Penulis: Bagas, S.Sos [Mahasiswa Program Magister Sosiologi FISIP Unhas)
Hak Asasi Manusia (HAM) menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah hak yang melekat dengan kemanusiaan kita sendiri, yang tanpa hak itu kita mustahil hidup sebagai manusia. Sementara menurut Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dalam Al-Qur’an dan Hadist terdapat banyak dalil yang berkaitan dengan HAM sebagai sumber ajaran yang normatif yang kemudian terinternalisasi dalam pola perilaku sosialnya. Sebagaimana yang terdapat dalam QS An-Nahl: 90 “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Berdasarkan defenisi dan dalil tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa HAM merupakan anugerah terbesar yang Allah Azza wa Jalla berikan kepada setiap hamba-hambanya dalam menjalani kehidupan sosialnya, baik dalam domain makro maupun secara mikro. Oleh karena itu, HAM tidak boleh dijauhkan atau bahkan dipisahkan dari eksistensi kehidupan sosial.
Setiap individu masing-masing memiliki hak asasi, namun bersamaan dengan hak asasi tersebut juga ada kewajiban atau norma-norma melekat yang harus dilembagakan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat 2 Undang-undang Dasar Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang “Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksananya dan tegaknya hak asasi manusia”. Tujuan dari pelembagaan norma-norma tersebut yaitu terciptanya keteraturan sosial (social order) yang mengerucut pada persamaan dalam kedudukan hukum, hak untuk bekerja, hak mendapatkan perlakuan yang sama, dan sebagainya.
Pertamakali lahir hari HAM sedunia yaitu sejak dicetuskannya pada tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi bersejarah tersebut sebagai bentuk respons atas berakhirnya perang dunia ke-II (PD II), deklarasi tersebut mengisyaratkan masyarakat dunia dalam penghapusan segala bentuk kekejaman yang berujung pada konflik sosial. Dengan adanya deklarasi tersebut, muncullah harapan-harapan baru masyarakat dengan kehidupan sosial yang lebih memihak pada prinsip kesetaraan dalam mengekspresikan gagasan dan menghormati martabat yang melekat pada setiap individu. Hal tersebut dikuatkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 1 yang berbunyi “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan”.
Dewasa ini, fenomena pelanggaran HAM dibeberapa negara menjadi perbincangan hangat dikalangan masyarakat dunia. Pasalnya, pelanggaran tersebut melibatkan kekuatan kekuasaan, sehingga efeknya sangat merugikan masyarakat yang notabene mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah. Namun, justru pemerintah menjadi salah satu pionir dalam terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
Banyak kasus yang melibatkan pemerintah dalam pembataian ummat Islam dibeberapa negara, misalnya (1) Konflik Israel dengan Palestina, hal tersebut bermula ketika Israel memperluas wilayahnya dengan menguasai sebagian besar wilayah Palestina. Hingga sampai saat ini, sudah ribuan korban jiwa; (2) Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang (China), kasus kekerasan pada etnis ini menjadi perbincangan hangat dunia internasional. karena etnis ini diperlakukan dengan tidak manusiawi; (3) Penindasan terhadap Rohingya di Myanmar pada tahun 2016-2017, peristiwa tersebut melibatkan militer angkatan bersenjata dan kepolisian dalam menindas muslim Rohingya. Dan masih banyak kasus pembataian lainnya yang merugikan ummat Islam.
Pelanggaran HAM tidak hanya terjadi pada level makro, namun pada level mikro juga banyak terjadi pelanggaran. Misalnya kasus yang dialami oleh Ibu Hayati Syafri yang diberhentikan dari kampusnya sebagai dosen Bahasa Inggris karena mengenakan cadar, Kasus terbaru yang terjadi di Papua Barat, seorang Orangtua murid SD Inpres 22 Kabupaten Manokwari yang memprotes aturan sekolah yang melarang siswi mengenakan jilbab saat jam belajar di kelas, ini pernyataan dari orangtua murid saat dikonfirmasi oleh [nasional.tempo.co] “Pagi kalau diantar anak saya pakai hijab, tapi di dalam ruang kelas hijabnya dilepas. Saat hendak pulang, hijabnya dipakai lagi,” ujar Maria di Manokwari, Rabu, 4 Desember 2019”.
Berdasarkan fenomena tersebut, memberikan gambaran bahwa penegakan HAM saat ini terjadi ketidakseimbangan diberbagai lini kehidupan masyarakat. Penegakan HAM secara konstitusional yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) di berbagai negara khususnya pada ummat Islam masih menyisahkan tanda tanya besar dan belum memberikan solusi sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang penegakan HAM pada masyarakat.
Oleh karena itu, peran PBB dan Komnas HAM sangat vital dalam penegakan HAM di semua kalangan masyarakat baik tataran makro maupun mikro. Reorganisasi dalam intitusi sosial yang menangani HAM sangat dibutuhkan saat ini, baik cara pandang institusi terhadap masyarakat maupun penegakan hukum secara horizontal. Karena fenomena di lapangan banyak terjadi penyimpangan HAM yang kemudian tidak mendapat perhatian khusus. Terutama pada umat Islam yang terdapat diberbagai negara seperti Myanmar, China, Palestina, dan lain sebagainya. Mereka menjadi korban keganasan terhadap kebencian identitas tertentu yang melahirkan diksriminasi. Begitupun di Indonesia, banyak aturan-aturan yang merugikan pihak tertentu dan tidak mengamini nilai-nilai pluralitas yang sudah mengakar pada masyarakat indonesia.
Penulis: