ia sedang mengerjakan ajaran yang dalam agama Kristen pun merupakan sebuah bid’ah.
Bid’ah di atas bid’ah. Parah, bukan?
Referensi:
-Evolusi Kristen, M.I. Ananias (Penerbit Gelanggang, Yogyakarta)
-Valentine Day, Natal, Happy New Year, April Mop, Halloween, so What?, Rizki Ridyasmara (Pustaka Al Kautsar, Jakarta)
-Kitab Sejarah Peradaban-peradaban Besar Dunia dari Sebelum Masehi hingga Modern, Rizem Aizid (Penerbit Laksana, Yogyakarta)
-Buku Pintar Sejarah & Peradaban Islam, Dr. Salamah Muhammad Al Harafi (Pustaka Al Kautsar, Jakarta)
-Kesaksian Alkitab, Saftani Muhammad Ridwan (Qumran Foundation, Makassar)
Sumber : http://wahdah.or.id/perayaan-tahun-baru-tradisi-bidah-dalam-kristen/
(Mohon ketika menyebarkan, harap sertakan link sumber)