Oleh: Syamsuar Hamka
(Wakil Ketua PP Lidmi Periode 1437-1439 H/ 2015-2017 M)
Di dunia ini ada dua kekuatan. Kekuatan yang saling bertolak belakang. Kekuatan yang akan selalu bertarung sampai akhir peradaban umat manusia. Selama manusia masih menapakkan jejak kehidupannya, selama itu pula perseteruan dua kekuatan itu akan terus bergejolak dan mereka akan terus berupaya untuk saling menghilankan satu dengan yang lain.
Dua kekuatan itu adalah al-haq dan al-bathil. Kebenaran dan kesesatan, keadilan dan kedzaliman. Kesesatan itu adalah seruan-seruan syaithan serta upaya-upaya mereka dalam membuat manusia jatuh dalam jurang kenistaan di dunia dan jurang neraka di akhirat. Kekuatan kebathilan adalah seruan dan gerakan para musuh-musuh Allah, yang terus berupaya untuk mencabik-cabik dan memadamkan cahaya-Nya. Allah menyebutkan dalam Alquran yang artinya:
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.” (Terjemahan Surah As-Shaff: 8).
Karena itu usaha al-bathil adalah wujud gerakan dari amarah-amarah iblis sebagai bentuk penentangannya terhadap al-haq. Tiang-tiang kebenaran akan terus diintai untuk dirobohkan. Panji-panji Alquran dan As-Sunnah akan selalu menjadi incaran mereka untuk dihina dengan mulut-mulut mereka. Bahkan cita-cita mereka adalah mengoyak bendera izzah kemuliaan kaum muslimin. Hingga akan pudar dan musnah keindahan syariat Islam.
Dan Keadilan itu adalah islam. Sebagaimana perkatan seorang sahabat, Rib’I bin Amir radhiyallahu anhu kepada Raja Romawi, Rustum dalam tenda kebesarannya.
“Kami adalah kaum yang diutus oleh Allah untuk mengeluarkan manusia dari penyembahan kepada sesama makhluq kepada penyembahan hanya kepada Allah, Kami adalah kaum, yang diutus oleh Allah untuk mengeluarkan manusia dari kejahatan agama-agama menuju keadilan Islam”.
Kita sadar, kita tengah hidup dalam gegap gempita Globalisasi yang dimotori oleh barat dan sekutunya. Pengaruhnya jauh merambah seluruh aspek kehidupan manusia. Ia bergulir bagaikan bola salju yang semakin hari semakin besar. Menurut David Held, Globalisasi memiliki tiga daya yang sulit dibendung. Pertama velocity (kecepatan), daya rambah dalam waktu yang singkat. Kedua, intencity (kedalaman), daya rubah sampai pada hal-hal prinsip. Ketiga, extencity (keluasan), daya jangkau yang meliputi pelosok-pelosok dunia (Global Transformation, 2000).
Tiga daya inilah yang menjadi kendaraan bagi seluruh “ideologi asing” masuk menyelinap di balik pesan-pesan globalisasi. Liberalisasi dan kebebasan serta kesetaraan. Akan tetapi di balik semua itu, ada sebuah rencana besar yang diarsiteki oleh sekelompok kecil manusia yang ingin merubah wajah dunia menuju The New World Order, Tata Dunia Baru. Dibaliknya ada agenda penghancuran besar-besaran yang tengah sabar dinanti, satu agenda demi agenda diselesaikan.
Globalisasi pun menjadi ancaman besar bagi umat islam. Globalisasi tidak lain adalah gelombang penghancuran umat.
Di dalamnya agenda Ghazwul Askari (perang fisik) diarahkan kepada negara-negara timur tengah. Politik belah bambu dan dukungan terhadap gerakan-gerakan separatis masih terus digencarkan barat. Sementara di belahan bumi lain dibenamkan Ghazwul Fikri (perang pemikiran) secara rahasia. Umat pun dikepung dari dua arah secara bersamaan. Dari dalam dan dari luar.
Dari luar, belahan bumi kaum muslimin dicaplok satu demi satu. Chechnya, Iraq, Afghanistan, Palestina hingga hari ini masih bergejolak. Perang demi perang terjadi setiap harinya, dan hanya menyisakan kecaman, petisi atau unjuk rasa yang berujung pada kekecewaan. Sementara yang menjadi korban adalah umat islam. Di belahan bumi yang lain ideologi demokrasi dipaksakan untuk dijadikan dasar konstitusi negara. Turki, Mesir, Syria, Libanon dan yang lainnya menjadi korban invasi politik ini.
Kebencian barat dan kekhawatirannya terhadap gerakan kebangkitan Islam sangat nampak terlihat. ‘Terorisme’ menjadi kendaraan untuk membuat masyarakat dunia terjangkit islamophobia. Terorisme, diangkat sebagai isu global karena pelaku kejahatan katanya adalah oknum dari umat Islam. Akan tetapi ketika umat Islam yang menjadi korban, semua bungkam, diam seribu bahasa (seperti di Palestina). Itulah standar ganda Amerika Serikat dan sekutunya dibalik wacana deklarasi freedom and human rights.
Dari dalam, umat Islam ditaburi pemikiran-pemikiran sesat. Berbagai aliran nyeleneh pun bermunculan. Agenda pendangkalan aqidah dan perusakan akhlaq menjadi rencana utamanya. Ahmadiyah, Lia eden, Ahmad Mushaddeq, Isa Bugis dan deretan aliran lainnya menjadi kasus yang serasa begitu sulit dituntaskan. Sementara di sisi yang lain semakin hari, kasus pornoaksi, pencabulan dan skandal seks semakin menjamur yang sangat berkorelasi dengan maraknya hiburan, infotainment dan konser musik.
Kita sadar, bahwa apa yang tengah terjadi hari ini pada hakikatnya adalah pertarungan ideology. Ideology kebenaran dan kebathilan. Syaikhul Islam rahimahullahu ratusan tahun lalu dalam salah satu surat, Beliau menuliskan:
“Perang dengan Yahudi di Palestina adalah perang ideology, begitu pula yang terjadi antara kaum muslimin dan orang-orang Hindu di India, antara Muslimin dan Atheisme di Syisyan (Chechnya), serta apa yang terjadi di Burma dan Kashmir. Semua itu adalah perang ideology. Apa yang terjadi antar individu dan partai di suatu negeri, baik liberalisme, komunisme dan nasionalisme, semuanya diliputi oleh perang ideology ini.”
Hingga sekalipun yang tampak adalah misi kemanusiaan, namun yang sebenarnya adalah mencari keuntungan, seperti mengambil harta kekayaan, minyak, atau penguasaan terhadap negeri dan penduduknya. Dan sesungguhnya mereka melupakan masalah ideology, adalah khayalan belaka (artinya: semuanya itu tetap tidak terlepas dari masalah ideologi). Pepatah mengatakan, “Perilaku adalah cerminan dari pikiran” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Pembaruan Salafi dan Dakwah Reformasi. 2000).
Bersambung…
————–
Akan terbit esok hari:
OPINI – Perjuangan Aqidah: Kerja Nyata Untuk Al-Quds (Bag.2)