Oleh : Sayyid Fadhlillah (Kordinator Departemen Kajian Strategis (Kastra) PD Lidmi Makassar)
Adalah fenomena umum disekitar kita, sekaligus hal yang menggembirakan akan gerak maju semangat keberIslaman masyarakan Negeri yang kita cintai bersama. Masjid-masjid mulai ramai oleh jama’ah baik sholat Jum’at maupun sholat-sholat wajib.
Masjid-masjid yang dulunya didominasi oleh generasi tua, kian tersaingi oleh semangat ibadah generasi-generasi muda. Penampilan glamor para Ibu saat hajatan dan penampilan vulgar para gadis yang terpesona dengan penampilan selebritis Idola pun mulai ditinggalkan.
Berbarengan dengan itu, menjamurnya majelis taklim diberbagai Masjid, baik itu Masjid yang dibagun ormas tertentu, atau Masjid wakaf Masyarakat, tidak ketinggalan menyelenggarakan berbagai halaqah ilmu.
Jika kita membaca sejarah pendek Negeri ini pasca kemerdekaan, maka fenomena demikian merupakan fenomena baru, berbagai kitab ditelaah dimasjid-masjid umum yang dulunya hanya terbatas dalam lingkup pesanten, kuttab, atau Madrasah.
Fenomena diatas mungkin serasa biasa saja bagi sebagian masyarakan, namun menjadi cukup menakutkan bagi sebagian Oknum penyelenggara Negara, Akademisi, LSM, maupun para Aktivis Mahasiswa, sebab itu menurut mereka menjadi alamat kemunduran dari Modernsasi, semangat kemanusiaan, dan pembentukan SDM yang berdaya saing.
Semangat keAgamaan dianggap sebagai awal proses menjamurnya Politik identitas, Ekslusifisme, Radikalisme, Intoleransi, dan menjauhkan Masyarakat dari nilai-nilai HAM Universal.
Salah satu yang paling disoroti adalah budaya Hijrah para pemuda, yang dengan mudah diidentifikasi dari perubahan penampilan yang mencolok, diawali dengan fenomena Hijab sebatas menutup kepala hingga Hijab ideologis yang memenuhi kategori Syar’I dalam tuntunan Syari’at, begitu pula dengan pemakaian gamis ataupun celana cingkrang.
Keseluruhan hal di atas rupanya mendatangkan kekhawatiran dari dua sudut pandang sebagian Mayarakat yang kontra dengan fenomena di atas, dari kalangan terpelajar menganggap ini gerak mundur dari Modernisasi dan kemanusiaan, adapun dari kalangan awam justru melihat dari sisi buruknya Akhlak, muka masam dan Ekslusif dari pegaulan masyarakat.
Alhasil muncullah statemen-statemen, “lebih baik nggak berjilbab yang penting Akhlaknya baik”, atau juga, “Beragama itu bukan cuman ibadah pribadi (Habluminallah), tapi juga ibadah sosial (Habluminannas).
Menjadi aneh karena statemen-statemen diatas kadang dialamatkan kepada orang-orang yang belajar Agama, sementara yang melempar tuduhan biasanya justru seorang Intelektual Humanis yang awam wawasan Agama, ataupun Non Intelektual yang juga awam wawasan KeAgamaan.
Lantas benarkah Hijrah Akhlak lebih dibutuhkan daripada Hijrah penampilan ? Ataukah berpenampilan Islami walau akhlaknya buruk lebih utama ? manakah yang lebih baik ?
Jika di tinjau dari pandangan Islam terhadap realiatas kehidupan dan kebenaran, yang bersumber dari Ilmu dan Hikmah (Worldview Of Islam), tentu kedua pandangan tersebut, mudah ditebak, bahwa keduanya keliru.
Namun ada kekeliruan yang lebih halus dan sulit terdeteksi dari kedua cara pandang tersebut, yaitu problem pemikiran atau Framework, sebenarnya bukan perkara sederhana, yaitu keduanya tidak mengamalkan cara pandang yang Tauhidik dalam melihat persoalan alias Dikotomis, dan ini problem Tauhid.
Dr Nirwan Syafrin (Founders INSISTS) mengatakan, “Karena Tauhid, merupakan pondasi berpikir dan bertindak seorang Muslim. Kekeliruan dalam Tauhid sama dengan kekeliruan pondasi berpikir dan cara meraih ilmu (Epistemologi), yang sudah pasti berdampak dalam kekeliruan perbuatan”
Walhasil, “Orang bisa salah dalam bertingkah perbuatannya, tetapi jangan sampai salah dalam epistemologinya. Karena orang yang salah dalam tataran epistemologi, sulit… untuk melakukan perbaikan… bagaimana dia bisa memperbaiki perbuatannya jika dia sendiri tidak melihat bahwa perbuatannya itu salah” (Dr Nirwan Syafrin Manurung)
Jika di tinjau lebih jauh, memang Aqidah dalam bahasa Arab “berasal dari kata ‘Aqada, yang artinya menyatukan ujung-ujung sesuatu… seperti ‘Aqad Al-habli (simpul tali),.. atau juga ‘Aqad An-Nikah.” (Ibnu Mandzur, Lisan Al ‘Arab)
Sementara Tauhid dalam bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39)
Jika Aqidah Tauhid menjurus kepada penyatuan dua hal, atau menjadikan satu saja, dan melakukan penafian terhadap apa-apa yang bathil, maka disinilah Tauhid berfungsi sebagai cara pandang terhadap realitas.
Sebagai contoh, jika peradaban barat menggunakan cara pandang yang Dualisme-Dikotomis seperti Laki-laki (Penindas) dan Perempuan (yang Di tindas) sehingga melahirkan paham Feminisme, maka cara pandang yang Tauhidi akan menafikan Penindasan dan menyelamatkan yang ditindas menjadi, “Mereka (Istri) adalah pakaian bagimu, dan kamu (Suami) pun adalah pakaian bagi mereka” (QS. 2:187)
Sehingga terjadi rumusan, Berjilbab (khayr) + Akhlaq yang buruk (Syarr) = Dualisme-Dikotomis, karena tercampurnya antara yang baik dan buruk secara bersamaan, sementara Tidak berJilbab (Syarr) + Akhlak yang Baik (Khayr) = Dualisme-Dikotomis.
Dua kejadian diatas sama-sama tidak dapat dibanggakan karena tidak memenuhi syarat sehingga dapat dikatakan Ikhtiyar (mengusahakan kebaikan), maka rumusan yang benar seharusnya adalah, Berjilbab (Khayr) + BerAkhlak baik (Khayr) = Dualisme-Tauhidik, sehingga Ikhtiyar (mengusahakan kebaikan) bisa dicapai.
Maka tidak seharusnya seorang merasa berakhlak baik, tetapi tidak menutup Aurat, karena kebaikannya ternafikan oleh ketidak berAkhlakannya kepada Pencipta, yang telah memberikannya fasilitas Akal dan Panca indera untuk berfikir, memahami, dan menggapai kesenangan.
Dan begitu pula sebaliknya, penampilan Islami yang justru mempraktikkan mu’amalah yang buruk, justru akan menafikan dan menjatuhkan syiar Islam ditengah-tengah masyarakat.
Akan sangat fatal jika dalam usaha Dakwah, para Aktivis dakwah justru terpapar paham dualisme-dikotomis tersebut, sehingga antara Idealisme menjalankan Syari’at justru tidak sejalan dengan pemahamannya tentang realitas lingkungan (Fiqh Al Waqi’) tempat dia mengusahakan Idealismenya, sehingga tahapan (Fiqh Dakwah) dan Skala Prioritas (Fiqh Al-Awlawiyyat) menjadi kabur bahkan dianggap Syubhat.
Begitupula jika Fiqh Al Awlawiyyah dan Fiqh Al Waqi, jika’ tidak dibarengi dengan Idealisme terhadap ketetapan syariat, maka terjadilah keterbukan yang dilandasi hawa nafsu dan cenderung bermudah-mudah.
Maka tepatlah apa yang di pesankan oleh Syaikh Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah, bahwa “Pertama: hendaknya ia mengilmu apa yang ia dakwahkan, Kedua: hendaknya ia memahami kondisi orang-orang yang didakwahi, Ketika: hendaknya bersikap hikmah dalam dakwahnya, Keempat: hendaknya da’i memiliki akhlak yang baik dalam perkataan, perbuatan, dan penampilan yang baik.
Semoga bermanfaat Wallahu A’alam Bish-Showab.